Mozaik Peradaban Islam

Kitab Al-Luma’ fi At-Tashawwuf Karya Abu Nasr as-Sarraj (12): Bab 16, Hakikat Spiritual Makrifat (2)

in Pustaka

Last updated on July 26th, 2019 12:27 pm

Abu al-Husain Al-Nuri berkata, “Apa makna ketidakbermulaan tanpa ketidakberakhiran? Di antara keduanya tidak ada pembatas, sebagaimana yang awal adalah yang akhir, dan yang akhir adalah yang awal.”

Foto ilustrasi: aitoff/Pixabay

Seseorang bertanya pada Abu al-Husain Al-Nuri,[1] semoga Allah merahmatinya, “Bagaimana akal tidak sanggup memahami-Nya, padahal Allah hanya dapat diketahui dengan akal?”

Dia menjawab, “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Zat yang tanpa batas atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami Zat yang tidak memiliki kekurangan dan cacat?

“Bagaimana bisa maujud yang kondisional mengetahui Zat Tunggal yang membikin kondisionalitas itu sendiri? Atau bagaimana maujud yang selalu ‘di mana’ mengetahui Zat yang membuatkan tempat untuk ‘di mana’ dan menyebutnya ‘di mana’?

“Dialah Zat Yang menjadikan awal di awal dan mengakhirkan akhir di akhir. Andaikan Dia tidak menjadikan awal di awal dan mengakhirkan akhir di akhir, tentu tidak bisa diketahui keawalan dan keakhiran.”

Kemudian dia melanjutkan, “Lantas, apa makna ketidakbermulaan tanpa ketidakberakhiran? Di antara keduanya tidak ada pembatas, sebagaimana yang awal adalah yang akhir, dan yang akhir adalah yang awal.

“Demikian pula, tiada perbedaan antara sisi tampak dan tersembunyi, melainkan di satu waktu Dia menyebabkanmu berada dalam ketakterhubungan dan pada waktu lain menyebabkanmu berada dalam konsentrasi penuh untuk melanggengkan kesenangan dan visi penghambaan.

“Karena orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, tidak akan mengetahui-Nya melalui perjumpaan langsung. Yakni, penciptaan makhluk berada dalam ungkapan hakiki, ‘Kun’ (jadilah), sementara berjumpa langsung dengan-Nya akan membuka kekudusan terlarang yang tidak boleh dijamah.”

Saya katakan bahwa makna ucapan Nuri ” berjumpa secara langsung dengan-Nya” merujuk pada pengalaman langsung hati akan keyakinan dan penyaksian hakikat-hakikat keimanan dalam ranah misteri.

Syaikh (Abu Nashr as-Sarraj), semoga Allah merahmatinya, melanjutkan: Makna yang diacunya—hanya Allah Yang Mahatahu—bahwa Allah tidak terikat/terpengaruh oleh waktu dan perubahan. Maka Tuhan pada masa dahulu adalah Tuhan sebenarnya dan apa yang telah difirmankan-Nya adalah tetap firman-Nya. Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh. Begitu pula, sesuatu yang jauh bagi-Nya sama saja dengan yang dekat dan yang dekat sama saja dengan yang jauh.

Sedangkan manusia dapat memiliki pengetahuan eksperiensial hanya dalam batas-batas manusiawi. Selalu terdapat nuansa dekat dan jauh, senang dan benci, dan suka dan duka sebagai karakateristik manusia yang bukan merupakan salah satu Sifat-sifat Allah—Dan hanya Allah Yang Mahatahu.

Ahmad bin Atha, semoga Allah merahmatinya, pernah mengemukakan komentarnya tentang makna makrifat. Komentar ini juga dinisbatkan kepada Abu Bakar Muhammad Al-Wasithi,[2] tetapi yang lebih tepat dinisbahkan kepada Ahmad bin Atha, “Segala sesuatu yang tampak jelek itu akibat ketersembunyian Tuhan, sedangkan segala sesuatu yang tampak indah itu akibat penampakan Ilahi-Nya.

“Ada dua ciri yang akan terus berlanjut tanpa akhir sebagaimana keduanya ada tanpa awal, karena dua ciri ini akan menjadi dikenal bagi mereka yang diterima dan mereka yang ditolak. Bukti penampakan-Nya menjadi tampak melalui kecemerlangannya pada mereka yang diterima, sebagaimana bukti ketersembunyian-Nya menjadi tampak melalui kegelapannya pada mereka yang ditolak.

“Lebih dari itu, tiadalah manfaat wajah pucat pasi orang zuhud, baju lengan pendeknya, pakaian lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal yang dikenakan kaum Sufi.”

Saya katakan: Apa yang dikemukakan oleh Ahmad ibn Atha mendekati perkataan Abu Sulaiman Abdurrahman ibn Ahmad ad-Darani,[3]semoga Allah merahmatinya, sebagai berikut, “Bukan dalam kapasitas manusia untuk mencari keridhaan ataupun kemurkaan Allah dengan amal perbuatannya.

“Sebaliknya, Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka berbuat sesuai amal perbuatan orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula, Dia benci pada sekelompok kaum, maka Dia jadikan mereka bertindak seperti perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya.”

Makna ucapan Ahmad bin Atha, “Segala sesuatu yang tampak jelek itu akibat ketersembunyian Tuhan,” maksudnya adalah Dia menjauhi/menghindari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya, “Segala sesuatu yang tampak indah itu akibat penampakan Ilahi-Nya,” bermaksud bahwa Dia menyambut dan menerimanya.

Makna semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah hadis: Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah kitab: satu di tangan kanan, dan satu lagi di tangan kiri. Kemudian beliau berkata, “Inilah kitab catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Sementara yang ini adalah kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan semua nama mereka dan nama bapak-bapak mereka.”

Abu Bakar Al-Wasithi, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Ketika Allah menjadikan Diri-Nya dikenal secara intim oleh orang-orang pilihan-Nya, jati diri mereka tergerus habis dari jiwa-ego mereka. Akibatnya, mereka tak punya pengalaman terasing sebagai akibat dari bukti-bukti Zat Yang Awal yang memberinya tanda-tanda kesejahteraan (ukhrawi).

“Demikianlah jadinya bagi mereka yang pengertian diberikan setelah fakta (terjadi). Apa yang dimaksud—dan hanya Allah Yangg Maha Tahu—adalah bahwa orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah dia ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, tidak menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah.” (MK)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Abu al-Husain Al-Nuri (wafat 295 H/907 M) adalah sahabat Abu-Qasim bin Muhammad al-Junaid dan murid Sari as-Saqati (wafat sekitar 251 H/865 M), dia dikenal terutama terutama karena penekanannya tentang cinta kepada Tuhan dan analisis awalnya tentang “pangkalan-pangkalan hati.”

[2] Abu Bakar Muhammad al-Wasithi (wafat sekitar 320 H/932 M) adalah seorang ahli hukum yang berasal dari Farghana di Asia Tengah dan menjadi anggota mazhab tasawuf Baghdadi.

[3] Abu Sulaiman Abdurrahman ad-Darani (wafat 205 H/820 M atau 215 H/830 M, yang benar mungkin yang terakhir) adalah seorang zuhud ternama dari Suriah yang pemikirannya dipengaruhi oleh mazhab Hasan al-Basri.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*