Mozaik Peradaban Islam

Keterbukaan Imam Bukhari terhadap Para Periwayat Syiah (1): Guru-Guru Bukhari

in Studi Islam

Last updated on January 13th, 2020 10:41 am

Kalau saja engkau tahu Ubaidillah bin Musa al-Absi dan Abu Nuaim al-Fadl bin Dukain serta sekelompok guru kami yang lain yang berasal dari Kufah, niscaya kalian tidak akan mempertanyakan pada kami tentang Abu Ghassan.

Foto Ilustrasi

Oleh Syafiq Basri | Mantan Wartawan Tempo, Pengamat Masalah Sosial, Agama, dan Komunikasi

Suatu ketika Husain al-Ghazi bertanya kepada Imam Bukhari tentang salah seorang guru Bukhari yang dijuluki Abu Ghassan.

“Dari sisi apa engkau bertanya tentang beliau (Abu Ghassan)?” tanya Imam Bukhari kembali.

“Masalahnya, dia itu Syiah,” tanya Al-Ghazi lagi.

“Dia ikut mazhab penduduk kotanya (yakni Kufah, Irak),” jawab Bukhari.

“Kalau saja engkau tahu Ubaidillah bin Musa al-Absi dan Abu Nuaim al-Fadl bin Dukain serta sekelompok guru kami yang lain yang berasal dari Kufah, niscaya kalian tidak akan mempertanyakan pada kami tentang Abu Ghassan,” sambung Bukhari.

Petikan diskusi di atas, dengan redaksi yang merupakan reka ulang cerita, dibawakan oleh al-Ghazi, sebagaimana ditulis kritikus (Sunni) Imam al-Dhahabi dalam kitab Siyar-nya.

Abu Ghassan adalah julukan lelaki yang bernama lengkap Malik bin Ismail bin Ziyad al-Kufi al-Nahdi. Salah seorang guru Imam Bukhari itu merupakan satu di antara periwayat dalam kitab Sahih Bukhari, sehingga al-Ghazi bertanya pada Bukhari saat berjumpa dengannya. Bukan hanya dalam Sahih Bukhari, rupanya Abu Ghassan juga dirujuk dalam kitab Sahih Muslim.

Tentang siapa dan bagaimana Abu Ghassan itu banyak yang menukilnya dalam kitab Rijal al-Hadith. Yahya bin Main, misalnya, mengatakan, “Di Kufah, tidak ada yang lebih thiqah (sangat dipercaya) dari Abu Ghassan”.

Sedangkan Ibnu Numair menyatakan, “Abu Ghassan merupakan pemimpin para ahli hadis (imam al-muhaddithiin).”

Lainnya, seperti al- Nasai bilang, “Abu Ghassan itu thiqah.

Sementara itu, dalam Tadhkirah-nya kritikus Sunni al-Dhahabi menulis, bahwa Abu Dawud berkata tentang Abu Ghassan yang merupakan tokoh yang “keras Syiah-nya (shadid al-tashayyu)”.

Mirip dengan itu, Ibnu Saad menjelaskan bahwa Abu Ghassan itu “thiqah, saduq (jujur), bermazhab Syiah keras.”

Lalu siapakah Ubaidillah bin Musa al-Absi dan Abu Nuaim al-Fadl bin Dukain yang disebut Bukhari di atas? Al-Dhahabi dalam kitab Asma-nya menulis tentang al-Absi, “Guru al-Bukhari itu thiqah, berlebihan Syiah-nya.”

Malah, kritikus Sunni yang lain, Yaqub bin Sufyan dan Ibnu Mundhah, mengatakan bahwa al-Absi adalah seorang Rafidah. Mirip dengan al-Absi, maka Abu Nuaim al-Fadl bin Dukain pun dikenal sebagai seorang tokoh utama Syiah pada jamannya – sebagaimana diceritakan oleh al-Dhahabi dalam kitab Siyar maupun dalam kitab Mizan-nya.

Menurut Ibnu al-Athir, “Dia (Abu Nuaim) itu guru Imam Bukhari dan Imam Muslim, dan dia seorang Syiah.”

Eh, rupanya bukan cuma Abu Ghassan, al-Absi, dan Abu Nuaim. Sebuah penelitian riset doktoral belum lama ini menemukan, bahwa minimal terdapat 56 orang bermazhab Syiah yang jadi periwayat dalam kitab Sahih Bukhari, dan 70-an periwayat Syiah dalam kitab Sahih Muslim.

