Mozaik Peradaban Islam

Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq (9): Jika Demikian, Maka Benarlah Dia!

in Tokoh

Last updated on May 8th, 2020 01:57 pm

Di Suriah, Abu Bakar bermimpi, bahwa bulan jatuh dari ufuk dan bertengger di rumahnya. Seorang pendeta menjelaskan kepadanya, “Telah datang saatnya baginya…. dan engkau akan beriman kepadanya.”

Foto ilustrasi: anasheay/DeviantArt

Pada usia 40 tahun, Muhammad SAW diangkat menjadi rasul. Mengenai bagaimana Jibril AS menyampaikan berita bahwa beliau diangkat menjadi nabi, telah kami sampaikan dalam artikel sebelumnya.

Setelah menerima wahyu pertama, yaitu Surat al-Alaq ayat 1-5, Rasulullah menerima wahyu kedua, yaitu Surat al-Muddassir ayat 1-5. Setelahnya wahyu-wahyu lain datang berturut-turut.[1]

Kemudian, secara lengkap beliau menerima perintah untuk berdakwah dalam surat al-Muddassir ayat 1-7 yang berbunyi:

“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.”

Periode pertama dakwah ini berlangsung selama tiga tahun di Makkah.[2]

Pada masa-masa periode dakwah pertama ini, Atiq, atau panggilan Abu Bakar sebelum masuk Islam, oleh sejarawan Khalid Muhammad Khalid diriwayatkan sedang melakukan perjalanan dagang ke Suriah. Bukan hanya berdagang, selama di sana, Abu Bakar bersahabat dengan rahib-rahib dan pendeta-pendeta yang masih memegang keyakinan agama Ibrahim AS.

Dari mereka, sebagaimana dia mendapat berita dari Waraqah bin Naufal, dia mendapat berita-berita mengenai akan datangnya seorang nabi. Dari para Ahli Kitab ini, baik yang di Makkah mau pun yang di Suriah, Abu Bakar mendengar berita bahwa seorang nabi akan muncul di Makkah, yaitu sebuah negeri yang terdapat Kabah di dalamnya.

Suatu malam di Suriah, ketika urusan dagangnya sudah selesai di Suriah, beberapa hari menjelang kepulangannya ke Makkah Abu Bakar bermimpi. Dilihatnya bulan telah meninggalkan tempatnya di ufuk tinggi turun di Makkah, kemudian ia terpecah-pecah, tersebar ke seluruh bangunan dan rumah-rumah. Kepingan-kepingan tadi kemudian bersatu kembali dan menjadi utuh seperti semula, kemudian bertengger di bilik rumah Abu Bakar.

Abu Bakar segera terbangun dari mimpinya, dan mimpi itu terus mengusik pikirannya. Maka ditemuinyalah salah seorang Pendeta suci yang telah dikenalnya dengan baik dan dia menceritakan mimpi ini kepadanya.

Wajah pendeta itu tampak berseri-seri, lalu dia berkata kepada Abu Bakar, “Rupanya telah datang saatnya baginya!”

“Siapakah yang engkau maksudkan?” tanya Abu Bakar, “Apakah Nabi yang sedang kita tunggu-tunggu itu?”

“Benar,” ujar sang Pendeta, “dan engkau akan beriman kepadanya dan akan menjadi orang yang paling berbahagia karenanya.”

Akhirnya pada waktu yang ditetapkan, pada waktu Subuh rombongan Abu Bakar melakukan perjalanan pulang ke Makkah. Setelah sekian lama melakukan perjalanan, mereka tiba di Makkah. Di daerah perbatasan, Abu Bakar melihat orang-orang yang sedang berkumpul di ketinggian, rupanya mereka hendak menyambutnya setelah melihat rombongannya datang dari kejauhan.

Semakin Abu Bakar mendekat, semakin dia mendengar bahwa orang-orang itu sedang gaduh dan riuh membicarakan sesuatu. Ada apa gerangan? Abu Bakar bertanya-tanya di dalam hatinya. Perubahan apa saja yang terjadi di Makkah setelah sekian lama dia pergi?

Setelah sampai, orang-orang itu menyambut Abu Bakar, mereka kemudian saling berpelukkan, sampai akhirnya salah satu dari mereka berkata, “Tidakkah tuan-tuan tahu? Semenjak tuan-tuan pergi, orang-orang Quraisy tak dapat memejamkan matanya di waktu malam!”

Abu Bakar bertanya, “Quraisy yang malang, apa yang telah terjadi dengan kalian?”

Dia menjawab, “Muhammad telah menaruh bara api di atas hidung mereka.”

“Bara api? Kenapa? Apa yang telah terjadi?” Abu Bakar bertanya kembali.

“Katanya Allah telah mengutusnya agar kita hanya menyembah-Nya dan meninggalkan tuhan-tuhan kita.”

Mungkin karena waktu itu dakwah Nabi masih belum dianggap terlalu mengancam, salah seorang di antara mereka yang suka berkelakar menimpali, “Biarkanlah dia menghancurkannya! Memang, telah lama sekali patung-patung itu berebut makanan dengan kita.”

Mereka menjadi semakin riuh dan gaduh kembali. Abu Bakar kemudian meninggalkan mereka untuk memasuki kota Makkah.

Di Makkah, rombongan Abu Bakar disambut sekelompok kecil orang-orang yang dipimpin oleh Amr bin Hisyam, atau lebih dikenal dengan sebutan Abu Jahal. Mereka saling berpelukan, Abu Jahal kemudian membuka pembicaraan, “Apakah mereka telah menceritakan kepadamu mengenai sahabatmu, wahai Atiq?”

“Apakah yang engkau maksud itu Muhammad al-Amin?” kata Abu Bakar.

“Memang, yang aku maksud adalah anak yatim dari Bani Hasyim itu,” kata Abu Jahal.

“Engkau mendengar sendiri apa yang dikatakannya, hai Amr bin Hisyam?” tanya Abu Bakar.

“Ya, aku mendengar dan semua orang pun mendengarnya,” jawab Abu Jahal.

“Apa katanya?”

“Katanya, di langit itu ada Allah. Dia mengutusnya kepada kita agar kita hanya beribadah kepada-Nya dan meninggalkan tuhan-tuhan yang disembah oleh leluhur kita.”

“Apakah yang dikatakannya bahwa Allah telah menyampaikan wahyu kepadanya?”

“Benar.”

“Tidakkah diceritakannya bagaimana Allah berbicara dengannya?”

“Katanya, Jibril mendatanginya di gua Hira.”

Mendengarnya, wajah Abu Bakar berseri-seri, dan dengan tenang dia berkata, “Jika demikian, maka benarlah dia!”

Mendengarnya, kedua kaki Abu Jahal menjadi lemas. Bagaimana mungkin seorang pemuka Quraisy seperti Atiq malah membenarkannya? Jawaban Abu Bakar tidak seperti yang dia harapkan.

Abu Bakar kemudian berjalan menuju ke rumahnya, untuk bertemu dengan keluarganya dan melepas lelah setelah perjalanan yang jauh. Setelah itu, barulah Allah menetapkan baginya suatu ketentuan yang pasti terjadi dan tak terbantahkan lagi.[3] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Bukhari, Kitabut Tafsir, Bab war-Rujza Fahjur, 2/733, dalam Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 94-95.

[2] Ibid., hlm 97.

[3] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 35-45.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*