Mozaik Peradaban Islam

Kisah Kareem Abdul Jabbar (2): Tidak Ada Tempat Aman untuk Kareem Kecil

in Mualaf

Last updated on June 23rd, 2020 01:55 pm

Kareem, sang legenda NBA, semasa kecil tumbuh dengan sensitifitas dan “kemarahan”, karena kerap kali dia dikatai “negro”,  sebuah panggilan yang ditujukan untuk melecehkan orang kulit hitam.

Kareem Abdul Jabbar muda. Sumber: Patrice Dickerson/Pinterest

Kareem Abdul Jabbar Lahir di New York, dua tahun setelah akhir Perang Dunia II.  Dia adalah anak pendiam dan canggung yang hanya memiliki ketertarikan pada buku dan kisah-kisah sejarah. Dia tumbuh di lingkungan proyek perumahan multicultural, yang membuatnya baru menyadari dirinya berkulit hitam saat memandang fotonya ketika kelas tiga sekolah dasar.

Dia anak semata wayang dari pasangan penganut Katholik. Ayahnya bernama Ferdinand Lewis Alcindor, berwatak tegas dengan wajah dan bahasa tubuh yang dingin, bekerja sebagai transit police officer,[1] yang juga musisi Jazz. Sedangkan ibunya, Cora Lilian seorang perempuan yang “terlalu melindungi”, pekerja toko yang bertugas memeriksa label harga. [2]

Kareem menuturkan,[3] dia dibesarkan dalam suasana kepatuhan. Ayahnya adalah seseorang yang terbiasa dengan serangkaian aturan, lalu dia juga duduk di sekolah Katholik yang di dalamnya terdapat pendeta dan suster yang memegang teguh aturan, dan dia juga berlatih basket di mana sang pelatih juga menerapkan banyak aturan.

“Pemberontakan bukan sebuah pilihan,” kata Kareem.

Namun ada sesuatu di dalam dirinya yang terus memintanya memberontak, mungkin hal itu ada kaitannya dengan kehidupan masa kecilnya yang penuh cemoohan. Seperti ceritanya tentang teman-teman sekolahnya di Harlem School System yang mengejeknya “aneh” karena dialah anak bertubuh paling jangkung di antara murid lain.

Atau ketika Kareem mengikuti pertemuan Minggu di Sekolah Dasar, dia diteriaki negro[4] oleh seorang anak Katholik Irlandia.  Setelah kejadian itu dia tidak pernah lagi datang ke gereja.

Selanjutnya di Sekolah Menengah Atas, pelatih yang dia hormati mengejutkannya di paruh babak saat performa tim tidak memuaskan, pelatih itu menuduhnya sebagai penyebab kekalahan tim karena berkata-kata serta berlagak seperti layaknya negro. Kareem sangat tersinggung lalu memutuskan tidak berbicara lagi dengan pelatih itu.

Tak ayal, banyak orang mengatakan, Kareem adalah anak yang tumbuh dengan sensitifitas dan “kemarahan”.

Negro adalah panggilan yang ditujukan untuk melecehkan orang kulit hitam. Seperti diketahui, Amerika Serikat adalah negara yang melakukan praktik perbudakan atas orang-orang kulit hitam yang berasal dari benua Afrika. Hingga sekitar abad 17-18 hadir generasi yang lahir di luar Afrika. Mereka dikenal dengan sebutan Afrika-Amerika. [5]

Dalam perkembangannya, perbudakan mendapat tantangan keras. Perjuangan itu membuahkan hasil. Beberapa negara bagian Amerika Serikat membuat aturan yang menentang perbudakan dan memberikan kebebasan pada budak hitam.

Namun aturan hukum dan kebebasan itu hanya di atas kertas, seperti peribahasa keluar dari mulut buaya masuk ke mulut harimau, karena muncul hal baru yang lebih menyakitkan bagi mantan budak yaitu pembatasan dan pembedaan kehidupan sosial dan ekonomi berdasarkan warna kulit.[6]

Pembatasan dan pembedaan kehidupan sosial dan ekonomi bagi warga Afrika-Amerika terus terjadi hingga kini.

Laporan media Jerman menjelaskan, lebih dari 50% warga kulit hitam Amerika Serikat menyebut empat hal sebagai ladang diskriminasi, yakni perlakuan aparat kepolisian, pekerjaan, pengadilan, dan sekolah. Sementara pada warga kulit putih jumlahnya kurang dari 30 persen. Selain itu, secara keseluruhan penduduk Afrika-Amerika meyakini adanya praktik diskriminasi berbau rasisme terhadap mereka, entah itu di restoran atau di rumah sakit.[7]

Sebelumnya Kareem bermain baseball. Namun tubuhnya yang terus menjulang membuatnya tertarik berlatih bola basket. Pada awalnya, olah raga  adalah cara Kareem untuk mendapat tempat aman dari cemoohan.

Pertama kali, dia berlatih di sekolah asrama Katholik. Walau memiliki tubuh tinggi, dia tidak pantas disebut pemain basket karena ototnya lemah dan ceroboh. Tapi dia terus berlatih, sampai dia merasa, seperti yang dia katakan, laksana seorang atlet tapi belum cukup mumpuni di usia yang masih muda. [8]

Namun tidak ada tempat yang benar-benar aman bagi Kareem. Udara Amerika Serikat di tahun 60-an terlalu pekat dengan diskriminasi rasial. Kisah tentang pianis klasik kulit hitam pertama yang bernama Donald Walbridge Shirley,[9] yang telah dituangkan dalam film layar lebar dengan judul Green Book,[10] bisa menjadi gambaran suasana diskriminasi kala itu.  

