Mozaik Peradaban Islam

Nurcholish Madjid (5): Guru Bangsa (2)

in Tokoh

Last updated on July 17th, 2019 08:14 am

“Islam Yes, Partai Islam No” adalah jargon yang dilahirkan oleh Cak Nur. Dalam lain waktu, pada detik-detik menjelang mundurnya Presiden Suharto, Cak Nur diusulkan memimpin negara, namun dia menolak.

Gus Dur dan Cak Nur. Foto: ICRP

Selain K.H. Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, Nurcholish Madjid pernah disebut-sebut sebagai guru bangsa. Jika Gus Dur pernah menjadi Presiden RI, Cak Nur tidak pernah sama sekali. Kendati begitu, fakta sejarah menunjukkan, banyak sekali kesempatan baginya untuk menjadi presiden, akan tetapi seolah-olah dia biarkan begitu saja.

Menurut pengamat politik Fachry Ali, satu hari (20 Mei 1998) menjelang pengumuman pengunduran diri Suharto dari jabatan Presiden RI pada 21 Mei 1998, ada sekelompok ‘tokoh’ – seperti ‘tokoh politik’ dan ‘tokoh intelektual’ serta ‘tokoh pengusaha’ – yang berkumpul di Wisma Kodel, Kuningan. Mereka – termasuk dirinya – mendiskusikan satu episode penting dari perkembangan politik nasional dan sadar bahwa segala sesuatu telah berubah tanpa preseden (pertanda sebelumnya).[1]

Pertanyaan pokok dalam diskusi tersebut adalah ke mana arah bangsa ini hendak dibawa, karena Suharto telah menyatakan tidak bersedia dicalonkan lagi? Sadar bahwa yang kini dibutuhkan negara ini pemimpin ‘bersih’ secara moral-intelektual, maka Fachry Ali pun mengajak mengajukan Cak Nur sebagai Presiden RI. Dalam forum itu, tiada satu pun yang menolak usulan ini, bahkan salah seorang diantaranya berkata, “Kita memang sedang menunggu Cak Nur datang kemari.”[2]

Dan, benar saja, Cak Nur datang. Namun, manakala mendengar usulan tadi, alih-alih memberi jawaban positif, beliau justru menjelaskan kondisi di Istana Negara. Sewaktu Fachry Ali berteriak sedikit emosi bahwa forum itu menunggu komando Cak Nur, beliau malah tersenyum dan berkata, “Semua kita ini pemimpin. Jadi kita pimpin bersama-sama.” Waktu itu, otoritas publik memang buyar ke berbagai kelompok kekuatan. Masing-masing otonom dan tiada satu pun yang bisa memaksakan otoritasnya.[3]

Ringkas cerita, akhirnya Cak Nur memang tidak mengambil kesempatan menjadi Presiden RI. Apabila ditelusuri, tampaknya hal itu tidak terlepas dari kapasitas dirinya. Kekuatan utama beliau bukan pada sumber-sumber kekuasaan ‘konvensional’ (politik praktis), tapi lebih pada otoritas intelektual. Berbeda dengan Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Natsir yang menggabungkan intelektualisme dengan pranata politik (praktis dan struktural) sebagai basis kepemimpinan, Cak Nur tidak,[4] kendati dia pernah menjadi Anggota MPR RI periode 1987-1992 dan 1992-1997.[5]

Apabila melihat jejak langkahnya, yang dilakukan Cak Nur ialah mempertanyakan dan membongkar struktur pemikiran bangsa yang telah berurat dan berakar di masyarakat. Cak Nur ‘memanfaatkan’ potensi intelektualisme untuk memahami dan mendeskripsikan keadaan bangsanya, sehingga lebih mirip latihan intelektual (intellectual exercise) daripada aksi intelektual (intellectual action). Lantas beliau melihat kejanggalan-kejanggalan pada alam pemikiran kaum santri (Islamis).[6]

Dari tahap itu, beliau lalu melakukan aksi intelektual dengan mengeluarkan semboyan “Islam Yes, Partai Islam No” dan menggagas gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Kemudian, dia melakukan transformasi aksi intelektual, dari lingkungan Islam ke lingkungan nasional (bangsa). Selain menggeser perhatian dari keislaman ke keindonesiaan, beliau juga tidak lagi berbicara pada tataran intelektual, melainkan pada tataraan moral[7] – suatu hal yang berderajat lebih tinggi.

