Mozaik Peradaban Islam

Islam dan Perang Dunia I (5): Kalah

in Monumental

Last updated on October 20th, 2018 02:31 pm

“Kisah ini bukanlah kisah yang menyenangkan dalam sejarah Islam, karena Kekhalifahan Islam – Ustmaniyyah – mengalami kekalahan telak dan menyakitkan. Namun bagaimanapun sejarah ini, kendatipun kelam, adalah sesuatu yang harus dicermati dan dipelajari.”

–O–

Setelah Kesultanan Ustmaniyah (Ottoman) menerbitkan fatwa “Perang Suci” dalam Perang Dunia I, atau yang mereka sebut dengan cihad-ı ekber (Jihad Besar),[1] berbagai reaksi muncul di dunia Muslim. Beberapa kalangan ulama Arab menyambutnya dengan antusiasme, tetapi salah satu tokoh kunci yang arah sikapnya sangat penting dan diharapkan, justru menolak untuk mendukung. Dia adalah Sharif Mekkah, Husein bin Ali, dia menolak untuk mengasosiasikan dirinya dengan seruan sultan dengan alasan hal itu dapat membangkitkan sentimen warga Mekkah, dan dia khawatir ini malah akan membuat tentara Inggris memblokade atau bahkan sampai menyerang Pelabuhan Hijaz – saat itu Inggris sudah menjajah Mesir dan menguasai jalur transportasi di Laut Merah. Sementara itu reaksi di tempat lainnya, masyarakat Muslim cenderung diam dan pasif – bahkan di Mesir dan India misalnya, pendapat yuridis justru menegaskan bahwa Muslim wajib untuk tunduk kepada Inggris.[2]

Perlu diketahui, meskipun pada saat itu Ottoman merupakan penguasa wilayah yang sangat luas di dunia Muslim, dan secara legitimasi merupakan khalifah – dengan khalifahnya adalah Sultan Mehmed V yang secara internal kekuasaannya sudah jauh terpangkas oleh Committee of Union and Progress (CUP) – yang memiliki otoritas religius tertinggi bagi kalangan Sunni Muslim, namun di lapangan ia jauh dari dicintai oleh masyarakat Muslim. Dan ini membuat fatwa jihad menjadi tidak berjalan efektif.[3]

Selain itu, Mustafa Aksakal dalam buku Jihad and Islam in World War I mengatakan trend yang berkembang pada masa itu bukanlah trend religius, tetapi trend perlawanan atau anti terhadap kolonialisme yang terjadi di seluruh dunia, termasuk di dunia Muslim – baik bersenjata maupun tidak bersenjata. Memang di negara-negara Muslim, mulai dari Indonesia hingga Afrika Barat, gerakan jihad bermunculan, namun itu tidak dapat diidentifikasi sebagai jihad atas nama Islam secara universal. Ketimbang motivasi religius, sentimen nasionalisme-nya justru yang lebih besar. Meminjam istilah dari Mustafa Aksakal, fenomena itulah yang disebut dengan “sekularisasi jihad,” atau lebih tepatnya dia mengatakan “politisasi Islam.” Menurutnya, hal inilah yang luput dari perhatian Ottoman.[4]

Bagaimanapun Ottoman tetap turun untuk berperang dalam Perang Dunia I. Kita tidak akan masuk terlalu jauh ke dalam kronologi bagaimana jalannya perang, karena itu terlalu teknis dan di luar ranah kajian tulisan ini. Para sejarawan umumnya berpendapat bahwa teater perang yang terjadi di Timur Tengah terdiri dari lima pertempuran besar dan beberapa pertempuran kecil. Seluruh pertempuran tersebut terjadi dalam wilayah geogarfis yang sangat luas dan berjauhan. Pertempuran-pertempuran besar terjadi di Sinai, Palestina, Mesopotamia, Kaukasus, Persia, dan Gallipoli.[5]

Terlepas dari kemenangan gemilang Ottoman di Gallipoli (Bagian Eropa Turki hari ini, di mana Mustafa Kemal Atatűrk – pendiri Turki – memperoleh nama besarnya di sana dan menjadi pahlawan) dan Kut al-Amara (salah satu kota di Irak), namun secara keseluruhan Ottoman tidak dapat berbuat banyak dalam Perang Dunia I. Mereka dipecundangi oleh pasukan Rusia sampai revolusi pecah di Rusia pada tahun 1917, dan oleh pasukan Inggris sampai akhir Perang Dunia I tahun 1918.[6]

