Belajar dan menghayati budaya merupakan sumber pengetahuan dan penghayatan terhadap agama itu sendiri.
Oleh Haidar Bagir[1]
Belakangan ini wacana agama banyak diwarnai dengan kekhawatiran menguatnya eksklusivisme legal-tekstual bersama masuknya faham Islam transnasional yang, sayangnya, cenderung bermusuhan dengan budaya dan produk-produknya. Masih belum hilang ingatan kita kepada Talibanisme yang menghancurkan patung Buddha di Bamiyan, Afghanistan, ketika sekarang kita dihadapkan pada gejala NI (Negara Islam, di Irak dan Syam) yang jauh lebih radikal, puritan, dan brutal, bahkan dibanding Alqaidah yang merupakan akar-awalnya.
Mereka bukan saja memusuhi dan membantai semua kelompok yang berbeda dengannya, tak peduli Muslim atau bukan, kelompok ini menampilkan permusuhan luar biasa terhadap manifestasi-manifestasi budaya (lokal). Bukan hanya dalam kaitannya dengan keberdayaan artefak-artefak budaya, melainkan secara langsung menabrak semua manifestasi budaya lokal, termasuk pemikiran dan tradisi-tradisi yang dilahirkan darinya. Yang lebih mengagetkan, ada banyak isyarat bahwa tawaran puritanisme NI ini ternyata seperti mendapatkan penerimaan di kalangan sementara umat Islam, tak terkecuali di negeri kita.
Di sisi lain, dengan menguatnya gejala globalisasi yang berakibat pada derasnya arus homogenisasi-hegemonik “budaya Barat” – kalau ia bisa disebut sebagai budaya Barat – atas bangsa-bangsa, ada kekhawatiran memudarnya nasionalisme generasi muda kita, sekaligus kekhawatiran rentannya mereka terhadap pengaruh negatif/eksesif “budaya” luar itu. Karena itu menjadi penting revitalisasi wacana agama dan budaya demi memperbarui keyakinan kita mengenai kongruensi agama dan budaya, bahkan jika dilihat dari sudut pandang agama itu sendiri.
Ada beberapa cara yang dapat dipakai dalam memandang hubungan agama dan budaya, hubungan antara keberagamaan dan kebudayaan. Pertama, melihat agama sebagai menghargai budaya sebagai sumber kearifan. Dalam Islam, kebangsaan dan etnisitas – yang menjadi lokus budaya — dilihat secara positif sebagai sumber kearifan (wisdom). “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan suku-suku agar kamu dapat saling belajar kearifan (li ta’arafu). Sesungguhnya orang yang paling mulia di antaramu adalah yang paling sadar-Tuhan (bertakwa).” (Al-Qur’an 49:13)
Kedua, melihat budaya sebagai warisan hikmah ketuhanan yang diturunkan lewat Nabi-nabi yang pernah diutus Tuhan sepanjang sejarah umat manusia. “Bagi tiap-tiap umat seorang Rasul.” (Al-Qur’an 10:47), sementara sebuah sabda Nabi bahwa jumlah seluruh nabi yang pernah diutus Tuhan adalah tak kurang dari 124.000 orang. Dari sinilah sebagian ahli menyatakan bahwa sesungguhnya peninggalan budaya – selama bisa dibuktikan tak bertentangan dengan aturan agama yang pasti keberadaan (qath’iy al-wurud) dan pemahamannya (qath’iy al-dilalah) — sedikit atau banyak adalah peninggalan nabi. Dengan demikian, bukan saja ia boleh dianut, budaya memiliki tempat yang absah (legitimate), kalau tak malah memiliki tingkat kesakralan tertentu.
