“Pakistan kuno pernah dikuasai dan menjadi bagian Kekaisaran Akhaimenia dan – lalu – Kekaisaran Sassania dari Persia. Dua kekaisaran ini bukan hanya bercorak Persia, melainkan juga menjadikan Zoroastrianisme sebagai agama resmi negara. Dengan demikian, kebudayaan Pakistan kuno pun pernah bercorak Persia dan dipengaruhi Zoroastrianisme.”
–O–
Manakala Asia Selatan mengalami periode Weda dan masa awal kelahiran agama Budha, justru pada 539 SM pasukan militer Persia (sekarang Iran) dari Kekaisaran Akhaimenia (559-330 SM) menyerang wilayah India utara (Pakistan kuno). Pasukan ini dipimpin oleh Koresh Agung, pendiri sekaligus kaisar pertama dalam Kekaisaran Akhaimenia yang memimpin pada kurun 559-529 SM.
Bukan hanya kalah, melainkan juga selanjutnya, wilayah ini dikuasai dan dijadikan bagian Kekaisaran Akhaimenia yang luas dan membentang dari benua Asia hingga benua Afrika dan benua Eropa. Dalam sejarah, Kekaisaran Akhaimenia merupakan kekaisaran pertama yang menguasai wilayah yang sangat luas di dunia kuno.
Sekitar tahun 500 SM, wilayah kekuasaan Kekaisaran Akhaimenia membentang dari Lembah Sungai Indus di timur hingga ke Thrakka dan Macedonia di perbatasan timur laut Yunani. Berdasarkan kajian sejarah teranyar, tiada kekaisaran lain sebelum itu yang lebih luas wilayah kekuasaannya dibanding Kekaisaran Akhaimenia.[1]
Selanjutnya, ratusan tahun setelah Kekaisaran Akhaimenia runtuh, sebagian wilayah Pakistan kuno dikuasai kekaisaran dari Persia lainnya yaitu Kekaisaran Sassania (224-651 M). Bukan hanya didirikan Ardashir I pada 224 M, tetapi juga kekaisaran ini merupakan kekaisaran Persia pra-Islam terakhir dan dipimpin dengan sistem dinasti.
Pada masa itu, Kekaisaran Sassania diakui sebagai salah satu kekuatan utama di kawasan Asia Barat, Asia Selatan, dan Asia Tengah, bersama dengan Kekaisaran Romawi dan Kekaisaran Byzantium selama lebih dari 400 tahun.
Zoroastrianisme
Kendati berbeda zaman, akan tetapi Kekaisaran Akhaimenia dengan Kekaisaran Sassania sama-sama menganut atau – lebih tepatnya – menjadikan kepercayaan Zoroastrianisme (Majusi) sebagai agama negara. Zoroastrianisme merupakan agama dan ajaran filsafat yang berasal dari Persia dan digulirkan sosok Zarathustra yang dalam bahasa Yunani disebut Zoroaster.[2] Di Persia, Zoroastrianisme disebut Mazdayasna yaitu kepercayaan yang menyembah Ahura Mazda (Tuhan Yang Bijaksana).[3]
Kendati diperbolehkan untuk berdoa dimana saja, namun para penganut Zoroastrianisme mempunyai tempat ibadah yang khas berupa kuil. Zoroastrianisme pun memiliki kitab suci berupa kumpulan tulisan sakral yang disebut Avesta dan dibagi menjadi empat bagian. Kesatu, kitab Yasna (kumpulan doa dan peraturan ibadah). Kedua, kitab Visparat (puji-pujian penuh hormat dan pemohonan kepada Tuhan). Ketiga, kitab Videvdat (tulisan-tulisan terkait ritual pemurnian). Keempat, kitab Khode Avesta (kumpulan doa sehari-hari).
Kemunculan Zoroastrianisme bukan hanya sebagai kepercayaan alternatif, tetapi juga pembaharuan atas kepercayaan tradisional Politeisme, Paganisme, dan Animisme di Persia waktu itu. Menurut Zoroastrianisme hanya ada satu Tuhan yang universal, Maha Kuasa, dan harus disembah yaitu Ahura Mazda. Meski begitu, Zoroastrianisme berprinsip dualisme yaitu meyakini adanya dua kekuatan yang bertentangan dan beradu: kebaikan versus kejahatan.
