Setelah era kaum Ad dan Tsamud, peradaban manusia terus berkembang pesat. Di sekitar tepian sungai Eufrat dan Tigris, muncul peradaban Babilonia. Mereka mewarisi keahlian kaum Ad dan Tsamud dalam membuat bangunan yang tinggi dan memahat bebatuan.
Setting Sejarah
Menurut riwayat dari Ibnu Ishak, antara masa kenabian Nuh dan Ibrahim, Allah SWT hanya menurunkan dua Nabi, yaitu Hud dan Saleh.[1] Sebagaimana sudah dikisahkan oleh redaksi Gana Islamika dalam serial Kisah Nabi Nuh,[2] bahwa umat Nabi Nuh melakukan kedurhakaan yang sudah melampaui batas, sehingga Allah swt akhirnya menurunkan azab berupa banjir besar yang menyapu seluruh bumi.
Para sejarawan umumnya menyepakati bahwa tidak ada yang selamat dari banjir tersebut selain Nabi Nuh dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera. Bahtera tersebut berlayar selama enam bulan, hingga akhirnya berlabuh di atas tempat bernama bukit Judi.[3]
Hal ini dikisahkan dalam Alquran:
“Dan difirmankan: ‘Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,’ dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: ‘Binasalah orang-orang yang zalim’.” (QS Hud [11]: 44)
Ahli geografi asal Arab, Ibnu Khordadbih, pada abad ke-9 mengatakan bahwa lokasi gunung Judi berada di tanah Asyur (al-Akrad, tanah peninggalan bangsa Assyria, pada era modern artinya ini mencakup wilayah utara Irak, timur laut Suriah Timur, tenggara Turki, dan pinggiran barat laut Iran).
Sementara itu Yaqut al-Hamawi, seorang ahli geografi Muslim juga, berkebangsaan Yunani, pada abad ke-12 dan ke-13, mengatakan bahwa gunung tersebut berada di atas Jazirat bin Umar, di sebelah timur Tigris. Dia juga mengatakan, bahwa pada masa dia hidup, masjid peninggalan Nabi Nuh masih ada.[4]
Menurut Ibnu Katsir, setelah Nuh mendarat di al-Judi dan melanjutkan hidupnya bersama orang-orang yang beriman, Alquran menutup tirai pada kisah selanjutnya. Tidak diketahui bagaimana urusan dia dengan para pengikutnya berlanjut. Yang diketahui atau dapat dipastikan adalah, bahwa pada saat kematiannya, dia meminta putranya untuk menyembah hanya kepada Allah saja, Nuh kemudian meninggal.[5]
Sebelum wafatnya, Nuh sudah membagi wilayah bumi kepada putra-putranya, sebagaimana dikatakan oleh Amir bin Sharahil al-Shabi, “Ketika Nuh, keturunannya, dan semua yang ada di dalam bahtera turun ke bumi, dia membagi bumi kepada para putranya ke dalam tiga bagian.
“Kepada Sem, dia memberikan bagian tengah bumi di mana Yerusalem, Sungai Nil, Sungai Efrat, Tigris, Sayhan, Jayhan (Gihon), dan Fayshan (Pison) berada. Itu memanjang dari Pison ke timur Sungai Nil, dan dari daerah dari mana angin selatan bertiup hingga ke daerah dari mana angin utara bertiup.
“Kepada Ham, dia memberikan bagian (bumi) di sebelah barat Sungai Nil dan daerah-daerah yang melampaui wilayah tempat angin barat bertiup. Bagian yang dia berikan kepada Yafet terletak di Pison dan daerah-daerah yang melampaui tempat angin timur bertiup.”[6]
Di tiap-tiap tempat tersebut, anak-anak Nuh mulai kembali membangun peradaban dengan tetap berpegang teguh pada tali agama Allah swt. Peradaban-peradaban tersebut berkembang pesat hingga mampu menghasilkan karya yang masih membuat kagum manusia yang hidup setelah mereka.
Hanya saja, seiring dengan berkembangnya peradaban tersebut, kesombongan pun mulai kembali merasuki anak cucu Nuh. Secara perlahan, mereka mulai meninggalkan ajaran Nuh, dan kembali membuat sembahan-sembahan lain.
Salah satu peradaban yang berkembang cukup tinggi pada waktu itu adalah peradaban kaum Ad. Mereka adalah kaum yang mendiami kawasan selatan semenanjung Arab (sekarang Yaman hingga Oman). Mereka dianugerahi Allah SWT tubuh yang kuat dan sempurna, hingga mampu membuat bangunan-bangunan tinggi nan megah, yang tidak ada padanan pada masanya.
Namun karena pencapaian tersebut, mereka malah berpaling dari agama Allah dan mulai kembali menyembah berhala. Kepada mereka, Allah swt mengutus Nabi Hud. Namun kaum tersebut mengingkari seruan nabi-Nya, hingga akhirnya Allah SWT menurunkan azab kepada mereka, berupa angin yang mematikan.[7]
Setelah kaum Ad, muncul kemudian kaum Tsamud. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Katsir dalam Qisas Al-Anbiya, “Setelah penghancuran Kaum Ad, suku Tsamud menggantikan mereka dalam kekuasaan dan kejayaan. Mereka juga jatuh ke dalam penyembahan berhala.”
