Mozaik Peradaban Islam

Naser-e Khosraw (16): Pulang

in Tokoh

Last updated on November 12th, 2019 07:12 am

Pelayan itu membicarakan Khosraw dalam bahasa Arab, yang kini berpenampilan terhormat, menyangka dia tidak akan mengerti. Khosraw berkata, “Engkau benar sekali. Kami adalah orang-orang yang memiliki karung-karung tua yang diikat ke punggung kami.”

Lukisan Naser-e Khosraw di masa tuanya ketika sedang menceritakan kisah perjalanannya. Sumber: AkimArt

Sekarang, karena kami berutang kepada pengemudi unta sebanyak tiga puluh dinar, kami tidak memiliki jalan lain kecuali meminta pertolongan wazirnya Raja Ahwaz, Abu al-Fath Ali bin Ahmad, seorang pria yang terhormat, yang menguasai puisi dan syair-syair, dan sangat dermawan, yang datang ke Basra dengan para putranya beserta rombongan, dan menetap, namun, pada saat ini sedang tidak memiliki jabatan administratif.

Dengan demikian, aku menghubungi seorang Persia, yang juga seorang terpelajar, yang mana dengannya aku menjadi memiliki kenalan dan memiliki akses menuju ke Wazir, tetapi dengan jalan yang lurus, dan (dia) benar-benar membantuku tanpa imbalan.

Dia menceritakan keadaanku kepada sang Wazir, yang mana, segera setelah dia mendengar, mengirim seseorang dengan kuda untukku agar aku datang kepadanya sebagaimana yang aku harapkan. Terlalu malu dengan kemelaratan dan ketelanjanganku (pakaian yang compang-camping-pen), aku merasa tidak pantas untuk muncul di hadapannya, jadi aku menulis pesan penyesalan, mengatakan bahwa aku akan datang kepadanya nanti.

Aku memiliki dua alasan untuk melakukan ini: yang pertama adalah karena kemiskinanku, dan yang lainnya, seperti yang aku katakan kepada diriku sendiri, bahwa dia sekarang membayangkan bahwa aku memiliki beberapa pengetahuan untuk dipelajari, namun ketika dia melihat catatanku, dia akan mengetahui seberapa bernilainya diriku, dengan demikian ketika aku pergi menemuinya, aku tidak perlu merasa malu.

Dengan segera dia mengirimiku tiga puluh dinar untuk membeli satu setelan pakaian. Dengan jumlah itu aku membeli dua setelan pakaian dan pada hari ketiga muncul di majelis sang Wazir. Aku mendapatkan bahwa dia adalah seseorang yang terhormat, santun, dan seorang terpelajar dengan sosok yang menyenangkan, rendah hati, agamis, dan berbicara dengan sangat baik.

Dia memiliki empat putra, yang tertua adalah seorang pemuda yang fasih berbicara, santun, dan rasional, dia bernama Rais Abu Abdullah Ahmad bin Ali bin Ahmad. Tidak hanya seorang penyair dan administrator, dia bijak dan saleh, melampaui usianya yang masih begitu muda.

Kami menjadi tamu mereka dan tinggal di sana dari tanggal 1 Syaban hingga pertengahan Ramadan. Tiga puluh dinar utang kami terhadap orang Arab itu untuk (menyewa) unta untuk kami dibayarkan oleh sang Wazir, dan aku terbebaskan dari beban itu. (Semoga Allah membebaskan semua hamba-Nya dari siksaan utang!)

Ketika aku hendak pergi, dia memberangkatkanku melalui jalur laut dengan (membawa) hadiah-hadiah dan begitu banyak barang-barang yang bagus sehingga ketika mencapai Fars aku dalam keadaan yang lapang dan nyaman, terima kasih atas kemurahan hati pria yang mulia itu. (Semoga Allah menggembirakan orang-orang yang begitu mulia!)….

Setelah mengalami kondisi yang mengenaskan kami menjadi lebih baik dan masing-masing dari kami kini memiliki pakaian yang layak, suatu hari kami pernah kembali ke pemandian tempat di mana kami sebelumnya tidak diizinkan untuk masuk. Segera setelah kami melewati pintu, petugas dan semua orang yang di sana berdiri dengan hormat.

Kami masuk ke dalam, dan para penggosok (punggung) dan pelayan datang untuk melayani kami. Ketika kami keluar dari pemandian, semua yang ada di ruang ganti bangkit dan tetap berdiri sampai kami mengenakan pakaian kami dan pergi.

Pada waktu itu, pelayan itu berkata kepada temannya, “Ini adalah orang-orang yang sangat muda yang pernah kita tolak masuk.”

Mereka mengira bahwa kami tidak tahu bahasa mereka, tetapi aku berkata dalam bahasa Arab, “Engkau benar sekali. Kami adalah orang-orang yang memiliki karung-karung tua yang diikat ke punggung kami.” Orang itu merasa malu dan sangat menyesal.

Dua peristiwa ini (diusir dari pemandian dan lalu diterima sebagai tamu kehormatan Wazir-pen) terjadi dalam waktu dua puluh hari, dan aku sengaja menuliskan kisah ini agar orang-orang sebaiknya tidak meratapi kesulitan yang ditimbulkan oleh takdir dan tidak putus asa akan belas kasih Sang Pencipta, karena dia memang Maha Pengasih. (PH)

Seri Naser-e Khosraw selesai.

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*