Ketika Cak Nur berkata tadi bahwa semua kita ini pemimpin, jadi kita pimpin – Indonesia – bersama-sama, hal itu dipertegas dengan ucapannya di depan publik, “Jangan percayakan nasib bangsa ini kepada niat baik satu dua orang pemimpin. Melainkan kepada sistem yang baik.”[8] Dengan kata lain, beliau takkan mengambil langkah mengendalikan keadaan bangsanya seorang diri seperti Sukarno yang jadi tokoh sentral Orde Lama dan Suharto yang jadi tokoh sentral Orde Baru.

Cak Nur ingin menegaskan keutamaan sistem yang demokratis alias sistem yang menjunjung tinggi daulat rakyat. Komitmen ini, yakni komitmen intelektual-moral, harus berhembus dalam satu tarikan nafas yang sama. Dan – menurut Fachry Ali – komitmen semacam inilah yang membuat Cak Nur lebih cenderung bertindak sebagai Guru Bangsa dan menolak tugas-tugas kepemimpinan politik,[9] termasuk tugas kepemimpinan politik pada zaman Reformasi.

Secara individual – bukan institusional – beberapa politisi dari beberapa partai politik pun, baik yang memiliki platform (program kerja) inklusif maupun eksklusif telah mendekati Cak Nur pada beberapa tahun setelah rezim Reformasi bergulir, untuk dicalonkan menjadi Presiden RI. Namun, semua itu masih lunak (cair) alias belum membeku menjadi kesepakatan pasti.[10] Dan akhirnya, Cak Nur memang tidak pernah tampil menjadi kontestan pemilihan apalagi terpilih menjadi Presiden RI.

Pada 2003, Cak Nur menerbitkan “Indonesia Kita”. Isinya merangkum pandangan keindonesiaannya yang kosmopolit dan beradab. Salah satunya mengenai platform Membangun Kembali Indonesia yang menunjukkan peta jalan mewujudkan gagasan Negara Paripurna yang berakar pada filsafat Al-Farabi – filsuf Muslim yang dipengaruhi pemikiran Raja-Filsuf sebagai pemimpin negara dari filsuf Plato. Lalu peta jalan ini dirancang untuk memajukan Cak Nur sebagai kandidat RI 1.[11]

Pada 2004, dengan mengajukan peta jalan tersebut, Cak Nur pernah akan mengikuti Konvensi Partai Golkar I untuk menjadi calon Presiden RI dari partai beringin itu. Namun – kemudian – urung terjadi, karena dia mundur di tengah jalan seraya mengaku ‘kekurangan gizi’ (kekurangan biaya kampanye).[12] Sejak saat itu hingga wafat pada 2005, Cak Nur tidak pernah bisa mewujudkan platform Membangun Kembali Indonesia itu melalui tangannya sendiri.

Namun, satu hal. Setelah Cak Nur dipastikan tidak maju sebagai calon Presiden RI, rupanya menjelang Pemilu 2004 itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sowan (berkunjung) kepadanya. Dan Presiden RI hasil Pemilu 2004 dan 2009 ini meminjam konsep platform Membangun Kembali Indonesia untuk dijajakan pada tahapan kandidasi Presiden RI.[13] Dengan demikian secara figur, boleh jadi Cak Nur tidak tampil ke permukaan, namun konsepsinya digunakan Presiden SBY. (MDK)

Bersambung ke:

Sebelumnya:                                                  

Catatan Kaki:


[1] Lihat Fachry Ali. “Nurcholish Madjid Sebagai “Guru Bangsa””dalam http://nurcholishmadjid.org/post/1-nurcholish-madjid-sebagai-guru-bangsa. Diakses 1 Juli 2019.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Lihat Dedy Djamaluddin Malik & Idi Subandy Ibrahim. 1998. Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Zaman Wacana Mulia.

[6] Op.Cit., Fachry Ali.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Lihat Kuntowijoyo dkk. 2003. Begawan Jadi Capres: Cak Nur Menuju Istana. Jakarta: KPP Paramadina. Hlm 182.

[11] Lihat Ahmad Gaus A.F. 2010. Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner. Jakarta: Penerbit Buku Kompas; Lihat pula Zacky Khairul Umam. “Nurcholish Madjid, Anak Gontor yang Besar sebagai Pembaru Islam” dalam https://tirto.id/nurcholish-madjid-anak-gontor-yang-besar-sebagai-pembaru-islam-cKvy. Diakses 1 Juli 2019.

[12] Ibid., Zacky Khairul Umam.

[13] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*