“Sekiranya bukan karena aku membenci kecurangan, niscaya aku akan menjadi orang yang paling cerdik (memainkan kecurangan). Namun, setiap kecurangan pasti membawa pada kekejian, dan setiap kekejian pasti membawa pada kekufuran.” ~Sayidina Ali
–O–
Salah satu tujuan Sayidina Husein melakukan perlawanan di Karbala ialah untuk menggagalkan bergulirnya rencana Dinasti Umayyah untuk mempergunakan simbol-simbol Islam dan sentimen-sentimen kesukuan dalam menguasai umat Muhammad. Bagi Sayidina Husein, kekuasaan Yazid, bila bertahan lebih lama lagi, akan berakibat pada lenyapnya Islam secara total dari kesadaran kolektif umat. Sayidina Husein pernah menyatakan, “Katakan selamat tinggal pada Islam bilamana umat dipimpin oleh penguasa semacam Yazid.” Tujuan ini tampaknya dengan cepat dapat diraih oleh Sayidina Husein. Dan dalam konteks inilah para ahli sejarah menyimpulan apa yang terjadi sebagai “Kemenangan darah atas pedang” (Ghalabatu al-dam ‘ala al-sayf).
Demikianlah, Sayidina Husein berhasil melahirkan dan menghidupkan budaya kemenangan darah atas pedang, kemenangan nilai-nilai atas ilusi dan fantasi, kemenangan pengorbanan dan keluhuran atas kekejaman dan kebengisan, kemenangan logika atas caci maki, kemenangan ketabahan atas agresifitas, kemenangan kemanusiaan atas kekuasaan dan yang terpenting adalah kemenangan kesetaraan atas ilusi fanatisme kelompok dan kesukuan. Dan itulah sejatinya kemenangan Islam yang diajarkan oleh Kakeknya, Rasulullah SAW.
Ketiga, ciri khas kesucian gerakan yang ketiga adalah kemampuannya untuk menguak dalih-dalih palsu yang melegitimasi sebuah kezaliman. Sejak periode kekuasaan Muawiyah di Suriah, Bani Umayyah mencoba mendalangi distorsi besar di tengah-tengah umat Muslim untuk mencoreng citra keluarga Nabi. Sasaran utama mereka adalah supaya legitimasi dan kredibilitas Ali Ibn Abi Thalib yang tak tersaingi itu pelan-pelan akan hilang. Mereka mencoba mem-frame Sayidina Ali sebagai aktor intelektual dibalik kematian Utsman. Lalu, mereka menelikung kemenangan Sayidina Ali di Perang Shiffin dengan tipuan arbitrase, yang akhirnya berujung dengan keluarnya kelompok Khawarij dari kepemimpinan Sayidina Ali dan pembunuhannya di mihrab Masjid Kufah.
Sayidina Ali pernah mengungkapkan kepribadian Muawiyah dalam ucapan berikut, “Demi Allah, sesungguhnya Muawiyah tidaklah lebih cerdik daripadaku. Namun ia berhati culas dan tidak segan-segan berlaku keji. Sekiranya bukan karena aku membenci kecurangan, niscaya aku akan menjadi orang yang paling cerdik (memainkan kecurangan). Namun, setiap kecurangan pasti membawa pada kekejian, dan setiap kekejian pasti membawa pada kekufuran.”
Pada tahap berikutnya, Muawiyah mencurangi Sayidina Hasan dengan butir-butir perjanjian damai yang dipaksakan. Dia juga memanipulasi hampir semua simbol Islam demi menggelindingkan rencana-rencana kotor itu. Dan karena itulah diperlukan aksi heroik yang untuk sekali dan selamanya bisa membedakan dengan jelas mana pihak yang benar dan mana pihak yang batil.
Gerakan Sayidina Husein, dengan segenap detailnya yang dramatis, kolosal, dan tragis itu sungguh berhasil menjungkirbalikkan manipulasi simbol-simbol yang dimainkan oleh Bani Umayyah. Bukan hanya itu! Sayidina Husein bahkan berhasil menunjukkan kepada umat Muslim pada khususnya, dan umat manusia pada umumnya, bahwa ilusi Bani Umayyah untuk mempermainkan sentimen-sentimen masyarakat dengan menampilkan kekejaman, teror, dan intimidasi di satu sisi serta sogokan dan politik uang di sisi lain, sesungguhnya tidak akan bisa mengalahkan suara kebenaran dan keadilan.
Sayidina Husein telah membuktikan dengan segenap aksinya bahwa kekuasaan yang bertopang pada kebatilan yang sangat cerdik memanipulasi simbol-simbol agama, memainkan sentimen-sentimen kesukuan, memanfaatkan jaringan oligarki dan deep state, menghadirkan teror dan ketakutan, serta mengumbar ilusi-ilusi kesejahterahan dan kemakmuran, tidak mungkin bertahan menghadapi darah-darah suci yang berkorban demi kebenaran dan keadilan. Aksi dramatis Asyura di medan Karbala itu dengan cepat memotong tangan-tangan Dinasti Umayyah yang ingin mengendalikan umat dengan tipuan dan teror. Di hadapan kedahsyatan hari itu, semua mata terbelalak dan semua distorsi tersingkirkan. Di hadapan pengorbanan sebesar itu, hati manusia paling beku pun menjadi leleh dan tertunduk kembali menerima kebenaran.
