Mozaik Peradaban Islam

Muhammad Ridwan Kamil (1): Masjid Merapi

in Arsitektur

Last updated on October 18th, 2018 06:56 am

 

Oleh Mi’raj Dodi Kurniawan[1]

“Selain mengarsiteki perumahan dan perkantoran juga kampus, arsitek lulusan ITB ini pun merancang pembangunan sejumlah masjid. Satu di antara sekian masjid yang dirancangnya adalah Masjid Merapi – sebutan populer bagi Masjid Baiturrahman di Dusun Kopeng, Merapi, Sleman, Yogyakarta. Masjid ini indah, kokoh, dan unik. Satu di antara sekian keunikannya adalah berbahan batako abu vulkanik.”

                                                                                                –O–

Masjid Merapi karya Ridwan Kamil. Photo: Kompas

Muhammad Ridwan Kamil alias Kang Emil lahir di Bandung, Jawa Barat, 4 Oktober 1971. Ia merupakan arsitek lulusan ITB (1995) dan Master of Urban Design (M.Ud) dari Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat (2001). Namun, sebelum menyabet gelar M.Ud., siapa sangka, putera Atje Misbach Muhjiddin dan Tjutju Sukaesih ini rupanya pernah hampir menggelandang di Berkeley, Amerika Serikat, akibat krisis moneter menerpa Indonesia pada tahun 1997.

Saat krisis moneter terjadi, Kang Emil bersama isterinya yakni Atalia Praratya tengah berada di Negeri Paman Sam. Kebetulan pula, isterinya tengah mengandung anak pertama mereka. Akibat mengalami kesulitan keuangan, maka peraih penghargaan Pikiran Rakyat Award 2012 untuk Tokoh Muda Kreatif itu mendaftar sebagai warga miskin kepada Pemerintah Kota Berkeley, sehingga dia dan keluarganya memperoleh fasilitas sebagai warga miskin.

Ketika di Berkeley, Ridwan Kamil dan istrinya pernah terdaftar sebagai warga miskin. Photo: Ridwan Kamil/Instagram

Dengan demikian, ketika isterinya melahirkan, Kang Emil pun menemani istrinya yang melahirkan di sebuah rumah sakit khusus untuk orang miskin di Barkeley, tepatnya di bangsal rumah sakit tersebut. Tentu saja pengalaman tadi memberikan tekanan psikologis. Namun, Kang Emil tidak patah semangat. Kerasnya kehidupan dia sikapi dengan semangat juang tinggi. Singkat cerita, setelah menyabet gelar M.Ud., maka pada tahun 2002, ia bersama isteri dan anak sulungnya pulang ke Tanah Air.

 

Masjid Merapi

Tahun 2004, Kang Emil mendirikan Urbane Indonesia, sebuah perusahaan jasa konsultan perencanaan, arsitektur, dan desain. Dengan demikian, sebelum merambah dunia politik, sebenarnya figur muda ini berprofesi sebagai arsitek dan dosen tidak tetap ITB. Dari beragam karya arsitekturnya, masjid adalah salah satu arsitektur yang dia rancang. Dan dari beberapa masjid itu, Masjid Baiturrahman di Dusun Kopeng, Merapi, Sleman, Yogyakarta atau yang sering disebut Masjid Merapi adalah salah satunya.

Masjid Merapi sebenarnnya bernama Masjid Baiturrahman, namun karena terletak di kaki Gunung Merapi, maka seringkali disebut Masjid Merapi. Photo: National Geographic

Masjid Merapi merupakan satu di antara sekian arsitektur karya Urbane Indonesia. Masjid ini bukan saja menyajikan kenyamanan dan bentuk bangunan yang indah dan unik, tetapi juga memperlihatkan bahan bangunan yang kuat, kreatif, dan tidak kalah uniknya.

Sebagai arsitek yang mengusung konsep modern, maka desain awal masjid ini pun bergenre modern. Akan tetapi karena pihak penyandang dana menghendaki konsep tradisional, maka jadilah masjid ini berkonsep bangunan campuran: tradisional dan modern. Kemudian sebagaimana kebanyakan masjid yang dirancang seniornya, Sang Arsitek Seribu Masjid Achmad Noe’man, Masjid Merapi karya Kang Emil pun tidak berkubah. Oleh sebab itu, tampilannya tampak unik.

