Mozaik Peradaban Islam

Kitab Al-Luma’ fi At-Tashawwuf karya Abu Nasr as-Sarraj (2): Bab I, Penjelasan Ajaran Tasawuf

in Pustaka

Last updated on March 10th, 2019 07:40 am


Rasulullah saw berkata, “Ulama adalah pewaris para nabi.”…. Menurut Sarraj mereka adalah para ahli hadis, para ahli fiqih, dan kaum Sufi.

Lukisan tentang para sufi. Dilukis tahun 1750, pelukisnya tidak diketahui. Photo: National Museum, New Delhi, India.

1

ABU NASHR AL-SARRAJ:

Kitab Al-Luma’

Inilah lima belas bab—sedikit di bawah sepuluh persen dari keseluruhan karyanya—yang di dalamnya Sarraj mengajukan pemahamannya seputar keabsahan klaim kaum Sufi sebagai salah satu disiplin keislaman. Dasar argumentasinya terletak pada “sosiologi” pengetahuan Islam yang diperbincangkan Sarraj dalam sebagian besar dari dua belas bagian buku itu. Setelah menegaskan tasawuf sebagai disiplin agama yang autentik, dia mempelajari aspek-aspek yang lebih dalam tentang modus pengetahuan Sufi pada bab-bab selanjutnya. Di celah-celah antara bab-bab yang berkenaan dengan isu-isu epistemologis, saya akan meringkaskan bagian-bagian yang tidak diterjemahkan di sini.[1]

Bab I :

Penjelasan Ajaran Tasawuf, Metode Kaum Sufi, dan Hubungannya dengan  Para Ulama yang  Kredibilitasnya Tidak Diragukan

Syaikh Abu Nashr as-Sarraj berkata: Seseorang memintaku untuk menjelaskan ilmu tasawuf dan metode kaum Sufi. Ia berpendapat bahwa orang-orang telah berbeda pendapat tentang hal itu. Sebagian orang memujinya terlalu berlebihan dan mengangkatnya secara tidak wajar; sebagian mengeluarkannya dari batas-batas penyelidikan rasional dan ilmiah. Yang lainnya beranggapan bahwa tasawuf sedikit lebih baik dari buang-buang waktu, permainan picisan untuk kalangan berpikiran lemah. Sebagian lagi mengasosiasikannya dengan ketakwaan, kehidupan sederhana (zuhud atau asketisme), pakaian wol, kegemaran pada petatah-petitih idiosinkratis, adat-istiadat berpakaian dan lain-lain. Sekelompok lain terlalu berlebihan dalam mencelanya hingga tak jarang ada yang menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang berpikiran bebas dan sesat.

Karena itu, si penanya tadi memintaku untuk menerangkan yang sebenarnya tentang pokok-pokok ajaran mazhab mereka (kaum Sufi) sebagaimana yang didukung oleh Kitab Allah Azza wa Jalla, teladan Rasulullah Saw, akhlak para sahabat dan tabiin[2]dan sopan santun hamba-hamba Allah yang saleh. Ia memintaku untuk mencatat semua hal itu dalam tulisan yang berdasarkan bukti yang memperkuat kebenaran dan menyisihkan kebatilan, memisahkan yang serius dari yang gurauan, yang sehat dari yang cacat  dan mendudukkan posisi sebenarnya dari pelbagai pendapat yang berbeda-beda ini sehubungan dengan apakah aliran Sufi tersebut dalam ilmu-ilmu agama yang berlandasan.

Demikianlah, aku katakan—dan semoga Allah memberi taufik kepada kita—bahwa Allah Azza wa Jalla telah menetapkan dengan gamblang pokok-pokok ajaran agama. Dia runtuhkan ketidakjelasan dari hati orang-orang mukmin menyangkut perintah-Nya dengan cara memerintahkan mereka agar tetap berpegang pada Kitab-Nya dan merujuk pada setiap seruan yang sampai pada mereka persis sesuai dengan yang diperintahkan kepada mereka. Allah berfirman, Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai. (QS. Ali Imran [3]: 103). Begitu juga Dia berfirman, Dan saling bantu-membantulah kalian dalam kebajikan dan ketakwaan. (QS. al-Mâ’idah [5]: 2). Kemudian Allah menyebutkan orang-orang mukmin yang berderajat paling mulia dan berkedudukan paling tinggi dalam agama. Dia menyebutkan mereka setelah para malaikat dan Dia bersaksi atas kesaksian mereka akan kemahaesaan-Nya setelah Dia sendiri memulai dan memuji para malaikat-Nya, dengan mengatakan, Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). (QS. Ali Imrân [3]: 18).

Sementara itu ada hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw berbunyi, “Ulama adalah pewaris para nabi.” Menurut pandanganku—dan hanya Allah Yang Mahatahu—bahwa orang-orang berilmu yang menegakkan keadilan adalah pewaris para nabi. Merekalah orang-orang yang berpegang teguh pada Kitab Allah, bersungguh-sungguh untuk mengikuti ajaran Rasulullah saw, berjalan mengikuti jejak para sahabat dan tabiin dan merambah jalan di belakang para wali-Nya yang bertakwa dan hamba-hamba-Nya yang saleh. Mereka itu terbagi dalam tiga kelompok: para ahli hadis, para ahli fiqih, dan kaum Sufi. Merekalah orang-orang berilmu yang menegakkan keadilan dan pewaris para nabi yang sebenarnya.

