Mozaik Peradaban Islam

Malik bin Dinar al-Sami (2): Pertobatan

in Tasawuf

Last updated on January 24th, 2020 01:43 pm

Suatu malam, Malik yang munafik, yang pada siang hari taat beribadah, namun pada malam hari bersenang-senang, mendengar suara dari dalam kecapinya, “Malik, apa yang membuatmu tidak bertobat?”

Gambar ilustrasi. Sumber: acathist.ru

Versi Kesatu

Farid al-Din Attar dalam Tadhkirat al-Awliya menuturkan kisah tentang pertobatan Malik bin Dinar:

Sekarang kisah pertobatannya terjadi sebagaimana berikut ini. Dia (Malik bin Dinar) adalah pria yang sangat tampan dan menyukai hal-hal duniawi, dan dia memiliki kekayaan yang begitu banyak. Dia tinggal di Damaskus, tempat Muawiyah[1] membangun Masjid Agung, mewariskannya secara cuma-cuma.

Malik sangat menginginkan ditunjuk untuk menjadi imam masjid itu. Maka dia pergi dan menghamparkan sajadahnya di sudut masjid, dan (tetap) di sana selama satu tahun penuh dalam ketaatan beribadah, berharap bahwa siapa pun yang melihatnya akan menemukannya sedang salat.

“Betapa munafiknya engkau!” katanya pada dirinya sendiri.

Satu tahun berlalu dalam keadaan demikian. Pada malam harinya, dia akan meninggalkan masjid dan bersenang-senang. Suatu malam, dia menikmati musik, dan semua temannya sudah tertidur. Tiba-tiba sebuah suara datang dari kecapi yang dia mainkan.

“Malik, apa yang membuatmu tidak bertobat?”

Mendengar kata-kata ini, Malik menjatuhkan alat musiknya dan berlari ke masjid dengan sangat kebingungan.

“Selama satu tahun penuh aku telah menyembah Allah dengan kemunafikan,” dia berbicara dengan dirinya sendiri.

“Bukankah lebih baik aku seharusnya menyembah Allah dengan ketulusan? Sekarang aku begitu malu. Apa yang harus aku lakukan? Bahkan jika mereka menawariku posisi ini (sebagai imam), aku tidak akan menerimanya.”

Jadi dia telah memutuskan, dan dia memantapkan hatinya sepenuhnya menuju Allah. Malam itu dia beribadah dengan hati yang bersih.

Hari berikutnya orang-orang berkumpul seperti biasa di depan masjid.

“Kenapa ada retakan di masjid?” seru mereka. “Seorang imam harus ditunjuk untuk menjaganya.”

Mereka mencapai pandangan bulat bahwa tidak ada yang lebih cocok untuk jabatan itu daripada Malik. Jadi mereka mendatanginya. Dia sedang salat, jadi mereka menunggu dengan sabar sampai dia selesai.

“Kami datang untuk memohon agar engkau menerima penunjukkan ini,” kata mereka.

“Ya Allah,” seru Malik, “aku melayani-Mu dengan kemunafikan selama setahun penuh, dan tidak ada yang memandangku. Sekarang aku telah memberikan hatiku kepada-Mu dan dengan tegas memutuskan bahwa aku tidak menginginkan jabatan itu, Engkau telah mengirim dua puluh orang kepadaku untuk menempatkan tugas ini di leherku. Demi kemuliaan-Mu, aku tidak menginginkannya.”

Dan dia berlari keluar dari masjid dan mengabdikan dirinya sepenuhnya kepada Allah, mengambil jalan hidup yang zuhud dan disiplin.

Demikianlah, dia menjadi orang yang terhormat dan menjalani kehidupan yang begitu baik, sehingga ketika seorang warga Basrah yang kaya raya meninggal, meninggalkan seorang putri yang cantik, yang bernama Thabet binti Bonani, belakangan mendekatinya.

“Aku ingin menjadi istri Malik,” dia berujar, “sehingga dia dapat membantuku untuk mengabdi dalam ketaatan kepada Allah.”

Thabet kemudian menyampaikan maksudnya kepada Malik.

“Aku telah menceraikan dunia,” jawab Malik. “Wanita ini milik dunia yang telah aku ceraikan. Aku tidak dapat menikahinya.”[2]

Versi Kedua

Abdullah bin Ahmad bin Quddamah al-Maqdisi dalam al-Tawwabin menuturkan kisah pertobatan Malik bin Dinar. Berikut ini penuturannya:

Ketika ditanya tentang kisah pertobatannya, Malik bin Dinar bercerita, “Dulu aku adalah seorang polisi yang suka mabuk-mabukkan. Aku lalu membeli seorang budak perempuan cantik yang melahirkan anak perempuan yang sangat aku cintai.

“Ketika dia sudah dapat merangkak, aku semakin mencintainya. Setiap aku meletakkan minuman keras di hadapanku, dia mendatangiku, lalu menumpahkan minuman keras dariku. Ketika sudah genap dua tahun, dia meninggal dunia, sehingga aku merasa berduka atas kepergiannya.

“Pada malam Nishfu Syaban, yaitu malam Jumat, semalaman aku mabuk dan tidak mengerjakan salat isya. Kemudian aku bermimpi seakan-akan kiamat telah tiba, sangkakala ditiup, kuburan mengeluarkan isinya, seluruh makhluk telah dikumpulkan, dan aku berada di antara mereka.

