Mozaik Peradaban Islam

Siapa Penggubah Syair Cinta Nabi Barzanji (18): Barzanji dan Ilmu Kekebalan Tubuh (1)

in Studi Islam

Last updated on April 8th, 2021 12:51 pm

Pada saat pertunjukkan Debus, ditemukan aktivitas barzanjian, wiridan, atau manaqiban. Ini merupakan indikasi bahwa Debus memiliki ikatan dengan tarekat-tarekat tertentu.

Kesenian Debus di Banten. Foto: correcto.id

Sebenarnya masih banyak lagi tradisi-tradisi kebudayaan di Indonesia yang mengikutsertakan pembacaan Kitab Barzanji di dalamnya, misalnya Hadrah, Midodareni, Rebo Wekasan, Ulih-ulihan, dan lain-lain, namun kita cukupkan sampai sekian. Sekarang mari kita lanjutkan ke tema lainnya tentang Barzanji yang tidak kalah menarik, yakni Debus.

Kebanyakan orang mungkin menyangka bahwa Debus hanyalah sebatas kesenian tradisional asal Banten yang mana para pelakunya mampu menunjukkan kekebalan tubuh terhadap benda-benda tajam. Dan sejatinya, praktik seperti ini ternyata bukan hanya ditemukan di Banten saja, tapi juga banyak di daerah lainnya di Indonesia.

Kata “debus” sendiri kini sudah dibakukan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan arti: “Kesenian bela diri, berasal dari Banten, mempertunjukkan kemampuan manusia yang luar biasa, kebal senjata tajam, kebal api, minum air keras, dan lain-lain.”[1]

Namun jika melihat ritual-ritual yang dilakukan pada saat Debus, misalnya wiridan, manaqiban, atau barzanjian, sesungguhnya ini merupakan sebuah indikasi bahwa kesenian ini – untuk sementara kita ikuti pandangan umum yang menyebut debus sebagai kesenian tradisional – memiliki keterikatan dengan amalan-amalan yang biasa dilakukan oleh tarekat tasawuf tertentu.

Sebagaimana pernah diulas Martin Van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, dalam catatan sejarah yang dinukilnya dia menyebutkan bahwa selama pertunjukkan debus berlangsung Kitab Barzanji dibacakan.

Dalam pelacakannya, Van Bruinessen menemukan bahwa tradisi debus berasal dari praktik-praktik yang dijalankan oleh Tarekat Rifaiyah. Namun orang Banten juga menghubungkan debus dengan tarekat Qadiriyah.  

Van Bruinessen kemudian menemukan suatu tempat di mana Tarekat Qadiriyah di Kurdistan menjalankan ritual debus. Dan yang terpenting, para syaikh Tarekat Qadiriyah asal Kurdi ternyata adalah anggota keluarga Barzanji (atau sering dilafalkan Barzinji).[2]

Lalu bagaimana menghubungkan persamaan ini, yaitu baik di dalam Tarekat Qadiriyah maupun Rifaiyah ditemukan praktik-praktik kekebalan tubuh? 

Dalam sebuah silsilah Tarekat Qadiriyah di Kurdi, disebutkan bahwa pendiri tarekat ini selain Abdul Qadir al-Jailani ada tiga orang lainnya, mereka yaitu Ahmad al-Rifai, Ahmad al-Badawi, dan Ibrahim Al-Dasuqi. Dalam sebuah ratib Rifai yang dipakai oleh guru debus di Banten, Van Bruinessen menemukan bahwa nama empat wali di atas juga disebutkan secara bersama-sama.[3]

Yang dimaksud Ahmad al-Rifai di sini tiada lain adalah Ahmad bin Ali ar-Rifai (1106-1182 M), peletak ajaran dasar Tarekat Rifaiyah. Kini, Tarekat Rifaiyah termasuk ke dalam salah satu dari dua belas tarekat terbesar yang berada di dunia.[4]

Untuk melihat bukti lain persamaan-persamaan antara debus dengan Tarekat Rifaiyah, sekarang mari kita lihat catatan lain yang lebih tua lagi. Ibnu Batutah (1304-1369), seorang penjelajah Muslim dari abad ke-14, yang kiprahnya disebut-sebut bahkan melampaui daya jelajah Marco Polo, dalam rihlah (catatan perjalanan)nya pernah mendeskripsikan ritual Tarekat Rifaiyah yang dia temui dalam penjelajahannya.

Ketika Ibnu Batutah sedang di Irak, dia mendatangi Wasit (sekarang adalah sebuah provinsi di timur Irak yang berbatasan dengan Iran). Di sana dia mendatangi sebuah desa yang bernama Umm Ubayda, yang jaraknya sekitar satu hari perjalanan dari pusat kota, di sanalah terletak makam dari Ahmad bin Ali ar-Rifai.

Saat tiba di sana dia melihat pesantren yang besar sekali, di mana ribuan Darwish tinggal di dalamnya. Setelah salat Ashar, berbagai macam gendang mulai dimainkan, mulailah mereka menari sampai menjelang Maghrib. Setelah salat Maghrib, mereka membawa makanan yang terdiri dari nasi, roti, ikan, susu, dan kurma. Selepas salat Isya, mereka membaca doa-doa.

Pada malam harinya Ibnu Batutah melihat kejadian yang menurutnya cukup aneh, dia menulis, “Sejumlah kayu telah dibawa masuk dan dinyalakan menjadi api, dan mereka mulai melakukan tari api; beberapa dari mereka berguling di dalam api, dan yang lainnya memakannya di mulut mereka sampai benar-benar padam. Inilah kebiasaan yang aneh dari Darwish Ahmadi (Rifaiyah).

“Beberapa dari mereka mengambil ular-ular besar dan menggigit kepala mereka dengan giginya sampai mereka benar-benar menghabiskannya.”[5]

Dalam catatan sejarah lainnya yang ditulis oleh Ibnu Khallikan sekitar tahun 1256 M, dia mengatakan bahwa para Darwish Rifaiyah mempraktikkan ritual berjalan di atas bara api, memakan ular hidup-hidup, dan bahkan mengendarai Singa di Bata’ih (daerah di sekitar Basrah)![6]

Bagaimana, bukankah terdapat begitu banyak persamaan antara Tarekat Rifaiyah dan Debus? Ke depan kita akan melihat penjelasan mengapa mereka melakukan praktik kekebalan tubuh seperti itu dan bagaimana hubungannya dengan spiritualisme di dalam tasawuf. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] KBBI, “Debus”, dari laman http://kbbi.kamus.pelajar.id/arti-kata/debus, diakses 5 April 2021.

[2] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Mizan: Bandung, 1995), hlm 77.

[3] Ibid., hlm 85.

[4] “Sufi Orders”, dari laman http://mevlana.lv/sufisms/sufi-orders/?lang=en, diakses 30 Januari 2018.

[5] Ibn Battuta, Travels In Asia And Africa 1325-1354, (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, Broadway House, Carter Lane; 1929), diterjemahkan dari bahasa Arab ke Inggris oleh H.A.R Gibb, hlm 85-86.

[6] N. Hanif, Biographical Encyclopaedia of Sufis (Africa and Europe), (Sarup & Sons: New Delhi, 20002), hlm 139.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*