Kekuatan kebaikan diwakili Spenta Mainyu, kekuatan kejahatan diwakili Angra Mainyu atau Ahriman. Dari pertarungan itu, akhirnya kekuatan kebaikan Spenta Mainyu akan menang. Meski mengajarkan monoteisme Ahura Mazda, tetapi dewa-dewa lainnya masih diakui Zoroastrianisme. Antara lain Asha Vahista (dewa tata tertib dan kebenaran yang menguasai api), Vohu Manah (dewa hati nurani), Keshatra Vairya (dewa penguasa logam), Spenta Armaity (dewa penguasa bumi dan tanah), dan Haurvatat dan Amertat yaitu dewa penguasa air dan tumbuhan.
Menurut Zoroastrianisme, usia alam semesta adalah 12.000 tahun. Masa itu dibagi empat periode yang berganti setiap 3.000 tahun sekali. Jika 3.000 tahun pertama masa penciptaan, maka 3.000 tahun kedua masa Spenta Mainyu dan Angra Mainyu beradu kekuatan. Lantas 3.000 tahun berikutnya masa Zarathustra lahir dan menerima penglihatan dari Ahura Mazda. Dan 3.000 tahun terakhir, muncul Saoshayant – keturunan Zarathustra – setiap seribu tahun yang menyelamatkan, memerintah, dan memelihara bumi, menghancurkan Ahriman dan pengikutnya, sehingga terwujud perdamaian dunia.
Zoroastrianisme menolak penguburan dan pembakaran mayat, karena diyakini akan menodai bumi, air, udara, dan api.[4] Oleh karena itu para penganut Zoroastrianisme menyelenggarakan ritus kematian dengan menidurkan mayat secara telanjang di atas Dakhma (Menara Ketenangan) lantas tubuhnya dibiarkan dimakan burung-burung. Sebelum dibawa ke Dakhma, mayat dibiarkan tergeletak di sebuah ruangan di rumah selama 3 hari.
Zoroastrianisme bukan hanya mengajarkan kepercayaan pada hari pembalasan pasca mati, tetapi juga meyakini adanya jembatan yang lebarnya tergantung kadar kebaikan atas kejahatan orang. Jembatan ini menghubungkan orang yang sudah mati ke surga. Selain itu, Zoroastrianisme pun menekankan tiga etika hidup ideal: pikiran yang baik, perkataan yang baik, dan perbuatan yang juga baik. Zoroastrianisme menekankan tanggung jawab moral kepada masing-masing individu untuk melakukan kebaikan.
Dengan demikian, karena dikuasai rezim pemerintahan yang berkepercayaan Zoroastrianisme, maka penduduk Pakistan kuno pun banyak yang beralih kepercayaan kepada Zoroastrianisme. Bukan hanya sebagian budayanya mengikuti budaya bangsa Persia dari Kekaisaran Akhaimenia dan Sassania, tetapi juga kepercayaannya menganut Zoroastrianisme. Dalam banyak kadar, peradaban Pakistan kuno ini bercorak Persia dan dipengaruhi kepercayaan Zoroastrianisme.
Dengan demikian, apabila menukil konsep Persia Raya atau Iran Raya – dalam Encyclopaedia Iranika disebut Benua Budaya Iran , maka Pakistan termasuk ke dalam bagian Persia Raya, yaitu daerah yang dipengaruhi budaya Persia. Daerah Persia Raya meliputi dataran tinggi Iran dan bawahnya kemudian membentang dari Mesopotamia Irak, Kaukasus, Anatolia timur Turki sampai ke Sungai Indus Pakistan.[5]
Dari perspektif bahasa, yang termasuk ke dalam Persia Raya atau Iran Raya adalah bangsa-bangsa yang bertutur dalam bahasa Persia atau bahasa Iran. Dengan demikian, Persia Raya tidak hanya terbatas pada etnis Persia saja, tetapi juga meliputi etnis-etnis yang berdekatan dengan Persia seperti Pashtun, Tajik, Kurdi, Ossetia, Balochi, dan beberapa suku lain. (MDK)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] David Sacks, Oswyn Murray, & Lisa R. Brody. 2005. Encyclopedia of the Ancient Greek World. Infobase Publishing. Hlm 256.
[2] S.A. Nigosian. 1990. World’s Faiths. St. Martin’s Press.
[3] Mary Pat Fisher. 1997. An Encyclopedia of the World’s Faith Living Religions. Tauris Publisher. Hlm 208-214.
[4] Ibid.
[5] Christoph Marcinkowski. 2010. Shi’ite Identities: Community and Culture in Changing Social Contexts. LIT Verlag Munster. Hlm 83; Richard Nelson Frye, interview by Asieh Namdar, CNN, 20 Oktober 2007; Richard Nelson Frye. The Harvard Theological Review, Vol. 55, No. 4 (Oct., 1962). Cambridge University Press. Hlm 261-268.