Umat Islam meraih kemenangan besar dalam perang ini. Salah satu tawanan perang dari pihak Quraish adalah saudara kandung Mushab bin Umair. Bagaimana reaksi Mushab melihat saudaranya sendiri?
Dua tahun setelah peristiwa hijrah besar, umat Islam terlibat peperangan dengan kaum Quraish Makkah yang sebelumnya telah menindas Muslim. Ada banyak penafsiran terkait apa yang melatarbelakangi terjadinya perang tersebut, namun pada kesempatan kali ini kita tidak akan terlalu jauh masuk ke sana.
Pada perang pertama Kaum Muslim ini, bendera komando tertinggi yang berwarna putih diserahkan kepada Mushab bin Umair. Sementara itu seluruh pasukan Muslimin dibagi ke dalam dua batalion:
- Batalion Muhajirin, yang benderanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib.
- Batalion Anshar, yang benderanya diserahkan kepada Saad bin Muadz.
Komando sayap kanan diserahkan kepada az-Zubair bin al-Awam, dan sayap kanan diserahkan kepada al-Miqdad bin Amr, karena hanya mereka berdualah yang naik kuda dalam pasukan itu. Sementara itu pertahanan garis belakang diserahkan kepada Qais bin Shashaah.
Pasukan Muslim memperoleh kemenangan yang telak dalam Perang Badar. Jumlah Muslim yang tewas hanya 14 orang, enam dari Muhajirin, dan delapan dari Anshar. Sementara itu, korban tewas pasukan Quraish Makkah sebanyak 70 orang, dan 70 lainnya menjadi tawanan perang, yang mana kebanyakannya adalah para pemuka Quraish.[1]
Terkait dengan Mushab bin Umair, salah satu tawanan perang Quraish ternyata adalah saudara kandungnya sendiri. Berikut ini adalah riwayat-riwayat yang menceritakannya:
Nubai bin Wahab dari suku Bani Abdud Daar melaporkan bahwa ketika Rasulullah SAW datang dengan membawa tawanan Perang Badar, mereka didistribusikan kepada para sahabat dengan mengatakan, “Aku dengan tegas memerintahkan kalian untuk memperlakukan mereka dengan baik.”
Di antara para tawanan tersebut terdapat Abu Aziz bin Umair bin Hisham, saudara kandung dari Mushab bin Umair. Abu Aziz berkata, “Ketika aku tertangkap oleh salah satu orang Anshar, saudaraku Mushab bin Umair lewat. Dia berkata kepada orang Anshar itu, ‘Ikatlah kedua tangannya dengan benar karena ibunya sangat kaya dan dia akan membayar tebusan yang besar untuk dia.’
“Aku bersama sekelompok orang-orang Anshar ketika kami kembali dari pertempuran. Setiap kali makan pagi dan sore diberikan, mereka memberiku roti dan (orang-orang Anshar) hanya memakan kurma karena perintah dari Rasulullah untuk memperlakukan kami (tawanan) dengan baik.
“Setiap kali ada dari mereka yang kebetulan menerima roti, dia akan memastikan bahwa dia memberikannya kepadaku. Ketika aku mengembalikannya karena malu, dia akan mengembalikannya tanpa menyentuhnya.”
Abu Yasar adalah orang Anshar yang menangkap Abu Aziz. Setelah Mushab bin Umair memberi tahu Abu Yasar apa yang harus dia lakukan (tentang mengikat kedua tangan Abu Aziz dengan baik), Abu Aziz berkata, “Saudaraku tersayang! Apakah ini nasihat yang engkau berikan tentang aku (saudaramu sendiri)?”
Mushab menjawab, “Dia (Abu Yasar) adalah saudaraku dan bukan engkau.”
Ketika ibunda Abu Aziz menanyakan berapa tebusan tertinggi yang harus dibayar terhadap siapa pun dari Quraish, dia diberitahu bahwa itu adalah empat ribu dirham. Dia kemudian mengirim empat ribu dirham dan menebus putranya.[2]
Dalam riwayat yang hampir serupa, sebagaimana disampaikan oleh Tabrani, Abu Aziz bin Umair berkata, “Aku adalah salah seorang tawanan yang ditangkap (oleh kaum Muslim) pada Perang Badar. Rasulullah berkata (kepada para sahabat), ‘Aku dengan tegas memerintahkan kalian untuk memperlakukan para tahanan dengan baik.’
“Aku bersama sekelompok orang-orang Anshar dan setiap kali makan pagi dan sore diberikan, mereka hanya memakan kurma dan memberiku gandum (roti) karena perintah dari Rasulullah (untuk memperlakukan kami dengan baik sebagai tawanan).”[3]
Dalam versi lainnya, Ayub bin Numan meriwayatkan bahwa pada saat Perang Badar, Abu Aziz bin Umair, saudara kandung Mushab bin Umair, juga tertangkap (oleh orang-orang Muslim). Dia ditempatkan dalam pengawasan Muhriz bin Nadhla.
Mushab berkata kepada Muhriz, “Ikatlah kedua tangannya dengan benar karena dia memiliki ibu yang sangat kaya di Makkah (yang akan membayar tebusan besar untuknya).”
Abu Aziz berkata, “Apakah itu nasihatmu tentang aku, saudaraku sayang?”
Mushab menjawab, “Muhriz adalah saudaraku dan bukan engkau.”
Ibunda Abu Aziz kemudian mengirim empat ribu dirham (sebagai tebusan untuk putranya).[4] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 270, 295.
[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq sebagaimana dikutip dalam Ibnu Katsir, al-Bidayah wan Nihayah (Vol 3, hlm 307), dikutip kembali dalam Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, The Lives of The Sahabah (Vol.2), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mufti Afzal Hossen Elias (Zamzam Publisher: Karachi, 2004) hlm 333-334.
[3] Tabrani dalam Kabir dan Saghir meriwayatkan dari rantai hadis yang dapat dipercaya sebagaimana dibenarkan oleh Haithami (Vol 6, hlm 86), dikutip kembali dalam Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, Ibid., hlm 374.
[4] Diriwayatkan oleh Waqidi sebagaimana dikutip dalam Nasbur Raya (Vol 3, hlm 403), dikutip kembali dalam Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, Ibid., hlm 334.