Mozaik Peradaban Islam

Mahmud Ghaznawi (2): Invasi ke India

in Sejarah

“Kunci kemenangan Mahmud Ghaznawi di India adalah karena raja-raja Hindu menolak bekerja sama di antara mereka sendiri untuk membentuk pertahanan yang solid.”

–O–

Ketika Ismail diangkat menjadi raja baru, Mahmud Ghaznawi sedang ditempatkan di Nishapur (sekarang di Iran). Mendengar adiknya naik tahta, dia segera melakukan perjalanan ke timur, menentang pengangkatan Ismail. Maka terjadilah perang, Mahmud dapat mengalahkan Ismail, adiknya sendiri, pada tahun 998. Mahmud kemudian mengambil alih Ghazhni, mengangkat dirinya sendiri menjadi raja, dan menempatkan adik laki-lakinya menjadi tahanan rumah selama sisa hidupnya. Setelah naik tahta Mahmud akan terus memerintah sampai kematiannya pada tahun 1030.

Setelah menjadi sultan, Mahmud memperluas wilayah kekuasaan Dinasti Ghaznawiyah ke wilayah-wilayah yang dulunya merupakan daerah kekuasaan kerajaan kuno, yaitu Kerajaan Kushan. Dalam kampanyenya, dia menggunakan teknik dan taktik militer khas Asia Tengah, yang terutama mengandalkan kavaleri berkuda yang sangat mudah berpindah-pindah, yang dipersenjatai dengan busur pendek (compound bows).[1]

 

Invasi ke India

Pada tahun 1001, Mahmud mengalihkan perhatiannya ke tanah subur Punjab (sekarang di India), yang terletak di tenggara kesultanannya. Wilayah yang menjadi targetnya adalah wilayah kekuasaan milik raja-raja Hindu Rajput yang terkenal ganas namun mereka tidak bersatu dan terpecah-pecah, mereka menolak untuk bekerja sama untuk membentuk pertahanan yang solid atas ancaman kerjaan Muslim yang akan masuk melalui Afghanistan. Selain itu, orang-orang Rajput menggunakan kombinasi infantri dan kavaleri, sebuah bentuk formasi yang tangguh tetapi lebih lambat dari pasukan berkuda Ghaznawiyah.[2] Juga dilaporkan, mereka terlalu mengandalkan gajah, sementara itu, pasukan Mahmud sudah lebih modern, mereka memiliki sistem organisasi, disiplin, dan ikatan yang lebih baik.[3]

Selama tiga dekade berikutnya, Sultan Mahmud melakukan lebih dari selusin serangan militer ke kerajaan-kerajaan Hindu dan Ismailiyah di utara. Sebelum kematiannya, kesultanannya membentang sampai ke pantai Samudra Hindia di Gujarat selatan.

Mahmud menunjuk raja-raja lokal untuk menjadi bawahan yang memerintah atas namanya di banyak daerah yang telah ditaklukkan. Selain itu dia juga membuka hubungan baik dengan masyarakat non-Muslim. Dia menyambut para prajurit dan perwira Hindu dan Ismailiyah yang ingin bergabung ke dalam pasukannya. Namun, karena ekspansi dan peperangan yang terus-menerus, pada tahun-tahun terakhir masa pemerintahannya, kondisi keuangan Dinasti Ghaznawiyah mulai sulit. Akibatnya Mahmud memerintahkan pasukannya untuk menyerang kuil-kuil Hindu dan menjarah sejumlah besar emas.

Pada tahun 1026, Sultan Mahmud yang sudah berusia 55 tahun berangkat untuk menyerang negara bagian Kathiawar, yang berada di pantai barat India (Laut Arab). Pasukannya melaju ke ujung selatan Somnath, yang terkenal dengan kuil yang indah Dewa Siwa.

Meskipun pasukan Mahmud berhasil menduduki Somnath, dan menjarah dan menghancurkan kuil, namun berita buruk datang dari Afghanistan. Sejumlah suku Turki telah bangkit untuk menantang pemerintahan Ghaznawiyah, termasuk di antaranya orang-orang Turki Seljuk, yang telah merebut Merv (Turkmenistan) dan Nishapur (Iran). Pada saat Mahmud meninggal pada 30 April 1030, para pemberontak ini sudah mulai menggerogoti perbatasan-perbatasan wilayah kekuasaan Kesultanan Ghaznawiyah. Sultan Mahmud meninggal pada usia 59 tahun.[4]

 

Warisan Sultan Mahmud

Sultan Mahmud menghabiskan sebagian besar hidupnya berjuang melawan orang-orang yang dia anggap “kafir” – yaitu Hindu, Jain, Buddha, dan kelompok minoritas Muslim seperti Syiah Ismailiyah. Kenyataannya, kaum Ismailiyah tampaknya telah menjadi sasaran khusus dari kemarahannya, karena Mahmud (dan penguasa di atasnya, yang sebenarnya hanya sebatas formalitas, yakni Kekhalifahan Abbasiyah) menganggap mereka adalah pelaku bid’ah.

Meskipun demikian, Mahmud Ghaznawi tampaknya lebih toleran terhadap orang-orang non-Muslim selama mereka tidak menentangnya secara militer. Toleransi warisan Mahmud relatif akan terus berlanjut ke kerajaan Muslim berikutnya di India: Kesultanan Delhi (1206-1526) dan Kekaisaran Mughal (1526-1857).

Ilustrasi Sultan Mahmud Ghaznawi di istananya. Photo: afghanfun

Dalam hal keilmuan, Sultan Mahmud dikenal menyukai buku dan menghormati orang-orang terpelajar. Di jantung kekuasaanya, Ghazni, dia membangun perpustakaan untuk menyaingi istana kekhalifahan Abbasiyyah di Baghdad (sekarang di Irak). Mahmud juga mensponsori pembangunan universitas, istana, dan masjid agung, menjadikan ibukotanya sebagai permata di Asia Tengah.[5]

Rakyatnya mengenal Mahmud sebagai seorang yang saleh dan sangat suka belajar. Pada masa Mahmud berkuasalah wilayah Persia dilaporkan mengalami kemajuan pesat. Salah satu indikasinya adalah dengan diterbitkannya buku yang berjudul Shahnameh (Kitab para Raja) karya penyair Persia, Abul-Qasim Firdausi Tusi (940–1020).[6]

Mahmud meninggalkan berbagai warisan. Dinastinya akan bertahan sampai tahun 1187, meskipun sudah mulai runtuh dari barat ke timur bahkan sebelum kematiannya. Pada tahun 1151, Sultan Ghaznawiyah penerus Mahmud, Bahram Shah, kehilangan Ghazni, dan melarikan diri ke Lahore (sekarang di Pakistan).[7] (PH)

Selesai.

Sebelumnya:

Mahmud Ghaznawi (1): Sultan Pertama di Dunia

Catatan Kaki:

[1] Kallie Szczepanski, “Mahmud of Ghazni”, dari laman https://www.thoughtco.com/mahmud-of-ghazni-195105, diakses 29 Agustus 2018.

[2] Ibid.

[3] Agung Sasongko, “Mahmud Ghaznawi, Sang Penakluk India”, dari laman https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/15/05/26/noynjn-mahmud-ghaznawi-sang-penakluk-india, diakses 29 Agustus 2018.

[4] Kallie Szczepanski, Ibid.

[5] Ibid.

[6] Akbar Shāh K̲h̲ān Najībābādī, The History of Islam: Vol 3 (Darussalam: Riyadh, 2001), hlm 335.

[7] Kallie Szczepanski, Ibid.

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*