Mozaik Peradaban Islam

Kitab Al-Luma’ fi At-Tashawwuf karya Abu Nasr as-Sarraj (4): Bab 3, Klasifikasi Para Ahli Fiqih

in Pustaka

Last updated on April 10th, 2019 11:25 am


Tingkatan para ahli fiqih sebenarnya mengungguli kelompok ahli hadis. – Syaikh Abu Nashr as-Sarraj

Photo Ilustrasi: Geotimes

BAB 3:

Tentang Klasifikasi Para Ahli Fiqih dan Keunikan Metodologinya
di antara Berbagai Disiplin

Syaikh Abu Nashr as-Sarraj―semoga Allah merahmatinya―berkata: Adapun tingkatan para ahli fiqih sebenarnya mengungguli kelompok ahli hadis. Dua kelompok ini secara umum setara dalam nilai penting disiplin dan metode mereka. Akan tetapi, para ahli fiqih mempunyai pemahaman lebih khusus dan interpretasi lebih dalam terhadap hadis, menceburkan diri mereka dalam penyelidikan rinci untuk menetapkan aturan hukum dan sanksi serta prinsip-prinsip Syariat. Dengan pertimbangan tersebut, mereka membedakan antara teks pengganti (nâsikh) dan yang diganti (mansûkh),[1] yang prinsip dan yang partikular, yang khusus dan yang umum dengan merujuk pada Alquran, Sunnah, konsensus (ijmâ’) dan penalaran analogis (qiyâs).[2]

Kemudian, mereka menjelaskan kepada masyarakat kewajiban agama mereka berdasarkan Alquran dan hadis. Sebagian kewajiban tidak lagi berlaku namun tetap tercantum dalam kitab, sedang sebagian yang lain tidak tertulis tegas namun hukumnya justru berlaku terus. Sebagian diungkapkan secara umum namun hukumnya dipahami secara spesifik, sementara yang lainnya diungkapkan secara khusus namun hukumnya dipahami secara umum. Sebagian aturan ditujukan pada kebanyakan orang tetapi ditafsirkan sebagai ajakan pada individu, sedangkan yang lain ditujukan pada individu tetapi dimaksudkan untuk masyarakat umum.

Para ahli fiqih menghimpun argumentasi intelektual rasional untuk melawan para penentangnya. Mereka menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti dalam membangun argumen mereka melawan orang-orang yang sesat demi mengukuhkan agama ini. Mereka bersiteguh pada teks-teks Alquran, Sunnah, ataupun qiyâs (penalaran analogis) berdasarkan teks, ataupun pada kesepakatan umat (ijmak ulama). Dalam menjawab orang-orang yang tidak setuju, mereka berdalil dengan kaidah-kaidah argumen rasional. Mereka sanggah pendapat lawan dengan etika perdebatan. Sekiranya ada orang yang mendebat, mereka menghadapinya dengan tanggapan-tanggapan tajam.

Mereka mengembalikan kritik yang dilontarkan penyerang dengan kritik yang lebih mengena serta menunjukkan titik-titik kelemahannya. Dengan demikian, mereka letakkan segala sesuatu pada tempatnya, memprioritaskan setiap definisi menurut kategorinya, membedakan antara analogi rasional, kesamaan formal, afinitas dan paralelisme.[3] Ihwal perintah dan larangan, mereka membedakan antara yang wajib dan yang sunnah, yang sangat dianjurkan dan yang dituntut, dan yang seharusnya dihindari dan dilarang sama sekali.

Mereka menjelaskan hal-hal yang samar, mengurai yang kusut, memecahkan yang pelik dipecahkan dan membentangkan jalan yang lurus. Mereka berusaha menghilangkan hal-hal yang tidak jelas (syubhat), membuat alternatif-alternatif hukum cabang (furû’) dari pokok-pokok ajaran yang prinsip (ushûl). Mereka jelaskan mana yang bersifat global dan mempermudah hal-hal yang rumit. Mereka bertindak demikian agar—dalam menjalankan kewajiban-kewajiban lahiriah dan sanksi-sanksi Syariat—seorang ulama tidak taklid kepada ulama lain, tidak pula orang bodoh mengikuti orang bodoh lain, orang yang punya tingkatan khusus kepada orang khusus lain atau awam pada orang awam lain.

Melalui para ahli fiqih ini, batas-batas dan ketentuan hukum agama umat Islam terpelihara. Allah Azza wa Jalla menyebut mereka dalam Kitab-Nya ketika Dia berfirman, Hendaklah dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang pergi untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.[4] (QS. At-Taubah [9]: 122) Rasululah Saw. bersabda, “Barangsiapa dikehendaki Allah untuk menjadi baik, maka Dia akan memberikan pemahaman mendalam (fiqh) tentang agama.”

Mengenai cabang-cabang dan metode-metode pembelajaran mereka, para ahli fiqih pun mempunyai sumber-sumber tertulis dan guru-guru termasyhur mereka sendiri. Orang-orang sezaman mereka bersepakat akan kelebihan ilmu, wawasan, kepatuhan beragama, dan keterpercayaan mereka yang tinggi. Pendedahan lengkap mengenai hal ini akan sangat panjang. Para pembaca yang cerdas akan menarik kesimpulan yang lebih banyak dari apa yang sedikit ini. Dan pada Allah-lah keberhasilan kita bergantung. (MK)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Mengacu pada prinsip teologis bahwa wahyu Allah harus progresif dan bertahap, dan prinsip hermeneutis yang sesuai dengannya, maka para ulama harus menentukan ayat-ayat suci mana yang harus dipahami berfungsi untuk menggantikan, dan karenanya membatalkan yang lainnya.

[2] Alquran, Sunnah, ijmak, dan Qiyas adalah apa yang disebut sebagai empat akar hukum agama, ia adalah elemen-elemen mendasar dalam metodologi hukum semua mazhab Islam dalam hukum agama.

[3] Dalam bahasa Arab, masing-masing kata ini, mugayasa, mushakala, mujanasa, mugarana, mungkin adalah istilah gramatikal atau logis yang Sarraj gunakan untuk menandakan ketepatan dan kekhususan disiplin para ahli hukum.

[4] Kelanjutan dari ayatnya berbunyi “…. dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (9:122). Dalam terjemahan karya Marmaduke William Pickthall, ayat ini pada bagian awalnya merujuk kepada mengirim sebagian dari masyarakat untuk berperang, sementara mereka yang tidak ikut harus mempelajari agama dengan seksama (Marmaduke William Pickthall, The Meaning of the Glorious Koran [New York: Mentor, 1953], 156).

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*