Mozaik Peradaban Islam

Malik bin Dinar al-Sami (3): Sahabat Allah

in Tasawuf

Malik bin Dinar memiliki tetangga yang perilakunya sangat buruk. Orang-orang meminta Malik untuk menegurnya. Ketika dia berangkat sebuah suara berkata, “Jauhkan tanganmu dari sahabat-Ku!”

Foto ilustrasi: ok.ru

Malik dan Tetangganya yang Berakhlak Buruk

Ada seorang pemuda yang tinggal di sekitar rumah Malik, dia sangat bejat dan berakhlak rendah. Malik terus-menerus merasa sedih karena perilakunya yang buruk, tetapi dia bertahan dengan sabar menunggu orang lain berbicara terlebih dahulu.

Singkat cerita, pada suatu waktu ada seseorang yang datang, mengeluh tentang pemuda itu. Malik kemudian bangkit dan pergi kepadanya, meminta dia untuk memperbaiki akhlaknya. Pemuda itu bereaksi dengan begitu keras kepala dan sombong.

“Aku adalah kesayangan sang Sultan,” katanya kepada Malik. “Tidak ada seorang pun yang memiliki kekuatan untuk mengawasi atau melarangku untuk melakukan apapun yang kusukai.”

“Aku akan berbicara dengan Sultan,” Malik mengancam.

“Sultan tidak akan pernah berubah pikiran atas izinnya untukku,” balas pemuda itu. “Apa pun yang aku lakukan, dia akan menyetujuinya.”

“Baiklah, jika Sultan tidak bisa berbuat apa-apa,” Malik melanjutkan, “Aku akan memberi tahu Yang Maha Penyayang.”

Dan dia menunjuk ke atas.

“Ha!” jawab pemuda itu. “Dia terlalu Murah Hati untuk mengurusiku.”

Kali ini Malik menyerah, dan dia meninggalkannya. Beberapa hari berlalu, dan keburukan pemuda ini terus berlanjut hingga melampaui semua batas. Orang-orang datang lagi untuk mengeluh. Malik bangkit untuk menegurnya; tetapi dalam perjalanan dia mendengar suara.

“Jauhkan tanganmu dari sahabat-Ku!” terkejut, Malik bergegas menemui pemuda itu.

“Apa yang telah terjadi,” pemuda itu bertanya-tanya ketika melihatnya, “bahwa engkau telah datang untuk yang kedua kalinya?”

“Aku datang bukan untuk menegurmu,” jawab Malik. “Aku datang hanya untuk memberitahumu bahwa aku mendengar suara yang seperti itu.”

“Ah,” seru pemuda itu. “Karena semuanya berjalan dengan seperti itu, aku menyerahkan semua harta bendaku sepenuhnya untuk mengabdi kepada-Nya. Aku tidak peduli lagi dengan semua milikku.”

Sambil berkata demikian, dia menyingkirkan segalanya dan pergi untuk menjelajahi dunia.

Malik menceritakan, bahwa setelah sekian waktu, dia melihat pemuda itu di Makkah, dengan kondisi yang benar-benar melarat dan pada nafas terakhirnya.

“Dia adalah Sahabatku,” dia megap-megap. “Aku pergi menemui Sahabatku.” Dan bersamaan dengan itu dia menghembuskan nafas terakhirnya.

Malik dan Pantangan-Pantangannya

Tahun demi tahun berlalu tanpa ada sesuatu yang asam atau manis yang melewati bibir Malik. Setiap malam dia akan mengunjungi tukang roti dan membeli dua potong roti untuk dia berbuka puasa.

Dari waktu ke waktu, kebetulan roti itu selalu hangat; dia menemukan penghiburan dari sana, menganggapnya sebagai hidangan yang membangkitkan selera.

Suatu kali dia jatuh sakit, dan hatinya dipenuhi keinginan untuk memakan daging. Selama sepuluh hari dia mengendalikan diri; kemudian, karena tidak dapat menahan diri lagi, dia pergi ke toko makanan dan membeli dua atau tiga kaki domba dan meletakkannya di lengan bajunya.

Penjaga toko mengutus bawahannya untuk melihat apa yang akan dia lakukan. Setelah beberapa saat, bocah itu kembali dengan berurai air mata.

“Setelah dari sini dia pergi ke tempat yang sunyi,” lapornya.

