Mozaik Peradaban Islam

Nurcholish Madjid (2): Pembaharu Pemikiran Islam (2)

in Tokoh

Last updated on July 7th, 2019 08:30 am

Cak Nur menguasai bahasa Indonesia, bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Perancis, dan bahasa Persia, maka tak heran dia mampu membaca dan menyerap berbagai karya intelektual baik dari Timur maupun Barat.

Ucapan selamat atas terpilihnya Cak Nur sebagai Ketua Umum PBHMI oleh Majalah Pandji Masjarakat, 1969. Foto: koleksi @tinmiswary

Selain kualitas intelektual pribadi Nurcholish Madjid – akrab disapa Cak Nur – yang dianggap otoritatif dalam menyuarakan pembaharuan pemikiran Islam, paling tidak ada enam pihak penting yang turut meluaskan gaung gagasan ini. Kesatu, kaum Muslim modernis konservatif. Kedua, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ketiga, Korps Alumni HMI (KAHMI). Keempat, kaum cendekiawan. Kelima, pemerintah Orde Baru. Keenam, pers.

Secara intelektual, Cak Nur tidak hanya berlatar belakang pendidikan Islam tradisional dan modern, akan tetapi juga akrab dengan khazanah intelektual Islam. Penguasaannya atas bahasa Indonesia, bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Perancis, dan bahasa Persia membuatnya mampu membaca dan menyerap berbagai karya intelektual dari Timur dan Barat.[1] Dengan demikian, tidak aneh jika dia menggagas pembaharuan pemikiran Islam.

Kalau ada pihak yang paling gencar mengkritisi gagasan pembaharuan pemikiran Islam Cak Nur, mereka ialah kaum muslim modernis konservatif. Mereka antara lain H. M. Rasjidi, Muhammad Kamal Hassan, dan lain-lain.[2] Kelompok ini bukan hanya acap mengkritisi gagasan Cak Nur dalam perbincangan, namun juga lewat pemberitaan, opini, bahkan studi akademis. Banyaknya forum dan media massa yang dimiliki atau dipakai kelompok ini membuat isu pembaharuan pemikiran Islam Cak Nur, populer.

Yang dimaksud dengan kaum muslim modernis konservatif yang kritis pada Cak Nur adalah kalangan elit dan pendukung Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Meski mengusung dan mendukung modernisme, namun kalangan ini masih mempertahankan formalisme Islam seperti ide partai Islam dan berbagai hal yang serba Islam lainnya. Kendati digolongkan modernis, tetapi Cak Nur dikategorikan neo-modernis yang cenderung liberal atau substansialis.

Bagaimana dengan HMI? Organisasi mahasiswa ekstra-kampus terbesar dan tertua di Indonesia yang beranggotakan para mahasiswa Islam ini didirikan di Yogyakarta, 5 Februari 1947. Bukan hanya berdiri sesudah 1,5 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, tetapi juga ia berdiri sesudah 1,3 tahun Partai Masyumi dibentuk. Jadi, HMI bukan mengalami dan turut serta melawan Agresi Militer Belanda II saja, tetapi juga terus-menerus terlibat dalam perjalanan sejarah Indonesia.[3]

Selain diprakarsai – salah satunya oleh – Lafran Pane, seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI, kelak menjadi UII) yang berlatar belakang pendidikan Muhammadiyah, garis perjuangan HMI pun modernis meski beranggotakan para mahasiswa dari latar belakang Islam modernis dan Islam tradisionalis. Oleh sebab itu, alih-alih tradisional, nuansa HMI justru cenderung modern.[4] Ringkas kata, gerakan HMI kental dengan garis perjuangan Islam modernis alih-alih garis perjuangan Islam tradisionalis.

Mudah dipahami akhirnya, kenapa Greg Barton, dosen senior Deakin University (Australia) dan peneliti gerakan pembaharuan pemikiran Islam Indonesia, mengidentifikasi HMI sebagai organisasi mahasiswa modernis. Dia mengutarakan, HMI adalah kelompok mahasiswa modernis paling penting di Indonesia dengan jaringan alumninya dalam Korps Alumni HMI atau KAHMI yang sangat berpengaruh.[5]

Apabila menoleh sejarah lagi, pada Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) kedua yang bernama Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta pada 1949, terkuak sebuah keputusan penting mengenai HMI. Dalam kongres yang dihadiri 185 organisasi alim ulama dan cendekiawan dari seluruh Indonesia itu, disepakati bahwa Pelajar Islam Indonesia (PII) satu-satunya organisasi bagi seluruh pelajar Muslim di Indonesia, dan HMI satu-satunya organisasi bagi seluruh mahasiswa Muslim di Indonesia.[6]

Kendati Partai Masyumi satu-satunya partai politik bagi seluruh umat Islam Indonesia yang kemudian kesepakatannya berubah seiring berdirinya Partai NU, tetapi PII dan HMI tak wajib membeo kepadanya. Sebab, PII dan HMI bersifat independen (tidak tergantung) pada kepentingan politik apa pun.

