Mozaik Peradaban Islam

Siapa Penggubah Syair Cinta Nabi Barzanji (20): Barzanji dan Ilmu Kekebalan Tubuh (3)

in Studi Islam

Last updated on April 13th, 2021 02:25 pm

Syaikh Yusuf Makassar, yang memimpin pemberontakan di Banten melawan Kompeni Belanda selama dua tahun (1682-1684), merupakan contoh seorang sufi yang saleh sekaligus pejuang fisik yang hebat.

Lukisan wajah Syaikh Yusuf Makassar. Foto: Tribun

Debus dan Pemberontakan

Kekebalan dan kesaktian sejak masa pra-Islam dipentingkan dan dicari oleh banyak orang di Nusantara. Dalam legenda-legenda tentang para wali, kemenangan Islam seringkali dihubungkan dengan keunggulan zikir dan wirid Islam dibandingkan dengan mantra dan jampi-jampi Hindu-Buddha.

Jika pada masa awal berkembangnya Islam di Nusantara banyak orang masuk tarekat, menurut Martin Van Bruinessen, hal ini tampaknya karena ada hubungannya dengan kebutuhan orang-orang untuk ngelmu yang kuat.

Ngelmu itu, tentu saja, bukan milik para ahli fiqih tetapi berkaitan dengan orang tarekat. Bukan Qadiriyah saja, amalan semua tarekat yang lain juga telah dipakai untuk mengembangkan kesaktian dan kekebalan itu.

Banyak pesantren yang pernah menjadi pusat pelajaran silat serta kesaktian di samping fiqih, tauhid, dan tasawuf. Syaikh Yusuf Makassar, yang memimpin pemberontakan di Banten melawan Kompeni Belanda selama dua tahun (1682-1684), merupakan contoh seorang sufi yang saleh sekaligus pejuang fisik yang hebat.

Amalan tarekat yang diajarkannya, agaknya, juga dipergunakan untuk mengembangkan kekebalan (seperti amalan Khalwatiyah-Yusuf kemudian yang juga dipakai di Sulawesi Selatan).[1]

Dalam pemberontakan tersebut Banten akhirnya menyerah dari Belanda karena kekuatan yang tidak seimbang. Syaikh Yusuf Makassar kemudian mengalami pembuangan oleh Belanda ke berbagai tempat dan pada akhirnya wafat di Afrika Selatan pada 23 mei 1699 di usianya yang ke-73.[2]

Sebelum wafatnya, dia sempat mengajarkan ajaran Islam selama 10 tahun di Afrika Selatan dengan dibantu oleh para muridnya yang setia. Berkat Syaikh Yusuf dan para pengikutnya, sebagian warga Afrika Selatan beralih menganut Islam. Mereka kawin-mawin dan beranak-pinak di situ, hingga terbentuklah komunitas Melayu di Cape Town (Cape Malay) yang kini menjadi ibukota Provinsi Western Cape.[3]

Kebudayaan Indonesia pun banyak yang mewarnai kebudayaan Cape Malay. Dalam Indonesians in South Africa: Historical Links Spanning Three Centuries disebutkan ada beberapa kebudayaan dari Indonesia yang dilestarikan di sana, di antaranya adalah Tari Lingo Ayoen, Tari Kusin, dan Tari Beras.

Bukan hanya itu, bahkan debus pun turut terbawa ke Cape Town. Namun tradisi ini di sana disebut dengan ratib. Kemungkinan debus di bawa ke sana oleh para pengikut Syaikh Yusuf Makassar.[4]

Tidak mengherankan kalau para pencari kekebalan sangat tertarik kepada ilmu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tersebut, karena beliau bukan saja dikenal sebagai wali terbesar tetapi juga secara eksplisit disebut sebagai pelindung terhadap senjata tajam.

Legenda tentang riwayat hidupnya sejak lama tersebar di masyarakat luas, termasuk kalangan rakyat kecil. Ilmu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani rupanya sudah diajarkan di suatu perguruan di atas Gunung Karang di Banten pada abad ke-17 dan juga dikenal di daerah Cirebon.

Tidak kebetulan bahwa Gunung Karang juga dikenal sebagai salah satu pusat perkembangan debus. Menjelang akhir abad ke-19, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, gabungan amalan yang baru, berkembang sangat cepat di Banten berkat karisma Syaikh Abdul Karim Banten.

Keterlibatan banyak tokoh tarekat dalam pemberontakan besar tahun 1888 antara lain juga berhubungan dengan peranan mereka sebagai guru kekebalan. Dan pemberontakan ini, sebaliknya, memperkuat hubungan antara tarekat dan kesaktian-kekebalan.  

