Mozaik Peradaban Islam

Megan Lovelady (1): Gelombang Hijab di Selandia Baru

in Mualaf

Last updated on May 19th, 2019 05:53 am


Seminggu setelah serangan Masjid Al Noor, bersama ribuan wanita lainnya, Megan menghadiri acara salat jumat di sana sebagai aksi solidaritas. Dari halaman, dia mendengar imam membacakan Alquran. Hatinya bergetar.


Megan Lovelady. Foto: Janneth Gill/Herald on Sundays

Masih ingatkah kita dengan peristiwa terorisme penembakkan massal di Masjid Al Noor, Christchurch, Selandia Baru? Peristiwa tersebut terjadi pada 15 Maret 2019. Sampai saat ini, diketahui sudah ada 51 korban yang tewas.[1] Keesokan harinya, pada 16 Maret 2019, Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, menunjukkan solidaritasnya dengan mengunjungi keluarga korban sambil mengenakan hijab berwarna hitam.[2]

Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, mengenakan hijab sebagai bentuk solidaritas. Foto: AFP

Aksi Jacinda mengundang simpati dari warga Selandia Baru. Para wanita, berduyun-duyun juga mengikuti langkah Jacinda, mereka menggunakan hijab sebagai bentuk simpati terhadap Muslim. Mulai dari pembawa berita hingga petugas kepolisian, beberapa lainnya menggunakannya ke tempat bekerja, dan yang lainnya pada seremoni pemakaman. Foto-foto wanita Selandia Baru yang mengenakan hijab beredar luas di media sosial.[3]

Polisi wanita Selandia Baru mengenakan hijab saat bertugas. Foto: AFP

Dari sekian banyak wanita tersebut, ada seorang wanita yang bernama Megan Lovelady, yang juga turut hadir dalam aksi solidaritas sambil mengenakan hijab. Bukan hanya sehari dua hari, Megan mengenakannya sampai berhari-hari setelah peristiwa penembakkan. Pada hari Jumat, seminggu setelah serangan, bersama ribuan wanita lainnya, dia menghadiri acara salat jumat di Masjid Al Noor. Dari halaman masjid, dia mendengar imam membacakan Alquran.

Ketika mendengarnya, dia merasakan getaran di dadanya. “Ketika mendengar imam membacakan Quran, rasanya sungguh menakjubkan,” ujarnya. Dari sana, Megan terus berpetualang untuk mencari tahu tentang Islam, sampai akhirnya dia memutuskan untuk masuk Islam.[4]

Pada bulan Ramadan ini, berita Megan Lovelady yang masuk Islam cukup viral di Selandia Baru itu sendiri. Artikel ini akan memuat kisah perjalanannya sehingga akhirnya dia memutuskan masuk Islam.

Gelombang Hijab di Selandia Baru

Megan adalah seorang pekerja di kafe, usianya baru 22 tahun. Pada awalnya, dia hanya ingin membantu. Sehari setelah serangan itu, dia mendengar kabar bahwa wanita Muslim takut keluar rumah dengan mengenakan hijab karena takut akan keselamatan mereka.

Megan yang lahir di Tennessee, Amerika Serikat, bermigrasi ke Selandia Baru bersama keluarganya ketika dia berusia 7 tahun. Hari itu Megan memutuskan untuk mengenakan jilbab dalam aksi solidaritas untuk para wanita Muslim.

“Aku menonton satu miliar video di YouTube tentang cara mengenakan kerudung,” katanya, “supaya aku tidak menyinggung siapa pun.” Dia khawatir salah pakai, tidak sesuai dengan tradisi agama Islam.

Di kemudian hari, dia menertawakan kehati-hatiannya itu, dia menyadari bahwa ternayata tidak ada standar khusus tentang cara mengenakan hijab, dan wanita Muslim cenderung tidak mempersoalkan bagaimana cara memasang simpul pada sebuah hijab.

Ketika Megan berjalan melewati jalan-jalan di Christchurch dengan kepala tertutup, dia merasa seolah-olah orang-orang memandangnya lebih dari biasanya. Dia berharap dukungan kecil ini akan membantu para wanita Muslim agar terlihat “lebih normal”. Megan terus mengenakan hijab selama beberapa hari.

Seminggu setelah pembantaian, dia pergi kerja lebih awal karena ingin menghadiri sebuah acara di Hagley Park, bersama dengan ribuan lainnya, di mana salat Jumat diadakan di dekat Masjid AI Noor.

“Ketika mendengar imam membacakan Quran, rasanya sungguh menakjubkan,” ujarnya.

“Sesuatu telah bergerak di dalam dadaku. Aku pernah merasakan itu hanya sekali sebelumnya, tetapi tidak sebesar ini.”

Kejadian itu terjadi pada saat Megan berusia 15 tahun, saat itu dia tengah dibaptis di sebuah gereja Kristen. Waktu itu dia merasakan getaran energi yang sama di hatinya, tetapi tidak sekuat sekarang.

Seolah-olah ada sesuatu yang berkata, “Hei, aku ada di sini … tetapi engkau belum menemukannya dengan jelas.”

Tak lama setelah pembacaan Alquran, ratusan Muslim salat dan bersujud. Bagi Megan, itu adalah sebuah pemandangan yang sangat emosional, dia ingin ikut salat bersama mereka. Tetapi, “Aku tidak tahu caranya. Jadi aku hanya berdiri di sana dengan hijabku, dan menangis.”

Setelah kejadian itu, Megan ingin tahu lebih banyak tentang Islam. Selain itu, dia juga memang sangat ingin membantu komunitas Muslim yang menderita setelah serangan itu.

Megan lalu mendatangi tempat pusat pertemuan keluarga korban penembakkan, di sana dia mencari-cari wanita berhijab yang berada di luar gedung, untuk menanyakan bagaimana caranya agar dia bisa membantu. Namun di luar dia tidak bertemu dengan siapapun. Megan lalu berbicara kepada petugas kepolisian yang bersenjata yang sedang berjaga.

 “Aku bertanya kepadanya bagaimana kami dapat membantu orang-orang ini. Dia menatapku dengan aneh dan tersenyum kecil. ‘Masuk saja,’ katanya. Aku seperti, ‘Memangnya aku boleh masuk begitu saja?’ Aku sangat terkejut bahwa ternyata sesederhana itu.”[5] (PH)

Bersambung ke:

Catatan Kaki:


[1] NBC News, “Death toll from Christchurch mosque attacks grows to 51 after Turkish man dies”, dari laman https://www.nbcnews.com/news/world/death-toll-christchurch-mosque-attacks-grows-51-after-turkish-man-n1001476, diakses 13 Maret 2019.

[2] Kate Shuttleworth, “New Zealand women wear headscarves to honour Christchurch attack victims”, dari laman https://www.thenational.ae/world/asia/new-zealand-women-wear-headscarves-to-honour-christchurch-attack-victims-1.841577, diakses 13 Maret 2019.

[3] Ibid.

[4] Lana Hart, “My Conversion to Islam”, Herald on Sundays News Paper, 12 May 2019.

[5] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*