Kareem tercerahkan dengan kata-kata Malcolm X yang mengatakan, bangunan rasis telah jauh memenjarakan dirinya sebelum mendekam di tembok penjara.
“Aku tahu dimana yang tidak cocok denganku, yaitu di Gereja Katolik,” kata Kareem yang waktu itu masih bernama Ferdinand Lewis Alcindor Jr.[1]
Dia meninggalkan pendidikan Katholik seiring kepergiannya ke New York untuk UCLA. Kareem memiliki alasan, agamanya itu sebenarnya lebih dulu dan telah jauh hari mencampakkan dirinya termasuk semua orang kulit hitam di Amerika. Bahkan dia berani mengatakan, Bible secara terang-terangan memberikan pembenaran atas perbudakan.
Dia juga memiliki pemikiran, bahwa di sekolah, melalui kurikulum yang diajarkan, mereka telah menolak untuk mengakui apapun sejarah tentang pencapaian orang-orang kulit berwarna.
Satu minggu sebelum dia tiba di UCLA, 1966, huru hara rasial masih berkecamuk, giliran Los Angeles yang membara, kerusuhan rasial itu mengakibatkan 34 orang meninggal, 1.032 ditangkap, dan kerugian 40 juta dolar Amerika. [2]
Satu tahun sebelum tahun 1965, tokoh kharismatik kulit hitam Malcolm X tewas dibunuh[3] oleh orang-orang Nation of Islam, organisasi yang dia besarkan.
Kurang dua minggu setelahnya, Marthin Luther King Jr,[4] memimpin gerakan persamaan hak di Selma, Alabama yang kemudian terkenal dengan sebutan “Bloody Sunday” setelah dia diserang oleh polisi dengan pukulan dan gas air mata. [5]
Malcolm X adalah seorang aktivis Islam yang dalam masa hidupnya dikenal sebagai orang yang berbicara lantang menyuarakan kebangkitan kulit hitam dari penindasan. Dia menantang arus utama pergerakkan hak sipil yang diperjuangkan oleh Marthin Luther King Jr yang menggagas ide “integrasi tanpa kekerasan”.[6]
Dalam bingkai pembelaan terhadap hak-hak masyarakat kulit hitam AS saat itu, Malcolm X mendorong para pengikutnya untuk membela diri dari agresi masyarakat kulit putih “dengan cara apapun yang diperlukan, termasuk dengan kekerasan sekalipun.”[7]
Kematian Malcolm X memicu beragam akibat, salah satunya adalah meningkatnya penjualan buku The Autobiography of Malcolm X. Kareem, anak muda berusia 19 tahun yang tengah berada dalam “kegalauan” identitas dan baru saja masuk universitas UCLA membacanya.
“Awal kebangkitan kesadaranku datang dari Autobiografi Malcolm X,” katanya.
Kareem tercerahkan dengan kata-kata Malcolm X yang mengatakan, bangunan rasis telah jauh memenjarakan dirinya sebelum mendekam di tembok penjara. Kareem muda meresapi kata-kata itu benar adanya. Itu penjara yang dia rasakan juga. Identitas asing yang dikerangkeng atas fisik dan jiwanya.
Kareem masih menceritakan bacaannya, pertama-tama, yang dilakukan Malcolm X adalah menanggalkan identitas baptis yang disematkan kepadanya. Bahkan, dia menyatakan dengan sangat tajam bahwa identitas baptis itulah yang diyakini sebagai pondasi bangunan rasis selama ini.
Malcom X kemudian memeluk Islam, yang membantunya menemukan dirinya sendiri dan memberi kekuatan padanya tidak hanya untuk menghadapi kebengisan orang hitam maupun kulit putih tapi juga berjuang untuk keadilan sosial.
Kareem juga mengatakan ada salah satu halaman yang membuatnya sangat terkesan. Dia menceritakan pengalaman Malcolm X, “Suatu hari, aku masih mengingatnya, ada sebuah gelas berisi air kotor berada di meja, lalu Tuan Muhammad (Elijah Muhammad, guru Malcolm X, pemimpin Nation of Islam di Amerika Serikat-red) mengambil lagi gelas berisi air bersih, diletakkan berdampingan.
“‘Kamu ingin tahu caraku menyebarkan ajaran?’ Katanya sambil menunjuk pada gelas berisi air bersih. ‘Jangan engkau kutuk orang yang meminum dari gelas yang berisi air kotor.’
“Jelasnya, kamu hanya perlu tunjukan gelas yang berisi air bersih pada mereka. Begitu mereka menelitinya, kamu pun tidak perlu mengatakan milikmu lebih baik dibanding mereka.”[8]
“Aku hanyalah anak muda berusia 19 tahun, dan aku mengetahui selama ini telah meminum air dari wadah yang kotor,” kata Kareem.
Malcolm X, sosok yang mengawali karirnya sebagai kriminal kecil, dipenjarakan, masuk Islam[9], dan setelah keluar lalu menjelma menjadi pemimpin politik itu telah memberi inspirasi bagi Kareem untuk terus melihat dan memaksa agar berpikir lebih dalam tentang identitasnya. Pemikiran Malcolm X telah membuka kemungkinan lain bagi Kareem: Islam.
