Mozaik Peradaban Islam

Nurcholish Madjid (4): Guru Bangsa (1)

in Tokoh

Last updated on July 13th, 2019 08:54 am

Pada Mei 1998, Cak Nur menyarankan Presiden Suharto untuk melepas jabatannya. Suharto menjawab, “Jika orang yang moderat seperti Cak Nur tak lagi mempercayai saya, maka sudah saatnya bagi saya untuk mundur.”

Presiden Suharto. Foto: Rmol

Nurcholish Madjid – akrab dipanggil Cak Nur – adalah Guru Bangsa. Dia bukan hanya pemikir yang otentik dan pembicara yang sopan dan artikulatif, tetapi juga penulis yang produktif. Selain menulis lebih dari 20 buku bermutu, dia pun turut ambil bagian dalam aksi-aksi menegakan demokrasi.

Guru Bangsa bukan hanya acuan intelektual-moral, tetapi juga fasilitator pembelajaran. Dia tempat bertanya, kawan diskusi, dan tempat beroleh penerangan. Bedanya dengan guru umumnya, Guru Bangsa memiliki murid yang banyak, sebangsa, bukan beberapa kelas apalagi sekelas. Lain dari itu, mata pelajaran yang diajarkannya sangat kaya, yaitu ‘mata pelajaran kebangsaan’.

Guru Bangsa jelas wajib berkualitas moral baik. Dia juga mesti berwawasan luas, terutama dalam soal-soal kebangsaan. Dia bukan hanya mengerti apa yang tersimpan dalam benak bangsanya, tetapi juga memahami tata cara mewujudkan kebutuhan dan keinginan bangsanya. Selain mengidentifikasi kondisi bangsanya, dia juga mampu menunjukkan arah yang tepat bagi perjalanan bangsanya.

Ringkas kata, dia inspirasi bagi bangsanya. Meski predikat ini disematkan saat beliau memasuki masa tua hingga selepas wafat, tetapi sejak jauh-jauh hari yaitu sejak muda, beliau sudah menunjukkan benih-benih kegurubangsaan.[1]

Sebagai intelektual, mulanya 1966-1978, Cak Nur intens mengakrabi keislaman-keindonesiaan. Namun, pada 1984-2005, dia menggeser perhatiannya ke arah wacana Neo-Modernisme Islam alias Islam Liberal.[2] Dengan menggemakan nilai-nilai Islam substantif (inti) dan universal (berlaku dimana pun), dia menyoal dan memberi jawab atas soal-soal keislaman dan kebangsaan serta kemodernan, baik melalui forum-forum kajian dan seminar maupun melalui sederetan tulisan dan serangkaian aksi (praksis).

Selain di luar negeri, terutama di dalam negeri, Cak Nur gencar mengkaji dan berdiskusi soal kebangsaan. Beliau menjadi narasumber forum ilmiah di berbagai kampus dan forum lainnya. Terutama sepulang belajar dari Amerika Serikat, Cak Nur mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina pada Oktober 1986. Pada 1998 yayasan ini mendirikan Universitas Paramadina meski awalnya baru membuka Klub Kajian Agama (KKA).[3]

Cak Nur produktif menulis. Berbagai tulisan otentiknya bertebaran di berbagai jurnal ilmiah dan media massa. Dia bukan hanya mempublikasikan tulisannya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Para penikmat karya-karyanya jelas masyarakat, namun – kebanyakan – dari kalangan menengah dan atas. Tampaknya kalangan bawah tidak hanya kurang berminat, tetapi juga – akan – kesulitan memahami gagasan dan konsep-konsepnya.

Sampai akhir hayatnya, tercatat lebih dari 20 buku sudah dipublikasikan Cak Nur. Antara lain “Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan” (1987), “Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan” (1992), “Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan” (1993), “Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah” (1994), “Pintu-pintu Menuju Tuhan” (1994), dan “Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia” (1995).[4]

Selanjutnya, “Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah” (1995), “Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia” (1997), “Kaki Langit Peradaban Islam” (1997), “Masyarakat Religius” (1997), “Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan” (1997), “30 Sajian Ruhani: Renungan di Bulan Ramadlan” (1998), dan “Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer” (1998).[5]

Selain itu, “Cendekiawan dan Relijiusitas Masyarakat” (1999), “Pesan-pesan Takwa: Kumpulan Khutbah Jum’at” (2000), “Perjalanan Religius ‘Umrah dan Haji” (2000), “Fatsoen Nurcholish Madjid” (2002), “Atas Nama Pengalaman: Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi, Kumpulan Dialog Jumat di Paramadina” (2002), “The True Face of Islam: Essays on Islam and Modernity in Indonesia” (2003), dan “Indonesia Kita” (2004).[6]

Dalam sejumlah karya tulisnya, idiom-idiom Cak Nur tidak lepas dari bahasa kekuasaan yang digunakan dalam teknokrasi Suharto di era Orde Baru untuk proyek pembangunan menuju – mengutip istilah W.W. Rostow – Era Lepas Landas. Oleh sebab itu, dalam mengusung kemodernan Islam, Cak Nur bukan hanya tidak menjadi masalah bagi rezim Orde Baru,[7] tetapi juga – dalam kadar tertentu – sejalan. Seolah-olah Cak Nur menyediakan basis teori bagi rezim Pembangunanisme tersebut.