Keempat, ciri lain kesucian gerakan Sayidina Husein ialah fakta bahwa gerakan itu bermula dari bawah. Maksudnya, gerakan itu tumbuh secara sosial dari akar rumput, sebagai pelayanan dan respons atas kebutuhan umat. Ia bukan hasil rekayasa elit tertentu. Dalam bahasa modern, gerakan itu berproses dari bawah (bottom-up), bukan diperintah dari atas (top-down).
Beberapa saat setelah Yazid berkuasa di Damaskus, Sayidina Husein menerima ribuan surat dari berbagai penjuru dunia Islam. Surat yang paling banyak berasal dari warga Kufah dan sebagian dari Bashrah, Irak. Keberangkatan Sayidina Husein ke Irak, sebagaimana keberangkatan Nabi ke Madinah, merupakan bentuk pelayanan pada umat yang membutuhkannya. Beliau bukan ingin menghindari nestapa atau kematian, seperti yang diduga oleh sebagain orang, tapi ingin melayani manusia dan menyambut jeritan mereka. Sayidina Husein memilih Kufah, lantaran di sanalah, menurut ratusan (sebagian versi menyebut ribuan) surat yang beliau terima, para penduduk sudah tidak tahan terhadap kekejaman kaki tangan Yazid.
Untuk mengilustrasikan suasana pengiriman salah satu surat, kita dapat melihat peristiwa yang terjadi di depan rumah Sulayman bin Surad Khuzai. Sesaat setelah Muawiyah mati dan Yazid memegang tampuk kekuasaan, para pendukung Sayidina Ali berkumpul di rumah Sulayman dan bersama-sama mengucapkan syukur kepada Allah atas kematian Muawiyah. Sulayman lalu mengatakan di hadapan ratusan orang yang hadir di sana, “Muawiyah telah mati dan Husein bin Ali menolak baiat kepada Yazid. Kini beliau berangkat menuju Mekkah. Kalian adalah pendukung Husein sebagaimana sebelumnya kalian mendukung ayahnya, Ali. Jika kalian siap membantunya dan mengorbankan nyawa untuk melawan musuhnya, maka kalian harus memberitahunya melalui sebuah surat. Namun jika kalian takut, jangan kalian menipunya dan memintanya datang ke sini.”
Hadirin yang berada di depan rumahnya lantas bersama-sama menyatakan kesiapan mendukung dan berkorban untuk Sayidina Husein. Mereka juga dengan jelas menyatakan bahswa mereka telah lama tertekan di bawah kekausaan Muawiyah dan bakal hidup lebih sengsara di bawah kekuasaan Yazid. Mendengar jawaban itu, Sulayman mengajak mereka bersama-sama menulis surat sebagai berikut.
Bismillahi-Rahman-ni-Rahim
Surat ini ditulis oleh Sulayman bin Surad, Musayyab bin Najnah, Rafaah bin Syaddad Bajali dan Habib bin Mazhahir di hadapan sejumlah kaum Muslim dan pendukung setia Husein bin Ali yang tinggal di Kufah: “Salam sejahtera untuk engkau. Segala puji bagi Allah tiada tuhan selain-Nya. Terpujilah Dia yang sudah menghancurkan musuhmu yang menindas dan bengis, orang yang menguasai umat ini, merampas kendali pemerintahan secara tidak sah, mencuri harta umat, dan menjadi penguasa kaum Muslim tanpa persetujuan mereka. Lalu, dia membunuh orang-orang paling saleh dan menyisakan orang-orang paling keji. Dia membiarkan harta Allah di antara para penindas dan golongan kaya. Semoga Allah mengutuknya seperti Dia mengutuk kaum Tsamud. Sekarang ini, kami, masyarakat Irak, tidak memiliki pemimpin atau Imam. Maka dari itu kami memintamu untuk berangkat menuju kami dan memimpin kami dalam hak. Al-Nu’man bin Basyir berada di istananya. Kami tidak akan bersamanya pada hari Jum’at dan juga tidak akan menemuinya di hari raya. Jika kabar kedatanganmu telah sampai kepada kami, maka kami akan mengusirnya agar dia bergabung dengan warga Syam.”[1]
Atas persetujuan hadirin, Sulayman lantas menyuruh Abdullah bin Siba Hamadani dan Abdullah bin Wal untuk bergegas ke Mekkah dan menemui Sayidina Husein di sana. Pada 10 Ramadhan 60 H, kedua orang ini sampai di hadapan Sayidina Husein dan memberikan surat itu. Dalam buku A Probe into the History of ‘Ashura, Dr. Ibrahim Ayati mencatat setidaknya 150 surat dari warga Kufah saja. Setiap surat ditulis paling sedikitnya oleh empat orang. Jadi, pukul rata saja, sedikitnya 600 warga Kufah telah meminta Sayidina Husein untuk pergi memimpin dan membantu mereka. proses demokratis ini berjalan cukup lama sebelum beliau memutuskan untuk pergi menemui mereka. (MK)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Memaknai Revolusi Imam Husein (11): Rahasia Kesucian Gerak (1)
Catatan Kaki:
[1] Luth bin Yahya bin Said bin Mikhnaf Al-Azdi, Op.Cit, hal. 35-36.