Mozaik Peradaban Islam

Mushab bin Umair (4): Perpisahan dengan Sang Ibu

in Tokoh

Last updated on December 10th, 2019 10:20 am

Mushab mengajak ibunya untuk memeluk Islam, namun jawaban dia adalah, “Demi bintang! Sekali-kali aku tak akan masuk ke dalam agamamu itu. Otakku bisa menjadi rusak, dan buah pikiranku tidak akan diindahkan orang lagi.”

Lukisan karya Augustus Savile Lumley (British, 1876–1960) yang berjudul Arab Woman holding a pitcher , 1888. Sumber: Art Net

Semenjak ibunya merasa putus asa untuk mengembalikan Mushab ke agama yang lama, wanita ini telah menghentikan segala pemberian yang biasa dilimpahkan kepada Mushab. Bahkan dia tidak sudi jika makanannya dimakan oleh orang yang telah mengingkari berhala, dan oleh karenanya—menurut wanita ini—dia patut untuk dikutuk, walaupun itu anak kandungnya sendiri.

Akhir pertemuan antara Mushab dan ibunya terjadi ketika Mushab baru pulang dari Habsyi, dia mencoba mengurungnya lagi. Namun kali ini Mushab menunjukkan tekadnya, dia bersumpah akan melakukan perlawanan dan membunuh orang-orang suruhan ibunya jika rencana itu dilakukan.

Karena sang Ibu telah mengetahui kebulatan tekad anaknya, maka tidak ada jalan lain selain melepasnya dengan cucuran air mata. Sementara itu, Mushab juga mengucapkan selamat tinggal dengan menangis pula.

Saat peristiwa perpisahan itu terjadi, kedua belah pihak masing-masing menunjukkan kegigihan atas keyakinan yang mereka percayai. Sang ibu hendak mengusir Mushab dari rumah, berkata, “Pergilah sesuka hatimu, aku bukan ibumu lagi!”

Maka Mushab pun menghampiri ibunya seraya berkata, “Wahai ibu, telah aku sampaikan nasihat kepadamu, dan aku menaruh kasihan kepadamu. Karena itu bersaksilah, bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

Dengan murka dan naik darah ibunya menyahut, “Demi bintang! Sekali-kali aku tak akan masuk ke dalam agamamu itu. Otakku bisa menjadi rusak, dan buah pikiranku tidak akan diindahkan orang lagi.”

Demikianlah, Mushab meninggalkan kemewahan dan kesenangan yang telah dia alami ketika dia dibesarkan, dan memilih untuk hidup miskin dan sengsara. Pemuda yang dulunya tampan dan bergaya itu kini telah menjadi seorang yang melarat dengan pakaiannya yang kasar dan usang. Seringkali pada satu hari dia dapat makan, dan pada hari-hari lainnya dia kelaparan.[1]

Namun jiwanya kini telah dihiasi dengan akidah suci dan tercerahkan berkat sentuhan Nur Ilahi. Dia telah menjadi manusia yang lain.[2] Mushab telah memantapkan dirinya untuk menggunakan talenta dan energinya untuk memperoleh pengetahuan tentang Islam dan melayani Tuhan dan Nabi-Nya.[3]


Setelah sekitar sepuluh tahun Nabi Muhammad SAW mengajak orang-orang untuk memeluk Islam, sebagian besar penduduk Makkah masih tetap memusuhinya. Nabi kemudian pergi ke Taif untuk berdakwah. Namun dia diusir dan dikejar-kejar di kota tersebut. Masa depan Islam tampak suram.[4]

Tepat setelah peristiwa ini, Nabi memilih Mushab untuk menjadi dutanya bagi orang-orang Yastrib (kelak akan menjadi kota Madinah).[5] Mushab diberi tugas untuk mengajarkan seluk beluk agama kepada orang-orang Anshar yang telah berbaiat kepada Rasulullah di bukit Aqabah. Di samping berdakwah, dia juga diberi tugas untuk mempersiapkan Yastrib menyambut hijratul Rasul sebagai peristiwa besar.[6]

Terkait perisitwa di atas, Urwa bin Zubair meriwayatkan, “Ketika orang-orang Anshar mendengar apa yang dikatakan Rasulullah, (mereka) menjadi yakin dan sepenuhnya puas dengan pesannya, mereka mempercayainya dan menyatakan iman mereka.

“Karena itu mereka menjadi salah satu kendaraan kebaikan (untuk umat manusia secara luas) dan kembali ke kaum mereka setelah berjanji untuk bertemu dengan Rasulullah pada musim haji berikutnya.

“Mereka kemudian mengirim pesan kepada Rasulullah memintanya untuk mengirimkan seseorang kepada mereka yang akan menyeru orang-orang kepada Kitab Allah karena ini akan membuat orang-orang lebih siap menerima (Islam). Karena itulah Rasulullah mengutus Mushab bin Umair, yang berasal dari suku Bani Abdud Daar.”[7]

Sebenarnya di kalangan sahabat pada waktu itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh, dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah ketimbang Mushab. Tetapi Rasulullah menjatuhkan pilihannya kepada “Mushab yang baik”.

Dan Rasulullah bukannya tidak menyadari bahwa beliau telah memikulkan tugas yang amat penting kepada pemuda itu, dan menyerahkan tanggung jawab nasib agama Islam di kota Yastrib, sebuah kota yang kelak akan berganti nama menjadi Madinah. Madinah nantinya akan menjadi kota hijrah bagi umat Islam, pusatnya para dai dan pendakwah, dan tempat berhimpunnya penyebar agama dan pembela al-Islam.

Pilihan Rasulullah tepat, karena Mushab memikul amanat itu dengan bekal karunia Allah kepadanya, berupa pemikiran yang cerdas dan akhlak yang luhur. Kelak, dengan kezuhudan, kejujuran, dan kesungguhan hatinya dia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah sehingga mereka berduyun-duyun masuk Islam.[8] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 45-46.

[2] Ibid., hlm 46.

[3] E-book by ISL Software, Biographies of the Companions (Sahaabah), hlm 154.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Khalid Muhammad Khalid, Op.Cit., hlm 46.

[7] Abu Nu’aim (Vol 1, hlm 107), dalam Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, The Lives of The Sahabah (Vol.1), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mufti Afzal Hossen Elias (Zamzam Publisher: Karachi, 2004) hlm 136.

[8] Khalid Muhammad Khalid, Loc.Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*