Mozaik Peradaban Islam

Orang-orang yang Membuang Singgasananya Demi Menjadi Hamba Allah (2); Ibrahim bin Adham Membeli Kemiskinan Seharga Kerajaan Dunia

in Studi Islam

Last updated on August 2nd, 2018 06:28 am

“Aku, setidak-tidaknya,” kata Adham, “telah memilih kemiskinan itu dengan sengaja dan telah kubeli kemiskinan itu seharga kerajaan dunia. Dan aku masih akan membeli sesaat dari kemiskinan ini dengan harga seratus dunia.”

 —Ο—

 

Salah satu kisah yang cukup terkenal tentang sosok yang meninggalkan singgasananya demi menjadi hamba Allah, adalah kisah Ibrahim bin Adham. Beliau tercatat sebagai salah satu sufi periode awal sekali. Tidak mengherankan bila namanya kerap terdengar dalam karya-karya mistis para sufi ternama seperti Jalaluddin Rumi dalam Masnawi dan Fariduddin Attar dalam Manthiq Ath-Thayr.

Beliau lahir dengan nama Abu Ishak bin Ibrahim bin Adham pada tahun 168 H atau 782 M. Ayahnya adalah seorang raja di Balkh, sebuah wilayah yang menjadi tempat pertama lahirnya ajaran agama Budha. Ini sebabnya, kisah pertobatannya kerap dihubungan dengan kisah pertobatan Sidharta Gautama.

Kisah tentang kehidupan beliau banyak tersebar dan sangat terkenal. Hanya saja, kisah tersebut banyak bercampur legenda yang tidak ada landasan faktanya. Menurut Biographical Encyclopedia of Sufis in South Asia karya N. Hanif, literatur tentang Ibrahim bin Adham mengalami banyak perubahan ketika masyarakat mulai menterjemahkan kisah-kisah hidupnya dalam berbagai bahasa. Banyak di antara kisah-kisah tersebut yang mulai dibumbui, hingga akhirnya menjadi sebatas legenda.[1]

Namun demikian, kisah-kisah yang melegenda tersebut umumnya hanya menyangkut peristiwa-peristiwa yang bersifat parsial dalam hidupnya. Adapun kisah hidup Ibrahim bin Adham sebagiannya masih bisa dipertanggungjawabkan. Khususnya fakta bahwa ia adalah seorang Raja Balkh (Afganistan sekarang) yang mengadaikan singgasananya demi menjadi hamba Allah.

Terkiat silsialhnya, menurut N. Hanif, nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Adham Mansur bin Yazid bin Djabir (Abu Ishak) Al –Idjli.[2] Beberapa penulis mencoba menelusuri silsilah Ibrahim bin Adham hingga ke Abdullah, saudara Ja’far al-Sadiq anak dari Muhammad al-Baqir, cucu Husain bin Ali, salah satu silsilah keluarga paling penting dalam sejarah Sufi, namun sebagian besar penulis percaya bahwa silsilahnya berasal dari Umar bin Khattab. Sejarah kehidupan Ibrahim bin Adham dicatat oleh penulis besar abad pertengahan yakni Ibnu Asakir dan Bukhari.[3]

Riwayat tentang bagaimana pertama kali Ibrahim bin Adham memutuskan untuk meninggalkan semua kekuasaan yang dimilikinya adalah salah satu legenda yang sulit dipastikan keotentikan informasinya. Satu legenda yang paling terkenal adalah riwayat dari al Sulami yang mengisahkan bahwa awal perubahan yang terjadi dalam diri Ibrahim bin Adham setelah ia mengalami dua kali pertemuan dengan Nabi Khidir. Setelah peristiwa tersebut, Ibrahim langsung mengalami perubahan total dalam hidupnya. Ia melepaskan semua yang dimilikinya, dan mulai menempuh jalan ruhani sepenuhnya.[4]

Seperti Sidharta Gautama, Ibrahim bin Adham melakukan pengembaraan, meditasi (perenungan) dan hidup zuhud. Para sejarawan sepakat, bahwa sejak melepaskan singasananya, Ibrahim hijrah ke Syam. Tempat tinggalnya tidak tetap, dan sering berpindah. Ia menghindari mengemis atau memohon belas kasihan orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, Ibrahim bekerja apa saja, mulai dari berkebun dan menjadi karyawan orang lain. Bisa dikatakan, di Syam ini, profil Ibrahim bin Adham sama sekali berbeda dengan sosok yang dikenal oleh masyarakat Khurasan tentang dirinya.