Karena berdiri sejak 1947, maka para alumni HMI, baik yang bergabung maupun tidak dengan KAHMI pada saat Cak Nur menggagas pembaharuan pemikiran Islam, cukup banyak. Mereka ada yang menjadi pengusaha, politisi, birokrat, budayawan, dan akademisi. KAHMI sendiri baru terbentuk puluhan tahun sesudah HMI, tepatnya 17 September 1966, tatkala Orde Lama runtuh dan Orde Baru mulai dibangun. Dalam rezim Orde Baru, para alumni HMI mengisi kantung-kantung kekuasaan.[7]

Sebagai pemilik jaringan alumni yang sangat berpengaruh – sebagaimana identifikasi Greg Barton, KAHMI tak hanya memiliki ikatan emosional, tapi juga acap memfasilitasi HMI, termasuk pada kadernya. Dalam konteks ini mereka pun menunjukkan pengaruhnya untuk memfasilitasi dan mendukung gagasan pembaharuan pemikiran Islam yang digulirkan Cak Nur sejak akhir 1960-an dan awal 1970-an.[8] Dengan demikian, gaung gagasan tersebut, meluas.

Kaum cendekiawan juga sulit diabaikan dalam meluaskan gaung gagasan ini. Mereka bukan saja tokoh intelektual dari berbagai kelompok masyarakat, tetapi juga memiliki dukungan luas. Mereka tidak hanya acap berbicara di berbagai forum, tapi juga menulis di media massa. Jika tak membincang atau menulis gagasan sendiri, mereka pun menanggapi pemikiran cendekiawan lainnya, termasuk menanggapi Cak Nur sebagai cendekiawan terkemuka.

Dari lingkungan Muhammadiyah, Ahmad Syafi’I Ma’arif menulis “Puncak Gunung Es”, M. Amien Rais menulis “Umat Islam Dengan Lokomotif Lain”, M. Din Syamsuddin menulis “Mengapa Pembaruan Islam?”, dan Moeslim Abdurrahman menulis “Modernisme Islam dan Semangat Swalayanisme”. Dari IPB dan ICMI, A.M. Saefuddin menulis “Pembaruan Islam Yang Bagaimana?”. Dari IAIN – kini UIN – Jakarta, Fachry Ali menulis “Nurcholish Madjid Sebagai ‘Guru Bangsa’”.[9]

Dari lingkungn Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menulis “Tiga Pendekar Dari Chicago”. Dari kalangan budayawan, Emha Ainun Najib menulis “Tarekat Nurcholishy”. Dari Syiah, Jalaluddin Rakhmat menulis “Nurcholish Menurut Tuparev”. Akhirnya selain dari kaum Muslim, Victor Tanja yang adalah cendekiawan sekaligus pendeta Protestan pun ikut serta dengan menulis “Refleksi Kritis Pembaruan Islam”.[10]

Pemerintah Orde Baru bukan hanya tidak memberangus, bahkan – lebih jauh dari itu – memfasilitasi dan mendukung gagasan pembaharuan pemikiran Islam. Terutama dukungan mereka relatif jelas pada 1970-an, namun lamat-lamat pada masa-masa berikutnya.[11] Sebab di tataran praktis, sebagian kebijakan Orde Baru sering kurang sejalan dengan gagasan pembaharuan pemikiran Islam Cak Nur, meski – awalnya – sama-sama menawarkan hal-hal dan tatanan baru.

Akhirnya, corong bagi elaborasi gagasan pembaharuan pemikiran Islam adalah pers. Umpamanya pada Oktober 1986, Harian Umum Pelita pernah menurunkan hasil wawancara panjangnya dengan Cak Nur.[12] Jika ditelusuri, pers di negeri ini seperti majalah Media Dakwah milik DDII maupun Kompas, Tempo, Pelita, dan lain-lain turut menggemakan gagasan pembaharuan pemikiran Islam. Selain sering memuat pikiran-pikiran Cak Nur, pers pun menjadikan Cak Nur obyek berita (news maker). (MDK)

Bersambung ke:

Sebelumnya:                                                  

Catatan Kaki:


[1] Lihat Greg Barton. 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia; Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: Paramadina, Pustaka Antara, Yayasan Adikarya IKAPI & The Ford Foundation. Hlm 74-85.

[2] Lihat Dedy Djamaluddin Malik. “Figure: Mendiang Nurcholish Madjid” dalam https://www.google.com/amp/s/ddm9.wordpress.com/2013/07/04/figure-nurcholish-madjid/amp/. Diakses 2 Juli 2019.

[3] Lihat Agussalim Sitompul. 2002. Menyatu dengan Umat Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI 1947-1997. Jakarta: Logos; Lihat pula Achmad Tirtosudiro, Ahmad Dahlan Ranuwihardjo, dan Agussalim Sitompul. 2015. Lafran Pane: Penggagas Besar. Jakarta: KAHMI Center.

[4] Ibid., Achmad Tirtosudiro…

[5] Lihat Greg Barton. 2003. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKiS. Hlm xvii, 137, 426.

[6] Lihat Hariqo Wibawa Satria. 2011. Lafran Pane: Jejak Hayat dan Pemikirannya. Jakarta: Lingkar. Hlm 256, 268; Lihat pula Wachidah Handasah. “Jalan Panjang Konsolidasi Umat Islam Indonesia” dalam https://m.republika.co.id/berita/koran/khazanah-koran/15/02/02/nj4wws8-jalan-panjang-konsolidasi-umat-islam-indonesia. Diakses 2 Juli 2019.

[7] Lihat Agussalim Sitompul. 2003. KAHMI Memadukan Langkah Menuju Persatuan Membangun Indonesia Baru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

[8] Op.Cit., Agussalim Sitompul. Menyatu dengan Umat…

[9] Lihat bagian Artikel pada Portal Arsip Karya Nurcholish Madjid. Diakses 2 Juli 2019.

[10] Ibid.

[11] Op.Cit., Agussalim Sitompul. Menyatu dengan Umat…

[12] Lihat bagian Timeline Cak Nur dalam Portal Arsip Karya Nurcholish Madjid. Diakses 2 Juli 2019.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*