Baca juga:
Kareem menjelaskan, sebanyak 15 hingga 30 persen budak Afrika adalah Muslim, jadi menggali Islam adalah cara rasional baginya untuk terhubung dengan akar Afrikanya, yang tampaknya jauh lebih nyaman dan pas ketimbang Kristiani, yang bukan nilai-nilai leluhurnya. Dengan alasan itu semua, pada 1968 Kareem mulai mempelajari Alquran.
Kareem yang dalam waktu singkat meraih segudang penghargaan melejit sebagai bintang basket Mahasiswa, namun dia berupaya keras untuk menyembunyikan personalitasnya.
“Selebritas membuatku gugup dan tidak nyaman. Aku masih sangat muda, sehingga belum benar-benar bisa mengartikulasikan mengapa aku begitu malu dengan sorotan. Setelah beberapa tahun, aku baru bisa memahami hal itu lebih baik,” katanya.
Satu cara yang digunakan Kareem untuk tetap terkendali adalah mengikuti kata hati yang mengatakan bahwa dirinya tidak seperti yang dianggap oleh orang-orang. Itu bukanlah dirinya sebenarnya. Kareem tampaknya telah memahami, ada yang ingin menunggangi ketersohorannya.
Itu sebabnya, dirinya sampai pada tahap kesadaran bahwa Lew Alcindor (nama panggilan Kareem sebelum masuk Islam-red) yang dikagumi orang-orang itu pun bukanlah seorang yang mereka imajinasikan. Publik, menurut Kareem, menuntutnya untuk menjadi sebuah contoh praktis dari kesamaan rasial.
Rekan dan koleganya di UCLA juga di Milwaukee Bucks terbagi antara curiga dan mendukung. Publik terbelah. Beberapa seperti teman timnya mengatakan, “Islam? Apa itu?” Tapi lainnya bereaksi jika dirinya memiliki keberanian untuk menghantam Amerika dan berdiri atas apapun.
Mereka menginginkan Kareem untuk menjadi anak Negro yang baik, sebuah contoh mentereng tentang bagaimana Amerika terus menghidupkan janjinya untuk kesamaan kesempatan bagi semua. Pembuktian tentang seberapa besar kelimpahan yang diberikan Amerika kepadanya.
“Sosok seorang anak yang mana bagi siapapun dari latar belakang manapun, terkait rasial, agama maupun tingkat ekonomi, bisa mencapai impian Amerika. Bagi mereka, Aku adalah bukti hidup bahwa rasisme adalah mitos,” jelasnya.
Pendalamannya terhadap Islam awalnya sebenarnya tentang mencari jejak di Amerika terkait dengan peninggalan budaya leluhurnya. Dia bahkan bersyukur hidup di negara yang mana dirinya bisa melakukan hal itu (mencari tahu identitas budayanya). Namun di sisi lain, dia membantah jika Amerika adalah tempat yang memberikan kesamaan kesempatan, seperti banyak studi telah menjelaskan.
“Tapi sungguh aku ingin sekali ini menjadi tempat dari kesamaan kesempatan dan karena itu kami berjuang mewujudkannya,” jelasnya.
Saat keingintahuannya terhadap Islam semakin dalam, dia menemukan seorang guru, Hammas Abdul Khaalis. Selama bermain di Milwaukee Bucks, pandangan Hammas atas Islam seperti penyingkapan yang menyenangkan. Selanjutnya pada 1971, ketika Kareem berusia 24 tahun, dia menyatakan masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Kareem Abdul Jabbar.
Keputusan menganut Islam menempatkannya pada pembelajaran pemenuhan spiritual yang terus menerus. Tapi itu bukanlah pembelajaran yang mulus. Dia melakukan kesalahan-kesalahan di dalam perjalanannya. Lagi dan lagi.
Kareem menyadari jalan yang dipilihnya memang tidak seharusnya mulus. Mungkin jalan itu memang seharusnya berisi rintangan dan cobaan yang dimaksudkan sebagai ujian. (LJ)
Bersambung….
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Op, Cit, Kareem Abdul-Jabbar, Kareem Abdul-Jabbar on being Muslim from the Sixties to today.
[2] Ibid
[3] Gana Islamika, Malcolm X (1): Pejuang Muslim Kulit Hitam Amerika Serikat, dari laman https://ganaislamika.com/malcolm-x-1-pejuang-muslim-kulit-hitam-amerika-serikat/, diakses pada 20 Juni 2020.
[4] Encyclopaedia Britannica, Martin Luther King, Jr., dari laman https://www.britannica.com/biography/Martin-Luther-King-Jr, diakses pada 20 Juni 2020.
[5] Encyclopaedia Britannica, Selma March, dari laman https://www.britannica.com/event/Selma-March, diakses pada 20 Juni 2020.
[6] Op. Cit, Gana Islamika, Malcolm X (1): Pejuang Muslim Kulit Hitam Amerika Serikat
[7] Ibid
[8] Op, Cit, Kareem Abdul-Jabbar, Kareem Abdul-Jabbar on being Muslim from the Sixties to today, dari laman https://www.providencejournal.com/lifestyle/20170504/kareem-abdul-jabbar-on-being-muslim-from-sixties-to-today
[9] Gana Islamika, Malcolm X (3): Kriminal, dari laman https://ganaislamika.com/malcolm-x-3-kriminal/, diakses pada 22 Juni 2020.