“Di sana dia mengambil kaki itu dari lengan bajunya, menciumnya dua atau tiga kali, lalu dia berkata, ‘Jiwaku, lebih dari ini tidak baik untukmu.’

“Kemudian dia memberikan roti dan kaki itu kepada seorang pengemis, berkata, ‘Tubuhku yang lemah, jangan berpikir bahwa semua rasa sakit yang kutimpakan ini kepadamu adalah karena permusuhan. Dengan demikian pada Hari Kebangkitan engkau tidak akan terbakar di Neraka. Bersabarlah selama beberapa hari, dan mungkin ujian ini akan berakhir, dan engkau akan jatuh ke dalam kebahagiaan yang tidak akan pernah berlalu.’.”

Suatu waktu Malik berkata, “Aku tidak tahu arti dari sebuah pernyataan, bahwa jika seseorang tidak makan daging selama empat puluh hari, kecerdasannya akan berkurang. Aku tidak makan daging selama dua puluh tahun, dan kecerdasanku meningkat setiap hari.”

Selama empat puluh tahun dia tinggal di Basrah dan tidak pernah memakan kurma segar. Ketika musim panen kurma tiba, dia akan berkata, “Orang-orang Basrah, lihatlah, perutku tidak menyusut karena tidak memakannya, dan engkau yang memakannya setiap hari — perutmu belum menjadi lebih besar.”

Setelah empat puluh tahun dia diserang oleh perasaan gelisah. Sekeras apa pun dia berusaha, dia tidak bisa menahan keinginan untuk memakan kurma segar. Akhirnya setelah beberapa hari, di mana hasratnya meningkat setiap hari, sementara dia terus-menerus menolak selera makannya, dia tidak bisa menahan lagi permintaan dari jiwa jasmaninya.

“Aku tidak akan memakan kurma segar,” protesnya. “Lebih baik bunuh aku, atau mati!”

Malam itu suara dari langit berbicara.

“Engkau harus makan beberapa kurma. Bebaskan jiwa jasmanimu dari ikatan.”

Mendengar suara ini jiwa jasmaninya, menemukan kesempatan, mulai berteriak.

“Jika engkau menginginkan kurma,” kata Malik, “berpuasalah selama seminggu tanpa putus sama sekali, dan salat lah sepanjang malam. Lalu aku akan memberimu beberapa. “

Ini menenangkan jiwa jasmaninya. Selama seminggu dia salat sepanjang malam dan berpuasa sepanjang hari. Kemudian dia pergi ke pasar dan membeli beberapa kurma, dan membawa dirinya ke masjid untuk memakannya. Seorang anak laki-laki berteriak dari atap.

“Ayah! Seorang Yahudi telah membeli kurma dan pergi ke masjid untuk memakannya. “

“Urusan apa yang dilakukan orang Yahudi di masjid?” seru pria itu. Dan dia bergegas untuk melihat siapa orang Yahudi itu. Melihat Malik, dia jatuh tersungkur.

“Apa kata-kata yang diucapkan bocah itu?” tanya Malik.

“Maafkan dia guru,” ayah bocah itu memohon. “Dia hanya anak-anak, dan tidak mengerti. Di daerah kami banyak orang Yahudi yang tinggal. Kami terus berpuasa, dan anak-anak kami melihat orang-orang Yahudi makan di siang hari. Jadi mereka mengira bahwa setiap orang yang makan sesuatu di siang hari adalah orang Yahudi. Apa yang dia katakan, dia katakan dengan ketidaktahuan. Maafkan lah dia!”

Ketika Malik mendengar ini, api membakar jiwanya. Dia menyadari bahwa anak itu telah dibisiki untuk berbicara seperti itu kepadanya. “Ya Allah,” dia menangis, “aku belum sempat memakan kurma satu pun, dan Engkau telah memanggilku sebagai seorang Yahudi dengan lidah seorang anak yang polos. Jika aku memakan kurma, Engkau akan menyatakan bahwa aku orang yang tidak beriman. Demi kemuliaan-Mu, jika saja aku sempat memakan kurma!”[1] (PH)

Seri Malik bin Dinar al-Sami selesai.

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Farid al-Din Attar, Muslim Saints and Mystics (Tadhkirat al-Auliya’), diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh  A. J. Arberry, (Omphaloskepsis: Iowa, 2000), hlm 14-18.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*