Mozaik Peradaban Islam

Islam dan Perang Dunia I (6): Penindasan Bangsa Arab

in Monumental

Last updated on October 23rd, 2018 01:48 pm

“Cemal Pasha, salah satu Jenderal Ustmaniyah, menggantung tokoh-tokoh Arab yang dia curigai sebagai pengkhianat di depan keramaian. Momentum ini dianggap sebagai cikal bakal bangkitnya sentimen Arabisme di Timur Tengah.”

–O–

Perang menjadi ujian bagi hubungan Kesultanan Ustmaniyah (Ottoman) dengan rakyatnya yang bersuku bangsa Arab. Meskipun pada awalnya orang-orang Arab Ottoman sebagian besar mempertahankan kesetiaan tradisional mereka – yang menganggap kesultanan sebagai kekhalifahan yang sah dalam Islam, namun pada kenyataannya dinamika dalam peperangan memunculkan sikap baru.[1] Meskipun orang-orang Arab tidak menunjukkan sikap anti-pemerintahan, namun Ottoman mencurigai loyalitas mereka, terutama populasi orang-orang Arab yang diam di kota besar. Kecurigaan pemerintah datang dikarenakan orang-orang Arab – bahkan sudah terjadi sebelum Perang Dunia I pecah – memiliki kultur dan tradisi politik tersendiri.[2]

Selain itu, Ottoman juga mengetahui bahwa beberapa orang dari komunitas Kristen Arab memiliki hubungan erat dengan Prancis. Untuk memastikan stabilitas dan kesetiaan masyarakat di Suriah, Ottoman kemudian memberlakukan kebijakan khusus selama perang, yaitu pengawasan secara langsung. Orang yang diberi kuasa untuk mengawasi adalah Cemal Pasha, salah satu dari tiga Jenderal Ottoman yang berkuasa (dua lainnya adalah Enver Pasha dan Talaat Pasha).[3]

Cemal Pasha, Gubernur Ottoman di Suriah selama Perang Dunia I. Photo: Underwood & Underwood, New York

Cemal Pasha tiba di Damaskus tidak lama setelah pecahnya perang tahun 1914, dia diberi kepercayaan untuk memimpin baik militer maupun masyarakat sipil secara luas. Dia menjadi komandan Tentara Keempat Ottoman yang ditempatkan di Damaskus sekaligus sebagai gubernur bagi provinsi-provinsi di Suriah Raya. Pada saat dia meninggalkan Damaskus pada awal tahun 1918, oleh penduduk setempat dia sudah dijuluki sebagai al-Saffah (si penumpah darah). Selain itu, dia juga memiliki kebijakan pengasingan bagi beberapa segmen populasi Arab yang dia anggap sebagai ancaman.[4]

Pada awalnya Cemal memerintah dengan cukup baik. Gubernur baru itu memiliki komitmen untuk mendorong terwujudnya solidaritas Islam, dan dia menunjukkan apresiasinya terhadap kontribusi bangsa Arab terhadap dunia Islam. Namun, setelah kegagalannya dalam pertempuran di Terusan Suez dengan Inggris dan kembali ke Suriah, dia mengubah metodenya untuk menjaga stabilitas di provinsi-provinsi Suriah dengan cara represif.[5]

Yakin bahwa beberapa pemimpin Arab telah melakukan kontak rahasia dengan Inggris dan Prancis, Cemal  mengasingkan sejumlah besar dari mereka ke Anatolia dan menempatkan beberapa lusin lainnya menjadi tahanan rumah di Yerusalem dan Damaskus. Pada tahun 1915 dia mulai memenjarakan orang-orang Arab yang dia curigai tidak setia dan mengirim mereka ke pengadilan militer untuk diinterogasi dan diadili. Menggunakan informasi yang terkandung dalam dokumen yang ditinggalkan di konsulat Prancis di Beirut pada tahun 1914, Cemal menuduh mereka telah melakukan pengkhianatan. Sebelas dari mereka dihukum secara terbuka dengan digantung di Beirut pada Agustus 1915, dan dua puluh satu lainnya dieksekusi dengan cara serupa di Beirut dan Damaskus pada Mei 1916.[6]

