“Agus Sunyoto mengatakan bahwa variabel agama sangat berpengaruh terhadap motivasi lahirnya sikap dan kebijakan aktor penting seperti Sri Kertanegara dan Arya Wiraraja. Itu menjadi sketsa awal yang melatari terbentuknya skema politik pada babak sejarah paling krusial di tanah Jawa, yaitu era kejatuhan Singasari dan berdirinya Majapahit.”
—Ο—
Kisah tentang perombakan besar-besaran yang dilakukan Sri Kertanegara dalam kabinetnya, merupakan kisah yang cukup populer dalam naskah-naskah kuno seperti Pararaton, Kidung Panji Wijayakrama, dan Negarakertagama. Alasan perombakan tersebut, dikarenakan terjadi penolakan mereka pada cita-cita besar Sri Kertanegara untuk menaklukkan Nusantara. [1] Tapi fakta keislaman Arya Wiraraja dan kuatnya dugaan perselisihan yang bermotif agama di internal Istana Singasari, juga merupakan variabel penting yang berpotensi menjawab sejumlah kejanggalan dalam narasi sejarah Nusantara.
Salah satu kejanggalan itu adalah adanya sejumlah mutasi yang dilakukan Sri Kertanegara. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, bahwa para pejabat tua hanya diturunkan kedudukan atau jabatannya menjadi Mantri Angabhaya, seperti yang terjadi pada Patih Amangkubumi Pu Raganata Sang Ramapati dan Tumenggung Wirakreti. Berbeda dengan hukuman yang dijatuhkan pada Arya Wiraraja. Jabatannya tidak diturunkan, tapi dia dibuang jauh ke Sumenep, Madura, sehingga tidak dapat lagi berhubungan dengan Sri Kertanegara dan pejabat-pejabat lain di kutaraja Singasari. Padahal Arya Wiraraja adalah pejabat yang berkedudukan sangat tinggi, yaitu Demung atau orang yang bertanggungjawab atas semua keperluan Raja dan keluarganya. Di samping itu, dia juga tak lain adalah putra mahkota Lumajang, dan sekaligus keponakan Sri Kertanegara sendiri.
Menurut Agus Sunyoto, hukuman yang diterima oleh Arya Wiraraja ini sebenarnya sangat berat, sebab apabila kesalahan Arya Wiraraja hanya ketidakpatuhannya pada sang raja, maka seharusnya dia hanya dikenai hukuman yang sama dengan pejabat lainnya. Dengan demikian, sulit kiranya kita dapat memaknai penurunan jabatan Arya Wiraraja tersebut. Masih menurut Agus Sunyoto, hukuman yang diterima Arya Wiraraja dapat ditafsirkan sebagai hukuman terhadap pembantu Maharaja – yang berkedudukan tinggi, orang kepercayaan, dan sanak keluarga – yang tidak patuh sekaligus hukuman sebagai orang beragama Islam yang cenderung memusuhi ajaran Tantra-bhirawa.[2]
Sebagaimana sudah dikemukakan pada artikel sebelumnya, memang sudah sejak lama orang-orang Islam diketahui menolak pengembangan ajaran Syiwa-Budha Tantra terutama sekte Tantra-Bhirawa. Dengan demikian, sangat mungkin apa yang diasumsikan oleh Agus Sunyoto, bahwa ketidaksetujuan Arya Wiraraja terhadap gagasan penyatuan Nusantara, tampaknya didasari alasan agama ketimbang sekedar pertimbangan politik kekuasaan. Meski tidak dilakukan terang-terangan, agaknya hal itu telah diketahui oleh Sri Kertanegara.[3]
Di sisi lain, ambisi Sri Kertanegara Wikramotunggadewa menyatukan Nusantara tampaknya bukan sekedar dilatari ambisi politik kekuasaan, tetapi juga didorong oleh hasrat untuk mengembangkan ajaran Syiwa-Budha Tantra sekte Tantra-Bhirawa. Hal itu dapat dilihat dari dikirimnya arca paduka Amoghapasa Lokeswara beserta prasastinya pada tahun 1208 Saka atau 1286 M kepada Raja Dharmasraya Sri Maharaja Srimat Tribhuanaraja Mauliwarmadewa.[4]
Sebagaimana yang dikatakan Agus Sunyoto, berdasarkan Nagarakertagama pupuh 41/4 bahwa maksud pengiriman tentara ke Melayu adalah agar Maharaja Melayu takut terhadap kesaktian Sri Kertanegara. Begitulah caranya Sri Kertanegara dalam prasasti memaklumkan dirinya sebagai dewa Sri Wiswarupa Amoghapasa Lokeswara. Wujud arca dibawa ke Dharmastraya agar menjadi kegembiraan bagi penduduk Melayu, brahmana, ksatria, waisya, sudra, dan terutama pimpinan para Arya: Sri Maharaja Srimat Tribhuanaraja Mauliwarmadewa.[5]
Tidak sampai di situ, menurut Agus Sunyoto, ketidaksukaan Sri Kertanegara yang menganut Syiwa-budha Tantra terhadap Islam terlihat dari sikap kasar dan tindakan berlebihan yang dilakukannya terhadap Meng-Ki, utusan kaisar Cina (Mongol) Kublai Khan yang beragama Islam. Duta yang sekedar utusan itu dipahat keningnya, dipotong telinganya, dan dicaci-maki dengan sangat kasar dan dihinakan, sehingga membuat marah kaisar Kublai Khan.
