Mozaik Peradaban Islam

Siapa Penggubah Syair Cinta Nabi Barzanji (19): Barzanji dan Ilmu Kekebalan Tubuh (2)

in Studi Islam

Last updated on April 10th, 2021 02:12 pm

Dalam perspektif tasawuf, ilmu kekebalan tubuh adalah pembuktian atas tingkat ketawakalan seseorang terhadap Allah dan wali-Nya, yaitu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan Ahmad Rifai.

Zikir Tarekat Rifaiyah. Foto: Unknown/Google

Martin Van Bruinessen menyebutkan, bahwa pada masa kini terdapat nilai-nilai degradasi dalam Debus. Menurutnya, debus sekarang sudah menjadi hiburan rakyat yang biasa saja, ia hanya menjadi tontonan pada acara-acara tertentu seperti hajatan misalnya, sebagaimana yang terjadi dengan wayang dan qasidahan.[1]

Padahal sejatinya, debus adalah amalan spritual dari banyak tarekat tasawuf, utamanya dari Rifaiyah, Sammaniyah, dan Qadiriyah. Dan melihat persebaran ilmu ini, sebenarnya ia bukan hanya ada di Banten, melainkan ada juga di banyak daerah Indonesia lainnya, di antaranya di Aceh, Minangkabau, Cirebon, dan Maluku.

Di Aceh, debus disebut dengan daboih atau juga rapa’i, yang mana ia termasuk bagian dari amalan Tarekat Rifaiyah. Sedangkan di Banten ia dihubungkan dengan tarekat Qadiriyah. Sebetulnya, dalam debus Banten terdapat beberapa aliran yang berbeda, dan hanya salah satunya (yang masih ada di daerah Serang) yang sampai sekarang masih mengakui hubungannya dengan tarekat Qadiriyah — lebih tepatnya Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.

Di tempat asalnya, yaitu di Kurdistan, di mana terdapat beberapa cabang Tarekat Qadiriyah, yang mana dipimpin oleh para syaikh dari keluarga Barzanji, tarekat-tarekat ini terkenal dengan amalan zikir yang sangat ekstatis.

Dua kali setiap minggu, pada malam Selasa dan malam Jumat, para darwish akan berkumpul selepas salat Isya untuk berzikir bersama. Beberapa darwish yang memiliki suara indah akan membacakan sajak sufi dan melagukan qasidah, dengan iringan rebana besar.

Irama rebana yang sangat rancak dan suara indah para penyanyi ini menciptakan suasana yang khas, yang membuat pikiran para hadirin lepas dari pikiran tentang sehari-hari. Tiba-tiba irama berubah: khalifah telah memberi tanda bahwa zikir boleh dimulai.

Para darwish berdiri dan mulai mengucapkan kalimat nafi tua itsbat, sesuai dengan irama rebana, yang sekarang diperkuat dengan alat musik pukul lainnya. Seluruh badan mereka ikut berzikir, membungkuk supaya ucapan “la” dapat ditarik kuat ke atas dengan kepala, kemudian “ilaha”, dilemparkan ke kanan, dan “illallah” dengan gerakan yang keras dipukul ke dalam hati (secara keseluruhan maka akan terangkai menjadi kalimat la ilaha illallah, yang artinya tiada Tuhan selain Allah).

Tempo irama senantiasa dipercepat, kemudian zikir nafi wa itsbat, digantikan dengan zikir “Allah, Allah.” Beberapa darwish terlihat masuk ke dalam kondisi hat (dalam perspektif orang awam mungkin akan terlihat seperti orang kehilangan kendali diri atau kesurupun, namun dalam perspektif sufi ia masuk ke dalam tingkat ekstase) dan mereka akan meminta izin dari khalifah untuk “main”.

Di antara mereka kemudian ada yang mengambil semacam debus kecil (sepanjang 40 cm), yang ditusukkan ke dalam pipi kanan sampai tembus ke pipi kiri, atau ke lidah sampai tembus ke bawah rahang, atau ke perut sampai menembus punggung. Yang lainnya ada yang mengambil pedang dan memukulkannya ke dada dan perutnya. Ada pula yang memegang tali listrik, makan kaca, atau meminum insektisida.

Selama pertunjukkan ini berlangsung irama rebana terus bertalu, sampai ketika khalifah memberi tanda bahwa pertunjukan sudah cukup. Benda-benda tajam itu lalu dikeluarkan dari tubuh dan disimpan lagi. Irama rebana lalu beralih ke yang lebih menenangkan, dan kemudian berhenti. Kadang-kadang dilanjutkan lagi dengan pembacaan sajak sufi.

Pertemuan lalu ditutup dengan pembacaan doa dan al-Fatihah untuk Nabi dan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani serta semua syaikh Tarekat Qadiriyah. Para syaikh Qadiriyah Kurdi ini menyebut juga nama Syaikh Ahmad Rifai dalam silsilah mereka, dan menceritakan bahwa beliau telah belajar kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

Jika para darwish Rifai juga bisa tidak terluka oleh benda tajam, kata mereka, itu tetap berkat karamah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, yang diturunkannya kepada Ahmad Rifai dan yang juga masih tetap melindungi semua pengamal Tarekat Qadiriyah.

Tidak semua murid boleh bermain-main dengan benda tajam seperti ini, hanya mereka yang dianggap sudah cukup maju dalam amalan tarekat dan cukup kuat batinnya yang diizinkan oleh khalifah. Mereka percaya bahwa mereka baru kebal setelah ada izin dari khalifah.

Orang yang main tanpa izin, kata mereka, bisa saja mati gara-gara luka debus dan pedang. Dengan izin, maka benda tajam tidak bisa melukai mereka: walaupun tusukannya tembus, jarang ada pendarahan dan tidak pernah diketahui ada kasus seorang darwish yang terkena infeksi.

Tetapi kenapa para murid tarekat bermain debus dalam rangka zikir? Khalifah-khalifah mereka memberikan beberapa penjelasan, bahwa semua tarekat mengajarkan tawakal kepada penganutnya. Dengan bermain benda tajam, para murid bisa membuktikan bahwa mereka telah menyerahkan diri secara total kepada Allah dan wali-Nya, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

Dan pada praktiknya ternyata mereka benar-benar kebal, para murid merasakan bahwa karamah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani —yang tentunya atas dasar karunia Allah—sangat ampuh dan sanggup mengalahkan hukum alam kebendaan, dengan demikian mereka menghayati langsung adanya wasilah.

Dan alasan terakhir, permainan debus ini bisa juga dipakai untuk tujuan dakwah: orang yang melihatnya akan diyakinkan akan kemahakuasaan Allah dan kewalian Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.[2] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Mizan: Bandung, 1995), hlm 221.

[2] Ibid., hlm 218-220.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*