Maka itu, di antara bermacam-macam pengetahuan, ilmu agama terbagi menjadi tiga: ilmu Al-Qur’an, ilmu hadis, dan penjelasan atau pengetahuan tentang realitas-realitas keimanan. Semua ilmu agama itu tak akan keluar dari tiga kategori tersebut, yakni ayat-ayat kitab Allah Azza wa Jalla, hadis yang datang dari Rasulullah saw, atau hikmah-hikmah yang terbersit dalam hati nurani para wali Allah.

Adapun dalil yang memperkuatnya adalah “hadis tentang keimanan”, di mana Jibril as bertanya kepada Nabi Muhammad saw tentang tiga ajaran agama. Yakni, tentang penyerahan diri (islâm), keimanan (imân), dan spiritualitas (ihsân) — yang masing-masing merujuk kepada ajaranlahiriah/eksternal, internal/batin dan realitas spiritual tertinggi. Dengan demikian, Islam itu bersifat lahiriah, iman itu bersifat lahiriah dan batiniah, sedangkan ihsân merangkum ketiga dimensi tersebut.[3] Nabi saw berkata bahwa ihsân adalah “engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Akan tetapi, bila engkau tak sanggup melihat-Nya, maka sesunguhnya Dia (selalu) melihatmu.” Lalu Jibril membenarkannya.

Ilmu itu selalu berjalin berkelindan dengan amal, sedangkan amal dengan keikhlasan. Ikhlas artinya si hamba hanya menginginkan keridhaan Allah Azza wa Jalla dengan ilmu dan amalnya. Sedangkan tiga kelompok manusia tersebut berbeda kadarnya dalam ilmu dan amal. Tujuan dan derajat mereka pun berbeda-beda. Allah telah menerangkan tingkat perbedaan keutamaan dan derajat mereka sebagaimana dalam firman-Nya, …niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dalam beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah [58]: 11); dan juga firman-Nya, Dan bagi masing-masing mereka derajat sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-Ahqaf [46]: 19); juga firman-Nya, Dan lihatlah bagaimana Kami muliakan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain).” (QS. Al-Isra [17]: 21). Rasulullah saw bersabda, “Manusia itu semuanya sama, berjajar laksana gerigi sisir. Tak ada kelebihan yang satu atas yang lain kecuali dalam ilmu dan takwa.”

Barangsiapa mendapatkan kesulitan tentang pokok-pokok dan cabang-cabang ajaran agama, implikasi-implikasi hukumnya, makna-makna spiritualnya, sanksi dan stipulasinya, baik secara lahiriah maupun batinnya, hendaknya selalu merujuk kepada tiga golongan tersebut: ahli hadis, ahli fiqih, dan kaum Sufi. Masing-masing golongan memiliki ciri khusus dalam teori dan praktik, hakikat dan keadaan spiritual tertentu. Masing-masing memiliki penafsiran tentang pengetahuan dan amal, tingkatan dan ekspresi spiritual, pemahaman mendalam dan kedudukan, pengertian dan pendekatan yang mendalam dalam menafsirkan sumber-sumber yang ada. Hal-hal ini hanya bisa diketahui oleh mereka yang belajar dalam masing-masing sekolah, dan yang bodoh tidak mengerti apa-apa. Tidak satu pun kelompok sanggup menguasai seluruh teori dan praktik serta tingkat-tingkat spiritual. Tiap-tiap mereka memiliki kedudukan tertentu yang telah Allah sediakan, dan yang Allah telah letakkan baginya.

Aku akan berusaha menerangkan semua itu, insya Allah, sesuai dengan kemampuan yang aku miliki, bagaimana setiap kelompok ini saling mengejar salah satu teori dan praktik, dalam aspek apa masing-masingnya lebih unggul dan siapa yang paling tinggi derajatnya di antara mereka. Aku akan melakukannya sedemikian sehingga Anda akan terpikat dan dapat memahami secara intelektual, insya Allah. (MK)

Bersambung ke:

Kitab Al-Luma’ fi At-Tashawwuf karya Abu Nasr as-Sarraj (3): Bab 2, Ciri-Ciri Ahli Hadis

Sebelumnya:

Kitab Al-Luma’ fi At-Tashawwuf karya Abu Nasr as-Sarraj (1): Pengantar Redaksi

Catatan Kaki:


[1] Teks diterjemahkan dari Kitab al-lumal fi’l-tasawwuf, ed. R. A. Nicholson, E.J. W. Gibb Memorial Series 22 (London: Luzac & Company Ltd., 1963). Dengan izin dari Aris dan Phillips.

[2] Sahabat dan tabiin merujuk, masing-masing, kepada generasi Muslim pertama dan kedua, yaitu, mereka yang benar-benar hidup bersama Nabi Muhammad SAW, dan keturunan langsung mereka.

[3] Lihat S. Murata dan W. Chittick, The Vision of Islam (New York: Paragon, 1994) untuk pengantar tentang Islam yang disusun berdasarkan Hadis yang terkenal ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*