Dengan demikian, cukup kuat asumsi Agus Sunyoto, bahwa penurunan jabatan Arya Wiraraja dari Demung menjadi adipati Madura, tampaknya tidak sekedar dilatari kekurangsepahaman dalam usaha penyatuan Nusantara, melainkan dilatari juga oleh ketidaksukaan Sri Kertanegara terhadap Keislaman Arya Wiraraja yang didasari perselisihan lama antara pengikut Syiwa-Budha Tantra dengan Muslim.
Satu hal yang tak kalah penting – dan ini yang membuat hukuman pada Arya Wiraraja dinilai sebagai keputusan politik yang sangat serius – terkait hukuman kepada Arya Wiraraja, Sri Kertanegara pada saat yang sama mengangkat Patih Madura Pu Sina menjadi pranaraja di Lumajang, yaitu wilayah juru yang tahtanya sebenarnya menjadi hak waris Arya Wiraraja. Kebijakan Sri Kertanagera itu memiliki makna bahwa Arya Wiraraja hanya menunggu waktu saja untuk kehilangan tahta Lumajang yang menjadi hak warisnya sebagai cucu Sri Seminingrat Jayawisynuwardhana. Bahkan yang sangat menyakitkan, Pu Sina Patih Madura yang diangkat menjadi paranaraja di Lumajang, pada dasarnya tidak memiliki hubungan darah apapun dengan Rajasawansa (Ken Arok).
Lebih daripada itu, asumsi Agus Sunyoto yang mengatakan bahwa variabel agama sangat berpengaruh terhadap motivasi lahirnya sikap dan kebijakan aktor penting seperti Sri Kertanegara dan Arya Wiraraja, ternyata menjadi sketsa awal yang melatari terbentuknya skema politik pada babak sejarah paling krusial di tanah Jawa, yaitu era kejatuhan Singasari dan berdirinya Singasari. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Lihat, Wikipedia, Kertanegara, https://id.wikipedia.org/wiki/Kertanagara, diakses 27 Agustus 2018
[2] Lihat, Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah”, Tanggerang Selatan, IIMaN, 2018, hal. 127
[3] Ibid, hal. 126
[4] Arca Amoghapasa adalah patung batu pāduka Amoghapāśa sebagai salah satu perwujudan Lokeswara sebagaimana disebut pada prasasti Padang Roco. Patung ini merupakan hadiah dari Kertanagara raja Singhasari kepada Tribhuwanaraja raja Melayu di Dharmasraya pada tahun 1208 Saka atau 1286 Masehi. Pada bagian lapik (alas) arca ini terdapat tulisan yang disebut prasasti Padang Roco yang menjelaskan penghadiahan arca ini. Berita pengiriman arca Amoghapasa ini tertulis pada alas arca bertanggal 22 Agustus 1286. Sedangkan pada bagian belakang arca terdapat tulisan yang disebut dengan prasasti Amoghapasa bertarikh 1346 Masehi. Lihat, Wikipedia, Arca Amoghapasa, https://id.wikipedia.org/wiki/Arca_Amoghapasa, diakses 30 Agustus 2018
[5] Agus Sunyoto, Op Cit.