Doanya dijawab oleh Allah SWT. Dia kemudian mengutus tiga malaikatnya, yaitu Jibril, Mikail, dan Israfil. Ketiganya turun ke bumi dalam wujud manusia, menjelma menjadi tiga orang pemuda yang sangat tampan.
Demikianlah, Nabi Luth meminta meminta kaumnya untuk menyembah Allah, karena dengan perintah-Nya dia berusaha melarang mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak disukai Allah seperti merampok, melakukan tindakan cabul, dan menyetubuhi laki-laki dari bagian dubur.[1]
Mendengar seruan Luth, kaumnya merespon, sebagaimana dikatakan di dalam Alquran, “Tidak ada jawaban kaumnya kecuali hanya mengatakan, ‘Usirlah mereka (Luth dan keluarganya) dari kota kamu, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sangat menyucikan diri.’.” (Q.S Al-Araf [7]: 82)
Mengenai ayat di atas, Quraish Shihab memberi penjelasan, ucapan mereka min qaryatikum (dari negeri kamu) memberi isyarat bahwa Nabi Luth dan keluarganya bukanlah penduduk asli negeri itu, sekaligus mengisyaratkan bahwa masyarakatnya menilai bahwa beliau enggan melakukan apa yang mereka anggap baik atau normal, sehingga beliau dianggap tidak wajar apabila bermukim bersama mereka.
Memang Nabi Luth sebagaimana dengan Nabi Ibrahim bukanlah penduduk asli kaumnya, seperti sudah pernah dikemukakan pada artikel sebelumnya.
Kata yatathahharun (menyucikan diri) terambil dari kata thaharah yang berarti kebersihan lahir dan atau kesucian batin. Patron kata yang digunakan ayat ini mengandung makna upaya sungguh-sungguh. Kesungguhan tersebut dipahami dari penambahan huruf ta pada kata yatathahharun.
Boleh jadi yang dimaksud Kaum Luth dengan kesungguhan adalah berpura-pura bersifat suci, seperti ucapan sementara orang bejat terhadap orang yang tidak mau melakukan keburukan sebagaimana yang mereka lakukan. Atau dalam bahasa sehari-hari mungkin perkataan mereka akan menjadi seperti ini, “Jangan sok (berpura-pura) suci!”
Atau dalam makna lain, boleh jadi mereka menilai Luth dan keluarganya telah melampaui batas dalam kesucian, antara lain itu dapat dinilai dari kecaman beliau terhadap apa yang dianggap normal oleh mereka.
Memang seseorang yang telah terbiasa dengan keburukan dan mengganggapnya normal seringkali menilai kebaikan sebagai sesuatu yang buruk, bukan saja karena jiwa mereka telah terbiasa dengan keburukan sehingga enggan mendekati kebaikan dan menilainya buruk, tetapi juga karena sesuatu yang telah terbiasa dilakukan pada akhirnya dianggap normal, bahkan baik.
Kaum Luth seperti terbaca di atas melukiskan Nabi Luth dan keluarganya sebagai orang-orang yang terus menerus sangat mensucikan diri. Terus menerus itu dipahami dari penggunaan bentuk kata kerja mudhari (present tense) pada kata yatathahharun. Agaknya itu merupakan salah satu bentuk amar maruf dan nahi mungkar serta upaya pencegahan bagi merajalelanya kemungkaran.[2]
Kemudian karena mereka bersikeras melakukan keburukan-keburukan itu dan menolak untuk bertobat, Luth mengancam mereka dengan malapetaka yang menyakitkan. Tetapi ancamannya tidak membuat mereka berhenti, dan peringatannya malah membuat mereka menjadi semakin menjadi-jadi, angkuh, dan tertantang.
Mereka menolak nasihat Luth, mengatakan kepadanya, “Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika engkau termasuk orang-orang yang benar.” (Q.S Al-Ankabut [29]: 29). Dalam satu kurun waktu tertentu Luth meminta pertolongan Tuhannya tentang kaumnya, namun karena masalah ini terus berlanjut, dan mereka malah semakin tekun berbuat keburukan, maka Luth berdoa, “Tuhanku, menangkanlah aku atas kaum perusak-perusak itu.” (Q.S Al-Ankabut [29]: 30).[3]
Doa Nabi Luth yang berbunyi, “Menangkanlah aku atas kaum perusak-perusak itu,” dipahami oleh banyak ulama dalam arti permohonan untuk menjatuhkan siksa Allah atas mereka. Namun Quraish Shihab berpendapat, bahwa Luth sebenarnya tidak menentukan jenis permohonannya.
Nabi selalu mengasihi kaumnya, sehingga selama tidak ada penegasan tentang permohonan jatuhnya siksa, maka sebaiknya permohonan itu dijadikan bersifat umum dan menyerahkan kepada Allah bentuk pertolongan yang akan dianugerahkan-Nya.[4]
Menurut al-Tabari, doa Luth dijawab oleh Allah, Dia ingin mempermalukan dan menghancurkan mereka, dan membantu Luth utusan-Nya untuk melawan mereka. Kemudian Allah mengutus Jibril dan dua malaikat lainnya. Dikatakan bahwa dua malaikat lainnya adalah Mikail dan Israfil. Ketiga malaikat ini lalu turun ke bumi, dan menjelma dalam wujud tiga orang pemuda yang sangat tampan. Namun, alih-alih menemui Luth, mereka menemui Nabi Ibrahim terlebih dahulu, paman Luth.[5]
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Masud dan beberapa sahabat Nabi Muhammad lainnya, “Allah mengutus para malaikat untuk menghancurkan umat Luth. Mereka datang, berjalan, dalam wujud pemuda, dan mereka mendatangi Ibrahim dan meminta untuk tinggal di kediamannya.”[6] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 2, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh William M. Brinner (State University of New York Press: New York, 1987), hlm 115.
[2] Tafsir Surat Al-Araf Ayat 82 dalam Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 5 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 162-164.
[3] Al-Tabari, Loc.Cit.
[4] Tafsir surat Al-Ankabut Ayat 28-30 dalam Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 10 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 484.
[5] Al-Tabari, Loc.Cit.
[6] Ibid.
Verry good, interesting and useful.
Semoga mencerahkan setiap pembacanya termasuk saya, terimakasih gana islamika