Mozaik Peradaban Islam

Nurcholish Madjid (6): Guru Bangsa (3)

in Tokoh

Pola kepemimpinan Orde Lama dan Orde Baru yang cenderung mengkultuskan individu Presiden, yaitu Sukarno dan Suharto, ditolak oleh Cak Nur.

Foto: Bincang Syariah

Adalah menarik bahwa meski bukan berasal dari lingkaran kekuatan politik praktis, tetapi Nurcholish Madjid – alias Cak Nur – masuk ke dalam bursa calon Presiden RI pada awal Reformasi. Sebelum namanya santer di berbagai media massa, sebuah pertemuan pada 20 Mei 1998 di Wisma Kodel, Kuningan, Jakarta, menyebut namanya untuk dimajukan menjadi Presiden RI.

Dikisahkan Fachry Ali, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang hadir pada pertemuan itu. Satu hari (20 Mei 1998) menjelang pengumuman pengunduran diri Suharto dari jabatan Presiden RI 21 Mei 1998, sejumlah tokoh nasional berkumpul. Mereka mendiskusikan satu episode penting dari perkembangan politik nasional yakni detik-detik lengsernya Presiden Suharto.[1]

Pertanyaan pokok diskusi: ke mana arah bangsa ini hendak dibawa? Karena menyadari bahwa yang kini dibutuhkan negara ini pemimpin ‘bersih’ secara moral-intelektual, maka Fachry Ali mengajak mengajukan Cak Nur. Dalam forum itu tiada satu orang pun yang menolak, bahkan salah seorang diantaranya berkata, “Kita memang sedang menunggu Cak Nur datang kemari.”[2]

Setelah Cak Nur datang, Fachry Ali berteriak sedikit emosi bahwa forum itu menunggu komando Cak Nur. Namun, Cak Nur hanya tersenyum dan berkata, “Semua kita ini pemimpin. Jadi kita pimpin bersama-sama.” Waktu itu, otoritas publik memang buyar ke berbagai kelompok kekuatan. Masing-masing otonom dan tiada satu elemen pun yang bisa memaksakan otoritasnya.[3]

Dengan demikian, situasi di sekitar peristiwa Reformasi berbeda dengan situasi di sekitar peristiwa terbentuknya Orde Lama dan Orde Baru. Menjelang lahirnya Orde Lama, otoritas publik tak terlalu buyar. Jadi Sukarno bisa memaksakan otoritasnya. Begitu pula menjelang kelahiran Orde Lama, otoritas publik tak terlalu buyar, sehingga Suharto bisa memaksakan otoritasnya.

Jadi, dalam situasi zaman dimana masing-masing pihak berlaku otonom (mandiri) dan tiada satu elemen pun yang bisa memaksakan otoritasnya (kewenangannya), langkah mengajukan satu figur sebagai pemimpin memang terlalu beresiko. Kehadirannya bukan sekadar akan sulit menangani keadaan, tetapi juga – bukan mustahil – sang figur itu sendiri yang malah digulung keadaan.

Lagi pula, jika benar-benar mau menegakan demokrasi, maka figuritas yang cenderung kepada kultus individu memang harus dihilangkan. Sebab, demokrasi bukan saja menjunjung tinggi egalitarianisme (kesetaraan) warga negara, namun juga memegang teguh prinsip kedaulatan rakyat. Alih-alih pasif, demokrasi justru mensyaratkan partisipasi warga negara.

Oleh sebab itu, figuritas yang cenderung pada kultus individu memang harus dieliminir. Artinya pola-pola kepemimpinan Orde Lama yang cenderung mengkultuskan individu Presiden Sukarno dan Orde Baru yang cenderung mengkultuskan individu Presiden Suharto harus diubah. Sebab, kepemimpinan dua tokoh yang cenderung dikultuskan itu bukan hanya telah berakhir dengan krisis, melainkan juga membuat rakyat kurang berdaya dan membuat inisiasi kewargaan kurang merata.

Dengan kata lain, dalam konteks itu seolah-olah Cak Nur menegaskan bahwa konsolidasi demokrasi harus segera dilaksanakan di negeri ini. Berbeda dengan rezim Orde Baru yang awalnya mengoreksi otoritarianisme rezim Orde Lama namun malah kembali otoriter seperti Orde Lama, rezim Reformasi justru harus melakukan konsolidasi demokrasi dengan baik dalam masa transisi demokrasi.

Runtuhnya negara otoriter, sehingga lahir masa transisi tidak otomatis membuat negara ini menjadi Negara Demokrasi – dalam pengertian selalu berada dalam kerangka demokrasi. Sebab, ada peluang kegagalan melakukan konsolidasi demokrasi, sehingga alih-alih menjadi negara demokratis, negara itu malah terjerembab dan memutar balik ke sistem otoriter lagi. Oleh sebab itu, Indonesia ditantang untuk mengadakan konsolidasi demokrasi dengan baik.[4]

Dengan demikian, konsolidasi demokrasi di masa transisi dari Orde Baru ke era Reformasi bisa gagal lagi sebagaimana masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, jika kekuatan konsolidasi demokrasi, lemah. Dan jelas akan gagal manakala potensi kekuatan otoritarianisme baru benar-benar aktual dan mengalahkan kekuatan konsolidasi demokrasi yang lemah.

Jadi, kendati ada peluang mengambil kepemimpinan nasional, namun Cak Nur tidak melakukannya. Selain karena dia intelektual publik yang tak intens di dunia politik praktis, sepertinya dia pun takkan muncul dan memimpin dengan cara-cara yang tidak demokratis. Sebab, bagi intelektual seperti dia, pertarungannya bukan sekadar berebut kekuasaan, tetapi juga tentang integritas intelektual-moral.

Bagi pejuang demokrasi seperti dirinya, Indonesia bukan hanya tidak sama dengan dirinya, tetapi dia juga tidak menempatkan dirinya sebagai segala-galanya bagi negeri ini. Dia (Cak Nur) hanya bagian dari negeri ini, hanya bagian dari sejarah perjalanan negeri ini.

Jadi, ketika Cak Nur bilang, “Semua kita ini pemimpin. Jadi kita pimpin bersama-sama”, artinya pada alam Reformasi ini, Indonesia harus dibangun bersama-sama. Seluruh elemen harus berpartisipasi. Otoritas publik yang tersebar ke berbagai kelompok kekuatan harus diposisikan secara otonom akan tetapi terkoordinasi dengan baik, sehingga muncullah gairah dan iklim kewargaan.

Dan dalam konteks penegakan demokrasi, Cak Nur menunjukkan jati diri kegurubangsaannya. (MDK)

Bersambung….

Sebelumnya:                                                  

Catatan Kaki:


[1] Lihat Fachry Ali. “Nurcholish Madjid Sebagai “Guru Bangsa””dalam http://nurcholishmadjid.org/post/1-nurcholish-madjid-sebagai-guru-bangsa. Diakses 1 Juli 2019.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Kacung Marijan. 2010. Sistem Politik Indonesia. Jakarta:Kencana Prenada Media Group. Hlm 335.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*