Tetapi, bagaimana mungkin, setelah sekian banyak tudingan kepada pengikut mazhab Syiah (sebagai ‘bukan Muslim’, dan sebagainya), tiba-tiba ada periwayat hadis bermazhab Syiah yang dirujuk dalam dua dari enam kitab referensi unggulan mazhab Sunni (kutub as-sittah) itu?

Ternyata temuan itu merupakan hasil penelitian Dr. Alwi bin Husin, yang belum lama ini diterbitkan dalam sebuah buku setebal 747 halaman dengan judul Periwayat Syiah dalam Kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.

April 2019 silam Alwi lulus sidang doktoral pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Ciputat) dengan predikat Cum Laude. Tidak kurang dari enam guru besar menjadi penguji disertasi Alwi, yakni Prof. Dr. Jamhari, Prof. Dr. Zaitunah Subhan, Prof. Dr. M. Suparta, Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, Prof. Zulkifli, PhD, dan Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor.

Pada intinya buku itu mengkaji tentang keberadaan para periwayat hadis dari berbagai kelompok Syiah yang riwayatnya dimuat dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, dua rujukan hadis paling otoritatif dalam mazhab Sunni, atau populer dengan sebutan al-Sahihain (dua kitab sahih).

Imam Bukhari, bernama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Jufi al-Bukhari. Bukhari, yang juga salah seorang guru Imam Muslim adalah seorang keturunan Persia yang lahir di Bukhara pada 194 H.

Bukhara sendiri adalah sebuah kota antik yang ribuan tahun lalu yang berada di bawah kekuasaan kekaisaran Persia (Iran) kuno. Sesudah berabad-abad berada di wilayah Persia, kini kota bersejarah itu masuk wilayah negara Uzbekistan. Tokoh lain yang lahir di Bukhara, misalnya adalah Ibnu Sina (980–1037 M).

Sempat berkeliling ke berbagai negara, pada sekitar tahun 864 (250 H) Imam Bukhari menetap di Naisabur, Iran, tempat dia berjumpa dengan Imam Muslim, salah seorang muridnya. Berhubung tekanan politik, Bukhari pindah ke Khartank, di dekat Samarkan, Uzbekistan, dan wafat di situ pada 256 H (870 M).

Sedangkan Imam Muslim, yang bernama lengkap Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi lahir pada tahun 204 H, dan wafat pada 261 H, dalam usia 55 tahun. Beliau dimakamkan di Naisabur, propinsi Khorasan, Iran.

Sebagai sumber hukum Islam yang menempati posisi kedua setelah Alquran, pelestarian hadis (sabda) Nabi SAW yang disalurkan oleh para periwayat adil, jujur, dan akurat, adalah sebuah kewajiban, tanpa harus melihat sudut ‘keyakinan’ para periwayatnya.

Prinsip inilah yang memicu terbitnya banyak jalur periwayatan bagi hadis-hadis Nabi itu. Dengan kata lain, sebuah narasi (matan, atau isi) hadis dapat disalurkan melalui berbagai periwayat, lintas aliran teologi yang di antaranya adalah dari kelompok Syiah, di mana narasi mereka juga telah diabadikan dalam berbagai literatur hadis Sunni. Selain dari periwayat bermazhab Syiah, terdapat pula periwayat yang berafiliasi pada mazhab lain.

Sebagaimana diketahui, Syiah adalah sebuah aliran yang telah hadir sejak masa awal Islam. Dalam disertasi itu, Alwi telah menyisir istilah Syiah, baik secara etimologi, maupun terminologi, mulai dari sudut bahasa munculnya terma ‘Syiah’ (yang secara umum diartikan sebagai ‘pengikut’), hingga penelusuran terhadap tulisan sejarawan, yang kemudian dituangkan dalam studi komparatif.

Lewat berbagai uraian yang detail berdasarkan berbagai kitab rujukan utama Sunni, Alwi mengajak pembaca menelusuri apa itu Syiah, sejarahnya, dan bagaimana terjalinnya hubungan para periwayat Syiah sehingga termaktub dalam Sahihain.

Secara ringkas, yang bisa dipetik, misalnya, adalah pendapat dari Shahrastani dalam buku al-Milal-nya yang menyebut bahwa, “Syiah adalah mereka yang mengikuti (sahabat dan menantu Nabi SAW) Ali bin Abi Thalib RA secara khusus dan percaya pada posisinya sebagai imam dan khalifah penerus Nabi SAW berdasarkan ketetapan (nash) dan wasiat Nabi SAW secara tersurat dan tersirat. Mereka meyakini pula bahwa, kepemimpinan (Imamah) tidak akan keluar dari putra-putra Ali.”[]

Bersambung ke:

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*