Menurut N. Hanif, beberapa riwayat mengatakan bahwa Ibrahim juga tercatat ikut serta dalam mempertahankan Benteng Thughur, yang terletak di utara Suriah dari serangan Byzantium. Selain itu, ia juga tercatat ikut serta dalam dua ekspedisi militer, dan ia gugur pada ekspedisi militer kedua melawan Byzantium. Jenazahnya dikebumikan di wilayah kekuasaan Byzantium kala itu, dekat Benteng Sukin, atau Sufana. Riwayat lainnya menyebutkan bahwa beliau wafat dan dikebumikan di Mesir. Selain di kedua tempat tersebut, ada juga riwayat yang mengatakan bahwa makamnya terletak di Bahgdad, di Damaskus, di Yerusalem, dan di Djabala, sebuah wilayah di tepi pantai Suriah.[5]

Kuat dugaan, banyaknya perbedaan pendapat tentang tempat pemakaman Ibrahim bin Adham juga dipengaruhi oleh luasnya legenda tentang beliau. Setelah meninggalkan singgasananya, Ibrahim bin Adham menjadi milik semua bangsa. Ia berjalan ke mana saja, dan menjadi legenda di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana layaknya para tokoh besar lainnya, ia menjelma menjadi bintang di segala kebudayaan, dan menjadi tautan mata masyarakat yang disinggahinya. Tak terkecuali, Ibrahim bin Adham bahkan menjadi bintang di dunia Sufistik. Namanya kerap muncul dan diceritakan oleh sufi-sufi besar setelahnya.

Dari sekian banyak kisah para sufi tentang perjalanan hidup Ibrahim bin Adham, kisah yang disampaikan oleh Faridu’d-din Attar, dalam Manthiq Ath-Thayr (Musyawarah Burung), agaknya cukup bisa menjelaskan apa yang dilakukan oleh Ibrahim bin Adham ketika ia melepaskan singgasanya dan menikmati laku hidup zuhud. Bahasa yang lebih tepatnya, ia “membeli kemiskinan” tersebut secara sengaja dengan semua apa yang dimilikinya. Berikut kisahnya: [6]

Seorang laki-laki selalu mengeluh tentang getirnya kemiskinan; maka Ibrahim Adham berkata padanya, “Nak, barangkali kau belum membayar harga kemiskinanmu itu?” Orang itu pun menjawab, “Apa yang Bapak katakan itu sesuatu yang mustahil; mana mungkin seseorang membeli kemiskinan?’, “Aku, setidak-tidaknya,” kata Adham, “telah memilih kemiskinan itu dengan sengaja dan telah kubeli kemiskinan itu seharga kerajaan dunia. Dan aku masih akan membeli sesaat dari kemiskinan ini dengan harga seratus dunia.”

Orang-orang yang haus akan kesempurnaan diri mempertaruhkan jiwa dan raga untuk hal itu. Burung cita-cita membubung ke arah Tuhan, diterbangkan sayap-sayap keimanan di atas segala yang bersifat fana dan bersifat ruhani. Jika kau tak memiliki cita-cita demikian, lebih baik mundur.

Demikian sekelumit kisah tentang Ibrahim bin Adham diceritakan oleh Attar. Dalam Al Quran Surat At Taubah Ayat 111, Allah SWT berfirman:

نَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Sesungguhnya, Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga (sebagai balasan) untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah: 111) (AL)

Bersambung…

Orang-orang yang Membuang Singgasananya Demi Menjadi Hamba Allah (3); Nabi Khidir as

Sebelumnya:

Orang-orang yang Membuang Singgasananya Demi Menjadi Hamba Allah (1)

Catatan kaki:

[1] N. Hanif, Biographical Encyclopedia of Sufis in South Asia, 1 Edition, New Delhi, Sarup & Son,  2000, hal. 154

[2] N. Hanif, Op Cit, hal. 152

[3] Lihat, https://kmnu.or.id/biografi-abu-ishaq-ibrahim-ibn-adham-ibn-manshur-seri-tokoh-sufi/, diakses 27 Juni 2018

[4] N. Hanif, Op Cit, hal. 153

[5] Ibid

[6] Lihat, Faridu’d-din Attar, Manthiq Ath-Thayr,  diterjemahkan oleh Hartojo Andangdjaja dengan judul Musyawarah Burung, Cet. 2, Jakarta, Pustaka Jaya, 1986.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*