Menanggapi idiom-idiom itu, tidak sedikit kalangan mengkritik Cak Nur sebagai ‘intelektual tukang’ bagi Orde Baru. Namun, dalam menegakan demokrasi dan memahami Pancasila sebagai ideologi terbuka, dia banyak diapresiasi dan dihormati. Sebab, sikapnya – relatif – konsisten. Dia, misalnya, memperlihatkan hal itu lewat keberpihakannya kepada partai politik – bukan kepada Golkar – pada Pemilu 1971. Dia juga ikut berkampanye untuk PPP pada Pemilu 1977.[8]

Pada 1984 ketika PPP digembosi, Cak Nur aktif berkampanye bagi – dulu – partai berlambang bintang itu untuk menumbuhkan politik keberimbangan. Pada 1994, dia menyerukan perlunya partai oposisi. Dia juga berkali-kali menggagas oposisi loyal (pihak yang kritis kepada penguasa namun loyal dalam mewujudkan tujuan negara). Secara praktis, gagasan ini dimainkan oleh manuver-manuver politik K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada zaman Orde Baru.[9]

Pada 1992 dalam sebuah pidato kebudayaan, dia mengkritik fundamentalisme agama dan menegaskan Islam yang toleran. Tentu yang dikritiknya bukan ketaatan umat Islam dalam menjalankan agama Islam, namun sikap memaksakan kehendak yang dilakukan mereka. Empat tahun kemudian yaitu pada 1996, dia juga melibatkan diri dalam Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP). Pada 1998, Cak Nur mendirikan Universitas Paramadina dan turut menemui Presiden Suharto.[10]

Selain pendiri, Cak Nur pun jadi Rektor Universitas Paramadina yang pertama (1998-2005). Universitas ini dia gariskan sebagai lembaga pendidikan tinggi dengan misi keislamannya dan lembaga penelitian bagi ilmu sosial-humaniora dan ilmu alam.[11] Dengan demikian sebagai lembaga, universitas ini warisan (legacy) Cak Nur yang diharapkan artikulatif dalam mendidik dan meneliti bahkan mengabdi kepada masyarakat sesuai visi keislaman, keindonesiaan, dan kemodernannya.

Mengenai keikutsertaannya menemui Presiden Suharto dalam detik-detik akhir Orde Baru yakni pada 20 Mei 1998, Cak Nur tidak hanya bertemu, tetapi juga menyarankan Presiden RI lebih dari tiga dasawarsa Orde Baru itu untuk segera menanggalkan jabatannya. Namun, Presiden Suharto bergeming, bahkan dia meminta Cak Nur untuk menjadi Ketua Komite Reformasi yang dirancang akan berdampingan dengan Kabinet Reformasi yang dipimpin Presiden Suharto.

Permintaan itu ditampik Cak Nur. Lantas Presiden Suharto menawarnya agar Cak Nur menjadi anggota saja. Tapi Cak Nur tetap tak mau. Maka, Presiden Suharto pun berkata, “Jika orang yang moderat seperti Cak Nur tak lagi mempercayai saya, maka sudah saatnya bagi saya untuk mundur.”[12] Dan – akhirnya – pada 21 Mei 1998, Presiden Suharto menyatakan mundur.[13] Kemudian sebagai Wakil Presiden RI, B.J. Habibie diambil sumpahnya menjadi Presiden RI. (MDK)

Bersambung ke:

Sebelumnya:                                                  

Catatan Kaki:


[1] Lihat Fachry Ali. “Nurcholish Madjid Sebagai “Guru Bangsa””dalam http://nurcholishmadjid.org/post/1-nurcholish-madjid-sebagai-guru-bangsa. Diakses 1 Juli 2019.

[2] Lihat Budhy Munawar-Rachman. 2017. Reorientasi Pembaharuan Islam: Sekulerisme, Liberalisme, dan Pluralisme. Jakarta: Madani.

[3] Lihat Greg Barton. 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia; Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: Paramadina, Pustaka Antara, Yayasan Adikarya IKAPI & The Ford Foundation. Hlm 502-506.

[4] Lihat Budhy Munawar-Rachman. “Hidup dan Karya Nurcholish Madjid (1939-2005)” dalam http://davidefendi.staff.umy.ac.id/2017/11/04/hidup-dan -karya-nurcholish-madjid-1939-2005/. Diakses 3 Juli 2019.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Lihat Zacky Khairul Umam. “Nurcholish Madjid, Anak Gontor yang Besar sebagai Pembaru Islam” dalam https://tirto.id/nurcholish-madjid-anak-gontor-yang-besar-sebagai-pembaru-islam-cKvy. Diakses 1 Juli 2019.

[8] Op.Cit., Greg Barton…, hlm 85.

[9] Op.Cit., Zacky Khairul Umam.

[10] Lihat Ahmad Gaus A.F. 2010. Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*