Eksekusi penggantungan tersebut merupakan pukulan bagi masyarakat Arab. Para korban di antaranya merupakan seorang senator Arab, tiga deputi parlemen Arab, beberapa wartawan terkemuka, dan anggota dari beberapa keluarga terkemuka yang paling besar di Suriah Raya. Beberapa terdakwa sebelum perang mungkin memang terlibat dalam diskusi politik dengan para diplomat Prancis, tetapi sebagian besarnya dituduh karena aktivitas mereka dalam Hizb al-lamarkaziyya al-idariyya al’Uthmani (Partai Desentralisasi Ottoman), sebuah partai yang mendorong gerakan desentralisasi pemerintahan Ottoman, yang mana lebih bertujuan ke arah reformasi ketimbang menginginkan kemerdekaan.[7] Ketika gelombang eksekusi kedua dilakukan, seluruh korban menampilkan aura martir, dan ini seringkali dikaitkan dengan momentum bangkitnya Arabisme di wilayah kekuasaan Ottoman.[8]

Jika Cemal Pasha dianggap sebagai sosok yang membangkitkan sentimen anti Ottoman yang besar di provinsi-provinsi yang berada di bawah kekuasaannya, tetapi di sisi lain dia berhasil membendung sentimen itu agar tidak meluas. Sebagian besar orang-orang Arab di Suriah Raya – yang sejak awal memang setia kepada Ottoman – malah menjadi ketakutan atas tindakan represif itu. Selama Perang Dunia I berlangsung, praktis tidak ditemukan pemberontakan di Suriah, meski ada sedikit sekali aktivitas anti Ottoman. Lebih jauh, Cemal tidak meninggalkan tradisi lama Ottoman yang memperkerjakan tokoh lokal sebagai perantara bagi Ottoman dengan penduduk setempat. Tokoh-tokoh yang disukai oleh Jamal memandang eksekusi itu sebagai langkah keamanan yang disesalkan, tetapi tetap diperlukan, dan mereka terus melayani upaya perang Ottoman dengan menjadi anggota parlemen atau sebagai administrator lokal. [9]

Meskipun Suriah telah menjadi sumber ekspresi pertama bangkitnya Arabisme, namun represi keras Cemal Pasha tidak membuat kesetiaan mereka terhadap Ottoman terhenti, karena nyatanya masih banyak elit Arab penting lainnya yang tetap mengabdi kepada Ottoman. Maka bisa jadi gelombang gerakan Arabisme yang teroganisir munculnya dari tempat lain.[10] Atau bisa jadi di tempat-tempat lainnya di seluruh dunia, sebagaimana telah diungkapkan oleh Mustafa Aksakal dalam buku Jihad and Islam in World War I, gelombang trend nasionalisme memang bermunculan sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme.[11] (PH)

Bersambung ke:

Islam dan Perang Dunia I (7): Max von Oppenheim, Pencetus Jihad dari Jerman (1)

Sebelumnya:

Islam dan Perang Dunia I (5): Kalah

Catatan Kaki:

[1] Caroline Finkel, Osman’s Dream: The Story of the Ottoman Empire 1300-1923 (Basic Books: 2006), hlm 267.

[2] William L. Cleveland dan Martin Bunton, A History of the Modern Middle East (Westview Press, 2009), hlm 154.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Hasan Kayali, “Decentralization Party”, dari laman https://www.encyclopedia.com/humanities/encyclopedias-almanacs-transcripts-and-maps/decentralization-party, diakses 20 Oktober 2018.

[8] William L. Cleveland dan Martin Bunton, Loc.Cit.

[9] Ibid., hlm 154, 156.

[10] Ibid., hlm 156-157.

[11] Mustafa Aksakal, “The Ottoman Proclamation of Jihad”, dalam Erik-Jan Zürcher (ed), Jihad and Islam in World War I (Leiden University Press, 2016), hlm 56-57.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*