Mozaik Peradaban Islam

Islam dan Perang Dunia I (7): Max von Oppenheim, Pencetus Jihad dari Jerman

in Monumental

Last updated on October 24th, 2018 02:07 pm

“Terpengaruh Oppenheim, Wilhelm II, Kaisar Jerman, pada 1898 berkunjung ke Timur Tengah. Di depan makam Sultan Saladin dia berpidato dan menyatakan dirinya sebagai teman abadi bagi 300 juta Muslim di dunia.”

–O–

Max von Oppenheim mengenakan pakaian bergaya Timur Tengah. Photo: qantara.de

Jihad dalam Islam, baik itu berdasarkan al-Quran maupun Hadist, sebenarnya memiliki makna yang luas, namun dalam konteks Perang Dunia I, oleh orang-orang Eropa, maknanya menjadi dipersempit, ia diterjemahkan menjadi “Holy War” atau “Perang Suci”.[1] Meskipun aplikasi Jihad dalam Islam bisa diterapkan ke dalam banyak hal, namun tidak dapat dipungkiri, Jihad pun bisa dilekatkan dalam konteks peperangan,[2] dan inilah salah satu instrumen yang dimainkan dalam kontestasi Perang Dunia I.

Pihak Jerman yang beraliansi dengan Kesultanan Ustmaniyah (Ottoman) tahu bahwa jihad merupakan instrumen yang dapat dimainkan dalam perang, dan jika diperlakukan dengan tepat, maka ini dapat menjadi senjata yang menakutkan bagi lawan. Adalah Max von Oppenheim, orang pertama dari pihak Barat yang pertama mencetuskan ide tentang jihad yang menurutnya dapat dimanfaatkan dalam Perang Dunia I.[3]

Max von Oppenheim merupakan seorang Jerman keturunan Yahudi. Dia dilahirkan tahun 1860 di tengah keluarga bankir Yahudi yang sangat kaya raya.[4] Namun ketimbang meneruskan jejak keluarganya, Oppenheim lebih tertarik ke dalam dunia Islam dan dia banyak melakukan berbagai perjalanan ke Timur Tengah dan Afrika Utara, daerah para Muslim di dunia.[5] Dalam perjalanannya ke dunia Islam, Oppenheim benar-benar menyatu dengan masyarakat Muslim, dia belajar bahasa Arab; duduk bersama mereka dalam jamuan makan dan makan dengan menggunakan tangan, yang mana ini tidak dia kenal ketika di Jerman; mempelajari Islam; memperistri wanita setempat (bahkan lebih dari satu); dan yang terpenting, dia mampu menjalin relasi yang kuat dengan kelas bangsawan dan raja-raja setempat.[6]

Berdasarkan pengalamannya, Oppenheim melamar untuk menjadi Duta Besar Jerman di wilayah Timur Tengah, namun karena latar belakang Yahudinya, pemerintah Jerman menolaknya. Meskipun pada akhirnya dia diterima di kedutaan Jerman, namun posisinya hanya sebagai agen rendahan.  Hingga pada periode 1896-1909, ketika tensi permusuhan antara Jerman dan Inggris meningkat, laporan-laporan Oppenheim menarik perhatian Wilhelm II, kaisar Jerman pada saat itu.[7]

Salah satunya, dalam laporan yang berjudul Die panislamische Bewegung, tertanggal 5 Juli 1898, dikatakan telah menarik perhatian khusus Wilhelm II. Isinya menceritakan tentang solidaritas Muslim dalam menghadapi meluasnya kekuatan Kristen Barat di tanah tradisional Muslim. Selain itu, Oppenheim melaporkan tentang persaudaraan Sufi anti-Eropa yang sedang bergerak di Afrika Utara dan Arab, dan gerakan mesianis, seperti gerakan Mahdi di Sudan, yang telah berhasil mengobarkan semangat fanatisme banyak suku, yang oleh Oppenheim disebut, “fanatisme yang dekat dengan kegilaan.”[8]

Jika umat Islam benar-benar dapat dipersiapkan untuk perang suci, jihad akan menjadi senjata yang kuat dengan konsekuensi yang tidak terduga, dan deklarasinya akan menarik jihadis dan uang dari seluruh dunia Muslim, seperti yang telah terjadi dalam perang Ottoman melawan Rusia pada 1877-1878. Selain itu, Oppenheim mengklaim, bahwa Sultan Ottoman dilihat oleh Muslim di seluruh dunia sebagai penguasa Islam terbesar, yang mana ini belum pernah terjadi sebelumnya di dunia Islam. Sebagai sekutu, dia akan sangat berharga apabila perang di Eropa pecah, dan pengaruhnya dapat digunakan untuk mengobarkan semangat jihad di wilayah-wilayah dengan penduduk Muslim yang besar, terutama di wilayah kolonial milik Inggris, Prancis, dan Rusia.[9]

Pesan Oppenheim cukup jelas, “Siapkan medan perang dan manfaatkan Sultan untuk (mengobarkan) jihad di wilayah kolonial dari musuh-musuh potensial. Berlin mungkin sangat membutuhkan fanatisme pan-Islam dan persaudaraan anti-Eropa.” Bahkan telah diklaim, meskipun sebagian besar sejarawan membantahnya, bahwa laporan Oppenheim telah mengilhami kunjungan Wilhelm II ke Istanbul, Damaskus, dan Yerusalem pada musim gugur dan musim dingin tahun 1898, dan khususnya, terkait tentang pidato terkenal Wilhelm II di depan makam Sultan Saladin (Salahuddin al-Ayyubi) di Damaskus pada 8 Desember, di mana dia menyatakan dirinya sebagai teman abadi bagi 300 juta Muslim di dunia.[10]

Bersambung ke:

Islam dan Perang Dunia I (8): Jihad dan Pan-Islamisme

Sebelumnya:

Islam dan Perang Dunia I (6): Penindasan Bangsa Arab

Catatan Kaki:

[1] Mustafa Aksakal, “The Ottoman Proclamation of Jihad”, dalam Erik-Jan Zürcher (ed), Jihad and Islam in World War I (Leiden University Press, 2016), hlm 55.

[2] Ada banyak perbedaan pendapat terkait arti “jihad” yang sebenarnya, namun apabila melihat kandungan buku karya Ibnu Taimiyah, jihad di sini maksudnya adalah berperang. Lihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’atui Yatawa, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ahmad Syaikhu, S. Ag (Darul Haq: Jakarta, 2007) hlm 282-283.

[3] Lionel Gossman, The Passion of Max von Oppenheim: Archaeology and Intrigue in the Middle East from Wilhelm II to Hitler (Open Book Publishers, 2013), hlm xxiii.

[4] Ibid., hlm 3.

[5] Ibid., hlm 13.

[6] Ibid., hlm 29-32.

[7] Ibid., hlm 35-36, 40.

[8] Ibid., hlm 41

[9] Ibid.

[10] Ibid., hlm 41-42.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*