Mozaik Peradaban Islam

Nurcholish Madjid (3): Pembaharu Pemikiran Islam (3)

in Tokoh

Last updated on July 9th, 2019 09:14 am

Meluasnya resonansi gagasan pembaharuan Islam Cak Nur sejak awal Orde Baru didukung oleh jiwa zaman (zeitgeist) yang menuntut pemikiran baru bagi tatanan keindonesiaan dan keislaman di era Orde Baru.

Cak Nur. Foto: Islam Lib

Bukan hanya faktor otoritas intelektual penggagas dan reaksi banyak pihak. Tetapi jiwa zaman (zeitgeist) pun turut membesarkan dan meluaskan gaung gagasan pembaharuan pemikiran Islam dari Nurchoslish Madjid. Jiwa zaman berarti pemikiran dominan pada suatu masa[1] dan Kata G.W.F. Hegel, tiada seorang pun bisa melompati zamannya sendiri.[2] Dalam hal meluasnya resonansi pembaharuan Islam Cak Nur, setidaknya ada dua jiwa zaman: keindonesiaan dan keislaman.

Artinya kalau gaung gagasan pembaharuan meluas, itu karena suasana (jiwa zaman) keindonesiaan dan keislaman mendukungnya. Awal dan kelanjutan era Orde Baru adalah wadah zaman dan momentum yang tepat bagi terjadinya dua hal. Kesatu, munculnya gagasan pembaharuan pemikiran Islam dari Cak Nur. Kedua, gagasan pembaharuan pemikiran Islam tumbuh dan subur setelah digagas. Sebab, tanpa wadah jiwa zaman, gagasan sebaik apa pun – biasanya – akan tertolak dan menghilang ditelan masa.

Dalam konteks keindonesiaan, gagasan pembaharuan pemikiran Islam dari Cak Nur dilesutkan pada momentum yang tepat. Sebab, pada saat itu (awal 1970-an), Indonesia baru saja dikuasai rezim Orde Baru yang menggagas tatanan baru.[3] Lahirnya Orde Baru tidak hanya menandakan kuatnya dukungan rakyat atas pembentukan tatanan baru, melainkan juga momentum yang tepat untuk menawarkan pemikiran baru, termasuk pemikiran Islam yang baru.

Jika ditilik dari segi istilah, kata pembaharuan memiliki kata dasar “baru”. Jadi, gagasan pembaharuan pemikiran Islam yang digagas Cak Nur sangat cocok dengan gerakan pembaharuan ketatanegaraan yang digagas rezim Orde Baru. Meski beroleh kritik dan respon ketidaksukaan,[4] namun dalam kadar tertentu, gagasan pembaharuan pemikiran Islam ini relatif seirama dan – oleh karena itu – didukung rezim Orde Baru, setidaknya pada masa-masa awal kemunculannya.

Dukungan Orde Baru bukan hanya karena kecocokan gagasan pada masa-masa awal, tetapi juga – bukan mustahil – mengingat pertimbangan politik. Secara politik, Cak Nur sebagai penggagas pembaharuan pemikiran Islam ini merupakan pemimpin atau figur acuan intelektual-moral di lingkungan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).[5] HMI sendiri bukan hanya kelompok penekan (pressure group) yang signifikan, tetapi juga memiliki stok sumber daya manusia yang dibutuhkan Orde Baru dan memiliki jejaring luas.[6]

Lain dari itu, jika menelusuri lagi sejarahnya, maka keberhasilan Orde Baru dalam menggulingkan Orde Lama terutama memberangus Partai Komunis Indonesia (PKI) lantas mendirikan rezim baru turut dibantu HMI. Oleh sebab itu selain atas dasar pertimbangan kesesuaian gagasan dan kepentingan politik praktis, dukungan rezim Orde Baru terhadap gerakan pembaharuan pemikiran Islam Cak Nur pun boleh jadi berdasarkan pertimbangan membayar hutang budi politik terhadap HMI.

Orde Baru bukan nama yang tiba-tiba muncul, melainkan memiliki latar belakang sejarahnya. Menurut Presiden Suharto, alkisah pada 25-31 Agustus 1966, Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD) menghelat Seminar II AD di Bandung, Jawa Barat. Beberapa tokoh TNI AD dan tokoh sipil hadir memberi prasaran. Mereka antara lain Jenderal Nasution, Mayjen Suwarto, Prof. Sarbini, Somawinata, Dr. Emil Salim, dan sebagainya.[7]   

Mereka tidak hanya mengoreksi kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan pada masa Sukarno, tetapi juga menyampaikan sejumlah usulan untuk mengatasi krisis nasional yang terjadi, baik krisis ekonomi maupun krisis kemanusiaan. Satu di antara beberapa usulan tersebut menyatakan keinginan forum seminar untuk membangun tatanan pemerintahan baru dengan semangat pemurnian Pancasila dan UUD 1945.[8]

Selain itu, forum juga menetapkan bahwa Orde Baru menghendaki suatu tata pikir yang lebih realistis dan pragmatis. Beberapa usulan sebagai hasil seminar itu lantas dicatat dan diserahkan TNI AD kepada Kabinet Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), sebagai bentuk sumbang saran.[9]