Usaha terakhir untuk memakai debus secara massal dalam praktik terjadi pada masa revolusi fisik. Kiai Abdurrahim dari Maja (Rangkasbitung), yang juga guru debus, datang dengan laskar yang terdiri dari murid-muridnya ke Serpong dan mempersiapkan diri untuk bertempur melawan tentara Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL/Tentara Kerajaan Hindia Belanda).

Mereka menguji kekebalannya terhadap api dan golok, dan merasa yakin bahwa mereka juga kebal terhadap peluru Belanda. Tanpa mencari perlindungan mereka menyerang KNIL dan hampir semuanya, sekitar 120 orang, tertembak mati.[5]

Peristiwa ini, tentu saja, bukan merupakan penampilan terakhir debus Banten. Masih tetap ada orang muda yang belajar debus, sebagaimana juga di daerah lain, di mana masih banyak orang muda yang mencoba mengembangkan kekebalan melalui tirakatan, semedi, dan bacaan-bacaan.

Tetapi hubungan antara debus dan tarekat seperti terputus sekarang. Debus sudah menjadi hiburan rakyat yang biasa saja, ia hanya menjadi tontonan pada acara-acara tertentu seperti hajatan misalnya, sebagaimana yang terjadi dengan wayang dan qasidahan.

Sementara itu pada perkembangannya, para penganut tarekat Qadiriyah (wa Naqsyabandiyah) sekarang sudah tidak begitu tertarik lagi kepada debus dan sejenisnya. Ilmu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang dicari dan diterapkan sekarang, bukan ilmu kekebalan tetapi ilmu mensucikan hati.

Ini, tentu, tidak lepas dari situasi politik yang telah banyak berubah. Jihad, untuk orang tarekat, sekarang bukan perjuangan fisik lagi tetapi perjuangan batin, demikianlah Van Bruinessen menjelaskan.[6]

Kitab Barzanji dan Manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani

Para pelaku debus (yang masih memiliki ikatan dengan tarekat, bukan debus yang sudah terdegradasi ke dalam bentuk seni pertunjukan) sangat memuja kewalian Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Oleh karena itu pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjadi bagian dari ritual yang mengikuti pertunjukan-pertunjukan debus.[7]

Dan bukan pula sebuah kebetulan, bahwa penggubah Manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (Lujain Al-Dani ji Manaqib Abd Al-Qadir Al-Jilani) dan Kitab Barzanji (Al-‘Iqd Al-Jawahir) adalah orang yang sama, yaitu Sayyid Jafar Barzanji.[8] Maka tidak mengherankan, di beberapa tempat kegiatan debus pun diiringi dengan pembacaan Kitab Barzanji.[9]

Jika kita hendak menarik kesimpulan dari semua penjelasan tentang debus dan Kitab Barzanji, benang merahnya adalah ada di dalam ikatan tarekat. Sebagaimana dijelaskan di awal, pada perkembangan penyebaran Islam di Indonesia, banyak murid asal Indonesia yang berguru kepada para guru Kurdi di Makkah dan Madinah.

Para murid ini kemudian pulang ke Indonesia dengan membawa ajaran dari tarekat-tarekat tersebut. Kitab Barzanji dan juga praktik debus adalah beberapa bagian dari ajaran tarekat guru Kurdi tersebut yang kemudian menjadi begitu mengakar di banyak kebudayaan di Indonesia. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Mizan: Bandung, 1995), hlm 220-221.

[2] Zulkipli Adi Putra, Syaikh Yusuf Al-Makassari: Studi Tentang Biografi dan Pemikirannya dalam Dunia Sufisme Nusantara Abad XVII (Skripsi UIN Radan Fatah Palembang, 2018, tidak diterbitkan), hlm 32.

[3] Iswara N Raditya, “Warisan Syekh Yusuf Al-Makasari di Afrika Selatan”, dari laman https://tirto.id/cKHs, diakses 10 April 2021.

[4] “Budaya Indonesia Berakar di Cape Town”, dari laman https://amp.kompas.com/nasional/read/2010/07/27/05342964/~Oase~Jeda?page=all#page3, diakses 10 April 2021.

[5] Diceritakan oleh Kiai Istikhari (Bogor), yang waktu itu aktif dalam Hizbullah yang lokasinya tidak jauh dari tempat peristiwa ini (wawancara Martin van Bruinessen dengan Kiai Istikhari, 25 Mei 1988).

[6] Martin van Bruinessen, Op.Cit., hlm 221-222.

[7] Ibid., hlm 270.

[8] Ibid., hlm 83-84.

[9] Ibid., hlm 77.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*