“Aku mendengar suara dari belakangku, lalu aku menoleh dan melihat ular besar yang berwarna hitam kebiruan mengejarku dengan mulut terbuka. Aku lari terbirit-birit karena ketakutan. Lalu aku bertemu dengan seorang syaikh yang berpakaian bersih dengan bau yang sangat harum. Aku mengucapkan salam padanya, dan dia pun menjawab salamku.

“Aku berkata kepadanya, ‘Wahai syaikh, selamatkan aku dari ular itu, semoga Allah menyelamatkanmu.’

“Syaikh itu menangis dan berkata, ‘Aku lemah, sementara ia lebih kuat dariku. Aku tidak mampu melawannya. Cepatlah pergi, semoga Allah menyelamatkanmu dari ular itu.’

“Aku terus berlari, lalu naik di atas tebing dari tebing-tebing kiamat, aku mendekati kobaran api neraka. Aku melihat teror di dalamnya, dan hampir saja aku terjatuh karena takut akan kejaran ular itu.

“Tiba-tiba ada suara teriakan, ‘Kembalilah, engkau bukan termasuk penghuni neraka.’

“Aku merasa tenang dengan kata-katanya, dan aku pun kembali.

“Ular itu terus mengejarku. Aku mendatangi syaikh itu kembali dan berkata kepadanya, ‘Wahai syaikh, aku memohon padamu agar menyelamatkanku dari ular itu, namun engkau tidak melakukannya.’

“Syaikh itu menangis lalu berkata kepadaku, ‘Aku lemah, tapi pergilah ke gunung itu, karena di dalamnya ada simpanan orang-orang Islam. Jika engkau memiliki simpanan di dalam gunung itu, ia akan menyelamatkanmu.’

“Aku melihat gunung bulat yang terbuat dari perak, ada kubah di atas lembah permata dan tira-tirai yang bergelentungan. Setiap kubah memiliki dua pintu yang berwarna merah keemasan bertaburan zamrud dan mutiara, dan pada setiap pintu terdapat tirai-tirai dari sutera bergantungan.

“Ketika aku melihat gunung itu, aku berlari dan ular itu terus mengejarku. Dan ketika aku mendekati gunung itu, salah satu malaikat berteriak, ‘Angkatlah tirai-tirai itu, bukalah pintu-pintu, dan hati-hatilah. Mudah-mudahan orang malang ini memiliki simpanan yang dapat menyelamatkan dia dari musuhnya.’

“Tirai-tirai itu diangkat, pintu-pintu dibuka, dan tiba-tiba dari dalam tempat itu muncul anak-anak yang wajahnya bersinar seperti bulan purnama, namun ular itu terus mengejarku dan hampir saja aku putus asa.

“Di antara anak-anak itu ada yang berteriak, ‘Celakalah engkau. Kemarilah dan mendekatlah kalian semua. Musuhnya sudah dekat dengannnya.’

“Anak-anak itu kemudian keluar satu demi satu, dan aku melihat putriku yang sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu. Anakku mendekatiku, dan ketika melihatku dia menangis dan berkata, ‘Ayah, demi Allah.’

“Dia kemudian melompat ke dalam kereta cahaya yang kecepatannya seperti anak panah. Dia meletakkan tangan kirinya di atas tangan kananku, dan aku berpegangan ke tangannya. Lalu dia mengulurkan tangan kanannya ke arah ular itu, dan ular itu pun lari.

“Dia kemudian mengajakku duduk, dan anakku duduk di atas pangkuanku, dan dia mulai membelai janggutku seraya berkata, ‘Ayah, belumkah tiba waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk mengingat Allah?’

“Aku menangis, lalu aku berkata kepada anakku, ‘Anakku, kalian memahami Alquran?’

“Anakku menjawab, ‘Ayah, kami lebih memahaminya lebih baik darimu.’

“‘Beritahu aku tentang ular yang ingin membunuhku!’

“Dia menjawab, ‘Ia adalah amal burukmu yang kemudian menjadi kuat dan akan melemparkanmu ke neraka.’

“‘Lalu siapa syaikh yang aku temui di jalan itu?” tanyaku kepada anak perempuanku kembali.

“‘Dia adalah amal baikmu yang menjadi lemah, sehingga dia tidak dapat membantu menyelamatkanmu dari amal burukmu.’

“Aku bertanya lagi, ‘Apa yang kalian lakukan di gunung itu?’

“Dia menjawab, ‘Kami adalah anak-anak orang Islam. Kami tinggal di sini sampai hari kiamat tiba. Kami menunggu kedatangan kalian dan akan memohonkan syafaat untuk kalian.’

“Aku lalu terbangun ketika fajar telah terbit. Aku menumpahkan minuman kerasku, memecahkan botolnya, dan bertaubat kepada Allah.”[3] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Muawiyah bin Abu Sofyan, khalifah Dinasti Umayyah yang pertama.

[2] Farid al-Din Attar, Muslim Saints and Mystics (Tadhkirat al-Auliya’), diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh  A. J. Arberry, (Omphaloskepsis: Iowa, 2000), hlm 12-14.

[3] Dikutip dengan beberapa editing minor dari Abdul Wadud Kasful Humam, “Malik bin Dinar, Preman yang Menjadi Wali Allah”, dari laman https://islami.co/malik-bin-dinar-preman-yang-menjadi-wali-allah/, diakses 23 Januari 2020.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*