Sebagaimana kebanyakan masjid yang dirancang seniornya, Sang Arsitek Seribu Masjid Achmad Noe’man, Masjid Merapi karya Kang Emil pun tidak berkubah. Photo: Akhmad Fauzi Nugroho

Artikulasi konsep tradisional Masjid Merapi mengejawantah pada penggunaan atap susun tradisional Jawa sebagai pengganti atap modern. Di luar itu, tampaknya masjid ini mengartikulasikan konsep modern. Secara umum, konsep bangunannya merupakan permainan cahaya dan bayangan dengan menciptakan banyak bukaan kecil di dinding dan atap masjid. Bukaan masjid dibuat menggunakan susunan bata yang membentuk kaligrafi lafadz Allah. Bukaan itu memungkinkan banyak cahaya dan udara bebas masuk ke dalam dan bebas ke luar masjid.

Lokasi masjid di kaki Gunung Merapi membuat temperatur rata-rata di dalamnya sekitar 16-17 derajat celcius dan terasa dingin. Oleh sebab itu, arsitektur masjid ini dirancang untuk menjaga temperatur agar tidak bertambah dingin. Caranya, buka-bukaan masjid ditutup dengan menggunakan kaca. Sebab, kaca yang digunakan tidak terlalu menyerap panas cahaya matahari dan – oleh karena itu – dapat menghangatkan ruangan.

Interior Masjid Merapi. Photo: Kompas

Sebagaimana telah dikemukakan tadi, dari segi bahan bangunan, material dominan masjid ini adalah batako abu vulkanik dan batu lokal. Hal ini unik, sebab abu vulkanik yang semula muntahan erupsi dan menghancurkan kawasan tersebut, ternyata dapat disulap menjadi bahan bangunan yang kuat dan unik. Dari segi pendidikan nilai, hal ini mengajarkan nilai kreativitas dalam berkarya meski tengah dan telah diterpa bencana. Dengan kata lain, mengubah musibah menjadi berkah.[2]

Material dominan masjid ini adalah batako abu vulkanik dan batu lokal. Photo: Ikrar/Pambudi Yoga Pradana

Dari segi kekokohan, struktur bangunan Masjid Merapi diperkuat dengan menggunakan kerangka beton untuk mengantisipasi terjadinya goncangan. Sebab, masjid ini berdiri di atas daerah rawan bencana, persis di lereng Gunung Merapi. Lalu, manakala mencoba memasuki ruangan, maka interior masjid tampak indah, apalagi saat sinar matahari menyapu masjid dan masuk melalui komposisi batu bata. Pertemuan sinar matahari dengan postur bangunan mampu menciptakan bayangan tak terduga.

Secara umum, arsitektur masjid yang terdiri atas empat lantai tersebut bersifat fungsional. Luas bangunannya 250 meter persegi[3] dan selesai dibangun bulan Oktober 2011. Selain digunakan sebagai sarana untuk beribadah, Masjid Merapi juga dimanfaatkan untuk menjalankan pendidikan Islam bagi anak-anak di daerah setempat.

Sejarah pembangunan Masjid Merapi dimulai selepas Gunung Merapi di Jawa Tengah mengalami erupsi pada 27 Oktober 2010. Erupsi tersebut bukan hanya meluluh-lantakan hunian dan perkebunan, melainkan juga menghancurkan fasilitas masjid di kawasan itu. Singkat cerita, setelah keadaan mulai kondusif, maka Corporate Social Responsibility (CSR) Baitul Maal Muamalat pun bekerja sama dengan Urbane Indonesia untuk membangun masjid tersebut.[4]

Bersambung ke:

Muhammad Ridwan Kamil (2): Masjid Al-Irsyad Satya

                               

Catatan Kaki:

[1]     Ketua Bidang Litbang KAHMI Cianjur, Sejarawan UPI Bandung, dan Penulis essay-essay tentang Keislaman di berbagai media Nasional.

[2]     Lihat “Masjid Merapi, Karya Ridwan Kamil Di Tengah Musibah” dalam https://merahputih.com/post/read/masjid-merapi-karya-ridwan-kamil-di-tengah-musibah. Diakses di Bandung 15 Oktober 2018.

[3]     Ridwan Aji Pitoko. “Tak Berkubah, Masjid Kopeng Merapi Ini Tetap Indah” dalam https://properti.kompas.com/read/2016/06/13/150000021/tak.berkubah.masjid.kopeng.merapi.ini.tetap.indah. Diakses di Bandung 15 Oktober 2018.

[4]     Lihat “Merapi Mosque – Kopeng, Sleman” dalam http://www.urbane.co.id/masjid-merapi/. Diakses di Bandung 15 Oktober 2018.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*