Mozaik Peradaban Islam

Kutukan Minyak bagi Timur Tengah (2): Perang Dunia I

in Monumental

Last updated on July 18th, 2018 01:55 pm

“Selama dan setelah Perang Dunia I, revolusi energi terjadi, , konsumsi bahan bakar bergeser jauh dari kayu dan tenaga air menuju minyak. Tidak hanya untuk kendaraan, minyak juga memicu tumbuhnya persenjataan jenis baru.”

–O–

Perusahaan Minyak Anglo-Persia (APOC) mulai mengekspor minyak pada tahun 1912. Namun, sekarang masalah baru muncul: mereka kelebihan produksi. Perusahaan D’Arcy berada di titik kehancuran pada tahun 1914 karena tidak memiliki pasar untuk cadangan minyak bumi yang sangat besar yang terakumulasi.

Tidak hanya pasokannya melebihi permintaan — perlu diketahui, pada masa itu penggunaan mobil/kendaraan bermotor masih sangat sedikit — tetapi juga pasokan utama minyak lainnya tersedia di tempat lain, tidak terkecuali di Rusia dan Amerika Serikat. Dan perusahaan lain telah berkecimpung dalam bisnis penjualan minyak selama beberapa dekade sebelum penemuan pertama di Timur Tengah.

Armada Laut Inggris melakukan konversi bahan bakar dari batu bara ke minyak pada saat Perang Dunia I. Photo: naval-history.net

Namun, sekali lagi, keberuntungan kembali menghampiri D’Arcy, Angkatan Laut Kerajaan Inggris sedang dalam proses mengubah pasokan bahan bakar armada kapal lautnya yang tadinya batu bara menjadi minyak. Namun, birokrasi pemerintahan mereka belum memperhitungkan jaminan ketersediaan sumber minyaknya berasal dari mana.

Winston Churchill, sebagai First Lord of the Admiralty pada saat itu, mendapat proposal dari Parlemen Inggris untuk mendapatkan sumber minyak yang terjamin ketersediaannya. Maka pemerintah Inggris membeli sekitar 56 % saham APOC seharga £ 2,2 juta — setara dengan sekitar $ 400 juta pada hari ini. Dan, tepat delapan minggu kemudian, pada bulan Juli 1914, Perang Dunia Pertama pecah. Maka, untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia, minyak telah menjadi kepentingan strategis.[1]

Winston Churchill, ketika menjabat sebagai First Lord of the Admiralty Inggris tahun 1912. Photo: Shizhao / Wikimedia

Selama dan setelah Perang Dunia I, terjadi perubahan dramatis dalam produksi energi, konsumsi bahan bakar bergeser jauh dari kayu dan tenaga air menuju bahan bakar fosil – batubara, dan akhirnya, minyak. Dan jika dibandingkan dengan batu bara, ketika digunakan pada kendaraan dan kapal, minyak jauh lebih fleksibel karena dapat diangkut dengan mudah dan dapat digunakan pada berbagai jenis kendaraan. Dengan adanya minyak juga mendorong orang-orang untuk menciptakan senjata jenis baru dengan keunggulan strategis yang mendasar. Ke depannya, dalam beberapa dekade transisi energi ini, akuisisi minyak telah menciptakan semangat baru dalam perlombaan senjata internasional (arms race).[2]

 

Setelah Perang Berakhir

Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman) yang menguasai banyak wilayah di dunia runtuh setelah Perang Dunia I. Dengan demikian, perbatasan baru dan negara baru bermunculan di bekas wilayah Ottoman, termasuk di Timur Tengah. Pada Juni 1919, Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson mendesak untuk mendirikan Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Di bawah dominasi negara-negara aliansi, LBB memperkenalkan “Sistem Mandat” yang memungkinkan Inggris dan Perancis sebagai pemenang Perang Dunia I dapat mengambil wilayah Timur Tengah.

Liga ini mengelola tiga kelas mandat yang berbeda—A, B, dan C. Dengan dikuncinya perjanjian internasional ini, wilayah bekas kekuasaan Kesultanan Ottoman yang dikategorikan dalam mandat kelas A, diserahkan kepada Inggris dan Perancis, dengan alasan wilayah ini dinilai belum cukup mandiri untuk memimpin dirinya sendiri. Kedua negara ini difungsikan untuk memberikan “bantuan” bagi pemerintah sementara. Dengan kata lain, Inggris dan Prancis bertanggung jawab penuh untuk memutuskan kapan kemerdekaan terhadap negara-negara dalam mandat kelas A akan diberikan.[3]

 

Eksplorasi Timur Tengah

Irak, yang sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan Ottoman, kini berada di bawah mandat Inggris, mereka mendapat perlindungan hukum dan arahan pemerintah Inggris. Winston Churchill — dalam periode sedang tidak memiliki jabatan politik — pada tahun 1923 dipekerjakan oleh Burmah Oil untuk melobi pemerintah Irak untuk memberikan hak eksplorasi eksklusif dan pengeboran ke APOC (Burmah Oil adalah pemegang saham APOC.) Irak memberikan hak-hak ini dua tahun kemudian, dan setelahnya penemuan ladang minyak besar-besaran ditemukan di Kirkuk, Irak utara, pada tahun 1927.

Dengan adanya mandat LBB, Inggris menjadi lebih leluasa untuk mencari minyak, namun karena kurangnya ahli geologi perminyakan yang cakap, ini membuat pencarian minyak di Timur Tengah menjadi sulit. Namun, seseorang sangat yakin bahwa Timur Tengah adalah ladangnya minyak, dia adalah Frank Holmes, orang Inggris-Selandia Baru. Meskipun bukan insinyur perminyakan, dia memiliki pengalaman pertambangan dan pengetahuan geologi yang cukup untuk membuatnya yakin bahwa Timur Tengah adalah ladang emas hitam.

Holmes mendirikan perusahaan Eastern and General Syndicate Limited di London pada tahun 1922. Pada tahun berikutnya dia sudah berada di Arab untuk melakukan negosiasi langsung dengan pemimpin kepala wilayah, bin Saud. Meskipun komisaris tinggi Inggris menyarankan bin Saud untuk tidak memberikan konsesi kepada Holmes, Inggris telah berhenti membayar gaji tahunan Holmes pada tahun 1923, dan Saud merasa berhak untuk memberikan Holmes konsesi.[4] (PH)

Bersambung ke:

Kutukan Minyak bagi Timur Tengah (3): The Seven Sisters

Sebelumnya:

Kutukan Minyak bagi Timur Tengah (1): Penemuan Awal

Catatan Kaki:

[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 274-275.

[2] Brian C. Black, “How World War I ushered in the century of oil”, dari laman http://theconversation.com/how-world-war-i-ushered-in-the-century-of-oil-74585, diakses 17 Juli 2018.

[3] “Mandate: League of Nations”, dari laman https://www.britannica.com/topic/mandate-League-of-Nations, diakses 4 Mei 2018.

[4] Eamon Gearon, Ibid., hlm 275-276.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*