Menurut pengamat politik militer Salim Said, Seminar II TNI AD ini merupakan langkah penting Jenderal Suharto sesudah menguasai keadaan dan mengonsolidasikan kekuatan. Sebab, tidak ujug-ujug berkuasa, namun Presiden Suharto pun membutuhkan teori untuk melandasi peranan tentara sebagai pengelola negara. Dalam seminar itu, TNI AD menyadari dan menyimpulkan, TNI umumnya dan TNI AD khususnya, menjadi tumpuan harapan masyarakat.[10]

“Di atas landasan harapan rakyat yang dipersepsikan Angkatan Darat pada 1966 itulah tegaknya pemerintahan Orde Baru,” tulis Salim Said. “Lewat Orde Baru pimpinan Jenderal Suharto itulah TNI memelopori pembangunan Indonesia” tambahnya.[11]

Dengan demikian jika Orde Baru berlandaskan pada teori tata pikir baru, maka gagasan tata pikir baru ini seirama dengan gerakan Cak Nur yang menggagas pemikiran Islam yang baru. Meski di tataran praktis berikutnya banyak terjadi ketidaksesuaian dengan wujud kekuasaan yang diartikulasikan Orde Baru, namun pada masa-masa awal, ide pembaharuan pemikiran Islam Cak Nur ini sama-sama mengandung semangat baru dan menjanjikan sebagaimana Orde Baru.

Ringkas kata, gagasan pembaharuan pemikiran Islam dari Cak Nur beresonansi luas karena memiliki semangat dan menawarkan gagasan baru. Kebaruan ini bukan hanya sesuai dengan semangat dan ide baru rezim Orde Baru, melainkan juga sesuai dengan kebutuhan rakyat yang mendambakan pemikiran dan tatanan baru.

Dalam konteks keislaman, gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang digagas Cak Nur pun digulirkan pada momentum yang tepat. Sebab, saat itu (awal 1970-an), umat Islam bukan hanya telah mengalami pengalaman sejarah yang menggembirakan dan – kebanyakan – menyedihkan, melainkan juga ditantang mengisi era yang baru yaitu Orde Baru. Dalam konteks ini, setidaknya ada enam pengalaman sejarah yang menggembirakan atau menyedihkan bagi umat Islam.

Kesatu, ratusan tahun dipecundangi penjajah asing, umat Islam bukan hanya terjajah (mirip budak), tetapi juga banyak tertinggal di berbagai bidang.[12] Kedua, dua dasawarsa lalu, perjuangan umat Islam Indonesia sampai pada proklamasi dan mempertahankan kemerdekaan. Ketiga, dihapusnya sebagian isi Piagam Jakarta dan adanya ketegangan Islam dengan negara.[13] Keempat, friksi Muslim modernis dengan tradisionalis yang ditandai NU meninggalkan Partai Masyumi lalu mendirikan partai sendiri (Partai NU).[14]

Kelima, dibubarkannya Partai Masyumi oleh Orde Lama pada 1960, padahal partai ini wadah aspirasi politik kaum Muslim modernis bahkan sebelumnya – pada awal Indonesia merdeka – dijadikan partai satu-satunya bagi umat Islam Indonesia.[15] Pada awal Orde Baru, partai ini hendak dibentuk lagi, tetapi rezim baru ini menolaknya. Keenam, umat Islam terlibat konflik dengan PKI pada era Orde Lama hingga keruntuhannya, dan hal ini menjadi momentum rekonsiliasi bagi umat Islam.

Lalu dengan pengalaman sejarah itu, umat Islam sebagai mayoritas warga negeri ini tengah ditantang mengisi era Orde Baru. Dengan pengalaman sejarah tadi dan tantangan zaman Orde Baru yang niscaya tak mudah dijawab, umat Islam Indonesia tidak hanya harus mengembalikan rasa percaya dirinya, tetapi juga – untuk itu – perlu memperbaharui pemikiran keislamannya dan melakukan berbagai penyesuaian. Dan dalam konteks ini, Cak Nur menawarkannya. (MDK)

Bersambung ke:

Sebelumnya:                                                  

Catatan Kaki:


[1] Lihat Eero Saarinen. 2006. Shaping the Future. Yale University Press.

[2] Lihat Glenn Alexander Magee. 2011. The Hegel Dictionary. Continuum International Publishing. Hlm 262.

[3] Lihat Michael P.J. Vatikiotis. 1998. Indonesian Politics Under Soeharto: The Rise and Fall of the New Order. London: Routledge.

[4] Lihat Greg Barton. 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia; Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: Paramadina, Pustaka Antara, Yayasan Adikarya IKAPI & The Ford Foundation. Hlm 120-121.

[5] Ibid., hlm 81-84.

[6] Lihat Greg Barton. 2003. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKiS. Hlm xvii, 137, 426.

[7] Lihat “Asal-usul Istilah Orde Baru” dalam https://historia.id/politik/articles/asal-usul-istilah-orde-baru-DAoE7. Diakses 1 Juli 2019.

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Lihat Syaikh Syakib Arslan. 2013. Kenapa Umat Islam Tertinggal. Pustaka Al-Kautsar.

[13] Lihat Bachtiar Effendy. 2009. Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*