Mozaik Peradaban Islam

Malik bin Dinar al-Sami (1): Asal-Usul Julukan Dinar

in Tasawuf

Last updated on January 23rd, 2020 01:52 pm

Suatu hari Malik naik kapal, para pelaut meminta ongkos kepadanya, namun dia tidak punya uang. Mereka memukulinya dan mengancam akan membuangnya ke laut. Tiba-tiba ikan di lautan naik ke permukaan, masing-masing membawa dinar.

Foto ilustrasi, lukisan kapal laut bernama Zong yang membuang budak ke laut sekitar tahun 1781. Sumber: Black Past

Malik bin Dinar al-Sami adalah putra seorang budak Persia dari Sejestan (atau Kabol) dan nantinya dia akan menjadi murid Abu Said bin Abul-Hasan Yasar al-Basri, atau biasa disebut Hasan al-Basri, seorang sufi ternama.

Malik bin Dinar disebut-sebut sebagai ahli hadis yang terpercaya, yang meriwayatkan hadis-hadis dari rantai otoritas pada masa awal, seperti dari Anas bin Malik dan Ibnu Sirin. Malik bin Dinar juga diketahui sebagai seorang ahli kaligrafi Alquran yang terkemuka. Dia wafat sekitar tahun 130 H / 748 M.[1]

Agar tidak keliru, Malik bin Dinar adalah orang yang berbeda dengan Malik Dinar, salah satu sahabat Rasulullah. Meskipun namanya mirip, namun Malik Dinar hidup di masa yang berbeda dengan Malik bin Dinar. Malik Dinar (tanpa “bin”) adalah salah satu sahabat yang menyaksikan mujizat terbelahnya bulan oleh Rasulullah.

Nama “Dinar” pada Malik Dinar itu sendiri, bukanlah nama yang sebenarnya, melainkan sebuah julukan. Dinar di sini maksudnya bukan emas atau uang, melainkan berasal dari kata “Din” (Agama) dan “Or” (bahasa Malayalam, yang artinya adalah “dia”, dalam makna terhormat). Maka jika digabungkan, “Dinar” menjadi bermakna “orang yang memegang teguh agama”.

Di kemudian hari, Malik Dinar diketahui termasuk salah satu orang yang menyebarkan Islam ke India pada tahun 22 H, dan mendirikan masjid di sana, di sebuah tempat yang bernama Kanjarkooth (Kasaragod). Masjid yang didirikannya masih ada sampai hari ini.[2]

Sementara itu, Malik bin Dinar (dengan “bin”) yang dikenal sebagai salah seorang tokoh sufi mistik, hidupnya terpaut hampir seratus tahun dengan Malik Dinar. Adalah Farid al-Din Attar, seorang penyair Persia yang juga dianggap sebagai salah satu sufi mistik terbesar, yang menuliskan kisah hidup Malik bin Dinar dalam karyanya yang berjudul Tadhkirat al-Awliya (Kisah Hidup para Manusia Suci) pada tahun 1177 M.

Farid al-Din Attar dilahirkan di Nishapur, Iran, pada tahun 1142 M. Semasa hidupnya, setidaknya dia telah menyusun 45.000 bait prosa yang indah. Beberapa karya besar lainnya antara lain Manteq al-Tayr (Musyawarah para Burung), Elahi-nama (Kitab Allah), Mosibat-nama (Kitab Penderitaan), dan Divan (Kumpulan Puisi). Farid al-Din Attar wafat di tempat yang sama dengan kelahirannya pada tahun 1220 M.[3]

Menurut A. J. Arberry, penerjemah Tadhkirat al-Awliya ke dalam bahasa Inggris, seringkali kisah-kisah sufi dipenuhi dengan anekdot, percakapan-percakapan, dan hagiografi yang penuh dengan makna tersembunyi, yang perlu direnungkan kembali pesan dan hikmah yang terkandung di dalamnya, tidak seperti pembelajaran Islam formal pada umumnya.[4]

Dengan demikian, sebagaimana akan disampaikan, kisah hidup Malik bin Dinar tidak mesti saklek dipahami secara harfiah, karena di dalamnya banyak kisah-kisah yang bernuansa keajaiban (karamah), melainkan ia sebaiknya diresapi hikmah-hikmah dan pelajaran akhlaknya. Meskipun, tentu sah-sah saja apabila pembaca ingin memaknainya secara harfiah.

Di bawah ini adalah beberapa kutipan kisah hidup Malik bin Dinar menurut Farid al-Din Attar. Selamat menyimak.

Bagaimana Malik bin Dinar Mendapatkan Julukannya

Ketika Malik dilahirkan, ayahnya adalah seorang budak. Namun, meskipun dia adalah putra budak, dia memiliki kebebasan. Ada yang mengatakan, suatu hari Malik bin Dinar pernah menaiki kapal. Ketika kapal itu telah jauh melaut, para pelaut meminta, “Berikan ongkosmu!”

“Aku tidak memilikinya,” jawabnya.

Mereka memukulinya sampai dia pingsan. Ketika dia pulih, mereka berteriak lagi.

“Berikan ongkosmu!”

“Aku tidak memilikinya,” ulangnya.

Mereka memukulinya hingga tidak sadarkan diri untuk kedua kalinya. Ketika dia sadar, mereka meminta untuk ketiga kalinya.

“Berikan ongkosmu!”

“Aku tidak memilikinya.”

“Mari kita menangkap dan melemparkannya ke laut,” teriak para pelaut.

Seluruh ikan di air pada saat itu juga menaikkan kepalanya. Masing-masing membawa dua dinar emas di mulutnya. Malik lalu mengulurkan tangannya dan, mengambil dua dinar dari salah satu ikan, memberikannya kepada mereka. Melihat ini, para awak kapal menundukkan diri jatuh ke kakinya. Dia (Malik) berjalan di permukaan air dan menghilang.

Itulah sebabnya dia disebut Malik bin Dinar.[5] (PH)

Bersambung ke:

Catatan Kaki:


[1] Farid al-Din Attar, Muslim Saints and Mystics (Tadhkirat al-Auliya’), diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh  A. J. Arberry, (Omphaloskepsis: Iowa, 2000), hlm 11.

[2] Malik Deenar Great Juma Masjid, “History”, dari laman https://malikdeenargreatjumamasjid.com/m/history.html, diakses 22 Januari 2020.

[3] Encyclopaedia Britannica, “Farīd al-Dīn ʿAṭṭār”, dari laman https://www.britannica.com/biography/Farid-al-Din-Attar, diakses 22 Januari 2020.

[4] Farid al-Din Attar, Op.Cit., hlm xi, pengantar oleh A. J. Arberry.

[5] Farid al-Din Attar, Op.Cit., hlm 11-12.

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*