Di sekolah asrama itu pula dia mengalami banyak penghinaan dari teman sebayanya, yang membuatnya marah sekaligus menjadi bingung atas perbedaan yang sangat mencolok antara pemikiran Gereja Katholik dengan  tingkah laku teman-teman Katholiknya. [11]

Kareem hanya seorang bocah tapi dia pun harus merasakan hal serupa yang dialami komunitasnya. Akhirnya dia bisa mengerti mengapa gaya tubuh dan air muka ayahnya dan kebanyakan orang kulit hitam begitu dingin dan membatu.[12]

“Satu pertanyaan yang selalu menggangguku adalah bagaimana orang-orang yang menganggap dirinya beriman pada Kristiani, tapi tetap saja membenarkan kekerasan yang mereka lakukan terhadap orang kulit hitam,” tulis Kareem dalam buku memoarnya Becoming Kareem – Growing Up On and Off the Court yang dikutip oleh Jim Higgins Milwaukee Journal Sentinel. [13]

Terlahir di era 60-an, tidak banyak tokoh kulit hitam yang bisa dijadikan model panutan. Dia mengagumi Marthin Luther King Jr atas keberaniannya dan beberapa laki-laki kulit hitam lainnya. Tapi dia merasakan, secara umum, orang kulit putih melihat komunitasnya biasa-biasa saja, tidak ada yang terlalu hebat.

Setahun sebelum Kareem meneruskan pendidikan ke UCLA, terjadi penembakan oleh polisi kepada seorang remaja kulit hitam. Kejadian ini menyulut kerusuhan Harlem 1964.[14]   Kareem berada di tengah-tengah siswa yang protes atas kejadian itu. Kerusuhan Rasial itu kemudian meluas ke beberapa negara bagian.

“Aku menghabiskan beberapa tahun terakhir di SMA untuk mencari tahu, mengapa remaja yang hanya kenal bermain basket, sangat cocok di gerakan sipil,” jelasnya.[15] (LJ)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Petugas polisi yang khusus ditempatkan menjaga ketertiban dan kelancaran sistem  transportasi seperti kargo, jalur kereta api, jalur bus, subway, dan lainnya yang berkaitan dengan jalur perjalanan. Tugas lainnya adalah menjaga keamanan dan keselamatan penumpang atau mengusut kasus hukum terkait pemalsuan tiket atau pencurian barang di terminal, dan lain-lain, Careerexplorer.com, What is a Transit Police Officer?, dari laman https://www.careerexplorer.com/careers/transit-police-officer/, diakses pada 14 Juni 2020.

[2] SportyTell Editors, Kareem Abdul-Jabbar Biography & Personal Life Facts, dari laman https://sportytell.com/basketball/kareem-abdul-jabbar-biography-personal-life-facts/, diakses pada 14 Juni 2020.

[3] Op cit, Kareem Abdul Jabbar, “why i converted to islam”.

[4] Dictionary.cambridge.org, Negro, dari laman https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/negro, diakses pada 17 Juni 2020.

[5] Encyclopaedia Britannica, Slavery In The United States, dari laman https://www.britannica.com/topic/African-American/Slavery-in-the-United-States, diakses pada 17 Juni 2020.

[6] Ibid

[7] DW, Diskriminasi Kulit Hitam di Amerika Serikat, dari laman https://www.dw.com/id/diskriminasi-kulit-hitam-di-amerika-serikat/g-18091393, diakses pada 17 Juni 2020.

[8] Theresa Corbin, Black Americans Making History – Kareem Abdul-Jabbar, dari laman https://aboutislam.net/family-life/culture/black-americans-making-history-kareem-abdul-jabbar/, diakses pada 17 Juni 2020.

[9] Biography, Don Shirley, dari laman https://www.biography.com/musician/don-shirley, diakses pada 18 Juni 2020.

[10] Imdb, Green Book, dari laman https://www.imdb.com/title/tt6966692/, diakses pada 18 Juni 2020.

[11] Op. Cit, Theresa Corbin, Black Americans Making History.

[12] Op. Cit, Theresa Corbin, Black Americans Making History – Kareem Abdul-Jabbar.

[13] Jim Higgins Milwaukee Journal Sentinel, Kareem Abdul-Jabbar on why he converted to Islam in 1971, dari laman  https://www.newsobserver.com/entertainment/books/article190760814.html, diakses pada 17 Juni 2020.

[14] Encyclopaedia Britannica, Harlem race riot of 1964

United States History, dari laman https://www.britannica.com/event/Harlem-race-riot-of-1964, diakses pada 18 Juni 2020.

[15] Kareem Abdul-Jabbar, Kareem Abdul-Jabbar on being Muslim from the Sixties to today, dari laman https://www.providencejournal.com/lifestyle/20170504/kareem-abdul-jabbar-on-being-muslim-from-sixties-to-today, diakses pada 18 Juni 2020.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*