Jumlah kematian pasukan Ottoman dalam perang selama empat tahun sangat banyak, dan banyak dari mereka yang mati bukan karena luka di pertempuran, melainkan karena penyakit. Perkiraan jumlah tentara yang tewas dalam perang adalah 325.000 orang, sementara jumlah yang terluka bervariasi dari sekitar 400.000 hingga 700.000 orang (yang mana kemudian 60.000 dari tentara yang luka tersebut meninggal). Jumlah orang yang mati kemudian bertambah banyak, ketika 400.000 tentara Ottoman meninggal karena penyakit. Sehingga jumlah total tentara Ottoman yang mati hampir mencapai 800.000 orang. Pada bulan Oktober 1918, jumlah pasukan Ottoman hanya tinggal 15 persen-nya dari kekuatan puncak mereka yang berjumlah 800.000 pada awal tahun 1916.[7]

Pasukan Ottoman dalam Perang Dunia I. Photo: Yörünge Dergisi

Sementara itu puluhan ribu orang di Anatolia terlantar. Para petani yang menyumbang sekitar 40 persen dari seluruh pasukan Ottoman pada awal perang kini telah tiada, akibatnya Anatolia sangat kekurangan tenaga kerja produktif. Pada saat kewajiban untuk berperang lebih diutamakan ketimbang untuk kehidupan sipil sehari-hari, keluarga yang ditinggalkan di rumah seringkali mengalami kondisi yang sama sengsaranya dengan mereka yang maju berperang.[8]

Salah satu pendapat sejarah mengatakan bahwa penyebab utama kekalahan Ottoman adalah karena lemahnya kemampuan infrastruktur Ottoman dalam hal transportasi. Dengan lokasi perang yang sangat luas dan berjauhan, proses pemindahan pasukan dari satu wilayah ke wilayah lainnya menjadi masalah yang serius.[9] Di antara markas pusat pasukan Ottoman di Istanbul ke lokasi perang terhampar wilayah Anatolia yang sangat luas. Metode komunikasi memang telah berkembang pesat dalam lima puluh tahun terakhir, tetapi fasilitas jalan dan kereta api hampir tidak memadai untuk memenuhi tuntutan pada masa perang, yakni mobilisasi pasukan yang tinggi dan suplai logistik untuk kebutuhan mereka. Butuh lebih dari sebulan untuk mencapai Suriah dari Istanbul, misalnya, dan hampir dua bulan untuk mencapai Mesopotamia. Pembangunan rel kereta api berjalan dengan cepat, namun mereka belum memiliki sistem yang baik, sehingga seringkali baik pasukan maupun logistiknya terpaksa bergantung menggunakan alat transportasi lainnya, yaitu perahu, truk, atau unta. Pendapat lainnya mengatakan, Ottoman yang merupakan negara pertanian, memang tidak akan sanggup menghadapi Eropa yang telah bertransformasi menjadi negara-negara industrial yang memiliki infrastruktur dan perlengkapan perang yang lebih maju.[10] (PH)

Bersambung ke:

Islam dan Perang Dunia I (6): Penindasan Bangsa Arab

Sebelumnya:

Islam dan Perang Dunia I (4): Perang Suci

Catatan Kaki:

[1] Mustafa Aksakal, “The Ottoman Proclamation of Jihad”, dalam Erik-Jan Zürcher (ed), Jihad and Islam in World War I (Leiden University Press, 2016), hlm 55.

[2] Caroline Finkel, Osman’s Dream: The Story of the Ottoman Empire 1300-1923 (Basic Books: 2006), hlm 266.

[3] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 283.

[4] Mustafa Aksakal, Ibid., hlm 56-57.

[5] Eamon Gearon, Ibid., hlm 282.

[6] Gábor Ágoston dan Bruce Masters, Encyclopedia of the Ottoman Empire (Facts On File, Inc. : 2009), hlm 599.

[7] Caroline Finkel, Ibid., hlm 266-267.

[8] Ibid., hlm 267.

[9] Gábor Ágoston dan Bruce Masters, Loc.Cit.

[10] Caroline Finkel, Ibid., hlm 266.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*