Dengan ungkapan berbeda, dipandang dari perspektif “syariah-diam” — yang di dalamnya syariah dipecayai hanya mengatur sebatas tertentu domain kehidupan dan bersikap diam (sukut) pada yang lainnya — budaya bukanlah domain (langsung) agama. Budaya masuk dalam “urusan-urusan dunia” (umur al-dunya) yang profan saja dan kembali kepada asal-hukum, yakni boleh-boleh (mubah) saja. Jika dipandang dari sisi syariah-liberal — bahwa syari’ah memiliki sifat keluwesan yang memungkinkannya menginklusi hal-hal yang tak secara spesifik dicakupnya — budaya bahkan (dapat) masuk dalam domain agama ketika pertimbangan kemaslahatan diutamakan.
Di sini kemudian terlibat wacana tentang tujuan-tujuan – lebih tinggi/puncak – syari’ah (maqashid al-syari’ah) yang lebih berorientasi pada kemaslahatan tersebut, sebagai berbeda dari tujuan langsung (legal-tekstual). Inilah kurang lebih dasar pemikiran sebagian orang yang berupaya menunjukkan kesejajaran budaya dan agama, sebagaimana KH. Abdurrahman Wahid dengan gagasan pribumisasi Islam atau Tariq Ramadan dengan gagasannya tentang Muslim-Eropa.
Masih terkait dengan 2 ayat yang dikutip di awal pembahasan, dipandang dari sudut disiplin ‘Irfan (tasawuf teoretis) – dengan Ibn ‘Arabi sebagai proponen-utamanya – budaya lebih berpeluang memiliki tempat yang sakral dalam keberagamaan. Sebelum yang lain-lain, dalam ‘Irfan Tuhan dipercayai sebagai Wujud Transenden yang, pada saat yang sama, ber-tajalli (bermanifestasi, mengejawantah) dalam ciptaan-ciptaan-Nya. Dengan kata lain, setiap makhluk membawa dalam dirinya nama sifat/ayat (tanda) Allah Swt.
Sehingga, dalam konteks ini, Tuhan memiliki 2 sifat-paradoksal sekaligus, sifat transenden (tanzih) dan sifat imanen (tasybih) terhadap ciptaan-Nya. Dalam kaitan ini, setiap ciptaan, sesuai dengan sifat-sifat-bawaannya (kesiapan, predisposisi, isti’dad-nya) merupakan wadah (mazh-har atau lokus) pengejawantahan Tuhan. Inilah ajaran utama dalam faham tawhid wujudi (kesatuan wujudi/eksistensial)atau wahdah al-wujud (kesatuan wujud).[2]
Selanjutnya, Tuhan bermanifestasi bukan hanya pada ciptaan fisik, yakni fisik alam dan manusia, melainkan juga pada ciptaan-ciptaan non-fisiknya, termasuk hukum-hukum alam, hukum-hukum kemanusiaan (psikologi, sosiologi, sejarah, politik, dan sebagainya), termasuk budaya. Beragam budaya yang ada, dengan segala keunikannya, adalah lokus-lokus unik dari manifestasi-Nya.
Dengan kata lain, budaya adalah juga tanda-tanda (ayat) Tuhan, tanda-tanda yang membawa kebenaran ketuhanan. Maka, sebagaimana mempelajari diri manusia dan alam semesta dapat memberi kita pengetahuan dan kedekatan dengan Tuhan, maka belajar dan menghayati budaya merupakan sumber pengetahuan dan penghayatan terhadap agama itu sendiri.
Bersambung ke:
Catatan Kaki:
[1] Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan da’i Islam Cinta. Tulisan ini pernah diterbitkan dalam Munawir Aziz dan Akhmad Sahal (Ed), Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan (Mizan Pustaka, 2015). Atas izin dari penulis yang bersangkutan, redaksi Gana Islamika diperkenankan untuk mempublikasikannya kembali.
[2] Faham tawhid wujudi, meski tak selalu benar, biasa dikaitkan dengan panteisme atau faham “manunggaling kawula gusti”. Mesti tak sepenuhnya salah, kedua faham yang disebut terdahulu cenderung menekankan hanya pada aspek imanensi Tuhan, dan kurang mengaitkannya dengan transendensi-Nya yang merupakan kesatuan tak terpisahkan dengannya.