Menurut Ibnu Katsir, “Ketika kekayaan materi mereka meningkat, demikian pula cara kejahatan mereka, sementara kebajikan mereka menurun. Seperti Kaum Ad, mereka membangun bangunan-bangunan megah di dataran dan memahat rumah-rumah yang indah di perbukitan. Tirani dan penindasan menjadi lazim ketika orang-orang jahat memerintah negeri itu.”[8]
Hal ini juga diungkapkan di dalam Alquran:
“Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (Q.S al-Araf [7]: 74).
Kepada kaum Tsamud, Allah SWT mengutus Nabi Saleh untuk menyeru mereka kembali ke jalan Allah swt. Namun lagi-lagi, kaum ini mendustakan nabi-Nya. Sebagaimana dikisahkan dalam serial Nabi Saleh, Kaum Tsamud menentang seruan Nabi Saleh dengan cara yang lebih canggih dari pendahulunya (Kaum Ad).
Mereka bahkan sempat meminta bukti yang nyata kepada Nabi Saleh, sehingga Allah swt mengabulkan permintaan mereka dengan menurunkan mukjizat berupa unta yang keluar dari bebatuan. Tapi mukjizat ini, alih-alih membawa mereka kembali pada agama Allah, malah membuat sebagian besar dari mereka makin tersesat. Allah SWT kemudian mengazab mereka dengan azab yang pedih, sehingga memusnahkan kaum yang durhaka itu meskipun mereka tinggal di dalam gunung batu yang kokoh. [9]
Babilonia
Setelah era kaum Ad dan Tsamud, peradaban manusia terus berkembang pesat. Di sekitar tepian sungai Eufrat dan Tigris, muncul peradaban Babilonia. Mereka mewarisi keahlian kaum Ad dan Tsamud dalam membuat bangunan yang tinggi dan memahat bebatuan.
Sejurus dengan berkembangnya kemampuan teknis mereka, kemampuan strategis mereka pun berkembang pesat. Sehingga mereka mampu mengatur tata kehidupan masyarakat yang kompleks, kosmopolitan, dan dalam skala paling luas pada masanya. Dan puncak kejayaan Babilonia ini, terjadi ketika mereka dipimpin oleh seorang penguasa bernama Namrud bin Kanaan bin Cush bin Sam bin Nuh.
Menurut at-Tabari, berdasarkan riwayat dari Musa bin Harun, Ammar bin Hammad, Asbad, Al-Suddi, Abdul Salih dan Abdul Malik, Ibn Abbad, dan Murrah Al-Hamdani, Ibn Masud dan beberapa sahabat Nabi saw lainnya, bahwa “Raja pertama yang menguasai seluruh dunia, dari timur hingga barat, adalah Namrud bin Kanaan bin Cush bin Syem bin Nuh. Ada setidaknya empat raja yang pernah menguasai seluruh dunia, mereka adalah Namrud, Sulaiman bin Daud, Dzu al-Qarnain (Zulkarnain), dan Nabukadnezzar – dua beriman dan dua durhaka.”[10]
Dengan demikian kita bisa membayangkan, Babilonia pada masa itu adalah sebuah ibu kota dari rezim kekuasaan global. Di tempat inilah tata nilai dan sistem peradaban dunia dibentuk dan diproduksi. Pada era Nambrud, level kedurhakaan yang mereka lakukan kian dalam dan kompleks.
Ada di antara mereka yang menyembah benda-benda langit, ada yang menyembah patung, ada yang menyembah api, dan bahkan ada yang menyembah raja itu sendiri. Kepada kaum inilah, Allah swt mengutus kekasih-Nya, yang bernama Ibrahim AS. (AL)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rikh al-rusul wa’l-muluk), VOLUME II, Prophets and Patriarchs, translated and annotated by William M. Brinner, University of California, Berkeley, State University of New York Press, 1987, hal. 50
[2] Untuk membaca lebih lanjut kisah Nabi Nuh, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/kisah-nabi-nuh-1-rasul-pertama/
[3] Diriwayatkan dari Abdul Aziz bin Abdul Ghafur, Rasulullah SAW berkata, “Nuh naik ke bahtera pada hari pertama Rajab. Dia dan semua orang yang bersamanya berpuasa. Bahtera melaju bersama mereka selama enam bulan – dan seterusnya, sampai al-Muharram. Bahtera berlabuh di al-Judi pada Hari Asyura, dan Nuh berpuasa dan memerintahkan semua hewan liar dan (peliharaan) yang bersamanya untuk berpuasa sebagai rasa terima kasih kepada Allah.” Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 1, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Franz Rosenthal (State University of New York Press: New York, 1989), hlm 367
[4] J. P. Lewis, Noah and the Flood: In Jewish, Christian, and Muslim Tradition (Leiden, 1984), hlm 237.
[5] Ibnu Katsir, Qisas Al-Anbiya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Muhammad Mustapha Geme’ah (Darussalam: Riyadh, e-book version), Chapter 4, Prophet Salih.
[6] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 1, Op.Cit., hlm 370-371.
[7] https://ganaislamika.com/kisah-nabi-hud-1-kaum-ad/
[8] Ibnu Katsir, Op Cit
[9] https://ganaislamika.com/kisah-nabi-shaleh-1-kaum-tsamud/
[10] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rikh al-rusul wa’l-muluk), VOLUME II, Op Cit, hal. 50