Al-Barra bin Marur berkata, “Maka baiatlah kami wahai Rasulullah. Demi Allah, kami adalah orang-orang yang mahir dalam perang dan mengepung musuh. Kami mewarisinya sejak dulu.”
Pada musim haji tahun ke-13 kenabian, tepatnya pada bulan Juni 622 M, lebih dari 70 penduduk Yatsrib (Madinah) yang sudah masuk Islam datang ke Makkah untuk melaksanakan manasik Haji. Mereka datang bersama rombongan haji dari kaumnya yang masih musyrik.
Setibanya di Makkah, para Muslim Yatsrib ini menjalin komunikasi secara sembunyi-sembunyi dengan Rasulullah saw, yang akhirnya menghasilkan kesepakatan antara kedua belah pihak untuk berkumpul di sebuah bukit di Aqabah pada pertengahan hari Tasyrik, atau tatkala melempar jumrah pertama setelah dari Mina.
Agar pertemuan ini berjalan lancar, maka ia harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi pada malam hari yang gelap.
Pada pertemuan tersebut, terjadilah sebuah peristiwa di dalam Islam yang terkenal yang disebut dengan Baiat (sumpah setia kepada seorang pemimpin) Aqabah Kedua, atau sering juga disebut Baiat Aqabah Kubra. Baiat Aqabah Pertama sudah pernah dilakukan pada tahun sebelumnya dengan jumlah penduduk Muslim Yastrib yang lebih sedikit, yakni hanya 12 orang.[1]
Pada baiat Aqabah kedua, terjalin kesepakatan yang lebih luas antara Rasulullah dengan Muslim Yatsrib, yakni dalam hal agama dan perlindungan militer, penduduk Yatsrib terkenal akan keahliannya dalam berperang.
Ubadah bin ash-Shamit, salah satu di antara 12 orang yang ikut dalam baiat Aqabah pertama, yang kali ini menjadi perwakilan pendudukan Yatsrib, berkata, “Kami mengambil baiat kepada Rasulullah berdasarkan ketentuan perjanjian mengenai perang.”[2]
Selain tentang perang, ada juga klausul-klausul lainnya yang tidak akan dijelaskan di sini, namun salah satu poin pentingnya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Kaab bin Malik al-Anshari yang juga hadir di sana:
Lalu Rasulullah saw berbicara, membaca Alquran, berdoa kepada Allah, dan menyebutkan harapannya untuk Islam. Kemudian beliau bersabda, “Aku membaiat kalian, agar kalian melindungiku sebagaimana kalian melindungi istri dan anak-anak kalian.”
Kemudian al-Barra bin Marur memegang tangan beliau dan berkata, “Benar. Demi yang mengutus engkau dengan benar, kami akan melindungimu sebagaimana kami melindungi istri-istri kami. Maka baiatlah kami wahai Rasulullah. Demi Allah, kami adalah orang-orang yang mahir dalam perang dan mengepung musuh. Kami mewarisinya sejak dulu.”[3]
Perintah Hijrah
Peristiwa berikutnya setelah Baiat Aqabah Kubra adalah turunnya perintah hijrah bagi Kaum Muslimin di Makkah. Al-Tabari dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk menuturkan:
Setelah Allah memberikan izin kepada Rasul-Nya untuk berperang dengan menurunkan ayat: “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah,” (QS Al-Anfal [8]: 39) dan orang Ansar telah berjanji untuk mendukungnya sesuai dengan ketentuan yang telah aku jelaskan (tentang perlindungan), Rasulullah memerintahkan para sahabatnya dari kalangan Muslim yang bersamanya di Makkah untuk hijrah, pergi ke Madinah, dan bergabung dengan saudara-saudara mereka, orang-orang Ansar.
Beliau berkata kepada mereka, “Allah telah memberikan untuk kalian saudara-saudara dan tempat tinggal di mana kalian akan selamat.”
Mereka pergi dengan berkelompok-kelompok. Rasulullah tetap tinggal di Makkah menunggu Tuhannya memberikan izin untuk meninggalkan Makkah dan pergi ke Madinah.[4]
Sebagaimana dikutip oleh Bukhari, Aisyah meriwayatkan, “Rasulullah saw bersabda kepada orang-orang Muslim, ‘Sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku tempat tujuan hijrah kalian, yang memiliki kebun kurma yang terletak di antara dua dataran yang subur.’.”[5]
Kaum Muslimin Makkah kemudian melakukan hijrah secara bertahap. Dan dua bulan setelah peristiwa Baiat Aqabah Kubra, tak seorang pun dari orang-orang Mukmin yang tersisa di Makkah, kecuali Rasulullah saw, Abu Bakar, dan Ali, yang memang diperintahkan untuk tinggal di Makkah.
Ada juga beberapa orang lainnya yang ditahan secara paksa oleh orang-orang musyrik di Makkah, atau tidak mampu untuk melarikan diri. Rasulullah bersama Abu Bakar dan Ali, telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk hijrah, namun mereka masih menunggu izin dari Allah.[6]
Abu Bakar seringkali bertanya kepada Rasulullah, kapan kiranya dia diberi izin untuk hijrah, namun beliau berkata kepadanya, “Janganlah lakukan itu, mungkin Allah akan memberikan teman (hijrah) bagimu.” Abu Bakar berharap Rasulullah lah yang akan menjadi teman perjalanannya itu.[7]
Atau dalam riwayat versi lainnya, ketika ditanya oleh Abu Bakar, Rasulullah menjawab, “Tundalah keberangkatanmu, karena aku masih menunggu izin bagiku.”
“Demi bapakku yang menjadi taruhannya, apakah dalam kondisi seperti ini engkau masih hendak menunggu izin?” tanya Abu Bakar.
Beliau menjawab, “Ya.”
Maka Abu Bakar menunda keberangkatannya untuk menemani Rasulullah di Makkah. Dia harus memberi makan dua ekor untanya, yang telah dia persiapkan untuk hijrah, dan mengurus mereka selama empat bulan lamanya.[8] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 205.
[2] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 6, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh W. Montgomery Watt dan M. V. McDonald (State University of New York Press: New York, 1988), hlm 138.
[3] Sirah Ibnu Hisyam (Vol 1, hlm 442), dalam Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Op.Cit., hlm 207.
[4] Al-Tabari, Op.Cit., hlm 139.
[5] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Op.Cit., hlm 216.
[6] Zaad al-Maad (Vol 2, hlm 52), dalam Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Op.Cit., hlm 215.
[7] Al-Tabari, Op.Cit., hlm 140.
[8] Bukhari (Vol 1, hlm 553), dalam Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Op.Cit., hlm 216.