Mozaik Peradaban Islam

Penaklukan Persia (5): Kelahiran Nabi Muhammad Saw dan Mimpi Buruk Raja Persia

in Sejarah

Last updated on August 16th, 2020 03:03 pm

Anushirwan yang sudah berkuasa selama 40 tahun, terbangun dari mimpinya karena 14 puncak istananya rubuh. Sementara itu, Aminah tengah berjuang untuk melahirkan anaknya di Makkah.

Ilustrasi Raja Persia Anushirwan. Diambil dari halaman Shahnameh karya Ferdowsi. Dibuat sekitar tahun 1135 M. Sumber: The Chester Beatty Library, Dublin, Per 111.7.

Di tengah keluarga Bani Hasyim di Makkah pada Senin pagi, Tanggal 9 Rabiul-Awwal,[1] permulaan tahun dari peristiwa penyerangan pasukan gajah, atau bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 bulan April tahun 571 M lahirlah seorang bayi yang kelak diberi nama Muhammad.[2]

Sementara itu, ribuan kilometer ke arah timur laut dari Makkah, pada malam sebelumnya, seorang raja Persia yang sedang tidur terbangun dari mimpinya karena empat belas puncak istananya rubuh. Dialah Anushirwan, seorang raja yang berhasil membawa Kekaisaran Sasaniyah ke puncak kejayaannya.

Tahun ini adalah tahun ke-40 semenjak Anushirwan berada di takhta kekaisaran.[3] Namun, di luar segala kegemilangannya, malam itu dia mendapatkan sebuah mimpi yang membuatnya gelisah.

Al-Tabari dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk meriwayatkan, dari Makhzum bin Hani al-Makhzumi dari ayahnya yang berusia seratus lima puluh tahun, dia berkata:

Ketika itu adalah malam di mana Rasulullah lahir, Aywan Kisra (istana raja Persia) diguncang dan empat belas puncaknya rubuh; api (suci) Fars, yang sebelumnya tidak pernah padam selama seribu tahun, padam; air danau Sawah[4] terbenam ke dalam bumi; dan Kepala Mobadh[5] (semacam Perdana Menteri Kekaisaran) melihat dalam mimpinya unta-unta yang begitu kuat berlari di depan kuda-kuda Arab yang mulia yang telah melintasi Tigris dan telah menyebar melalui distrik-distrik itu.

Keesokan paginya, Kisra (raja Persia, yaitu Anushirwan) ketakutan dengan apa yang telah dilihatnya. Dia dengan tegas menahan diri dalam kesabaran, tetapi kemudian dia menganggap bahwa dia tidak boleh menyembunyikannya dari para menteri dan marzban-nya (gubernur).[6]

Dia mengenakan mahkotanya dan duduk di singgasananya, dan mengumpulkan mereka di sekelilingnya. Ketika mereka semua berkumpul di sekitarnya, dia memberi tahu mereka mengapa dia memanggil mereka dan untuk apa dia memanggil mereka.

Sementara mereka berbicara mengenai urusan ini, sepucuk surat datang membawa berita tentang padamnya api (suci), sehingga tekanan pikirannya meningkat.

Kepala Mobadh berkata, “Aku juga – semoga Tuhan mengabulkan kebajikan Raja – bermimpi di malam yang sama,” dan dia menceritakan mimpinya tentang unta-unta itu.

Sang Raja berkata, “Tentang apakah ini, Kepala Mobadh?” meskipun dialah yang paling mengetahui tentang arti sebenarnya dari (mimpinya) itu.

Kepala Mobadh menjawab, “Suatu peristiwa yang didatangkan dari orang-orang Arab.”

Mendengar itu, Kisra menulis sepucuk surat, sebagai berikut: “Dari Kisra, Rajanya para raja, kepada al-Numan bin al-Mundhir. Sebagai berikut: Kirimkan kepadaku seorang pria yang berpengetahuan tentang apa yang ingin aku tanyakan kepadanya,” maka al-Numan mengirimkan kepadanya Abdul-Masih bin Amr bin Hayyan bin Buqaylah al-Ghassani (seorang tokoh Kristen dari Ibad al-Hirah).

Ketika surat itu sampai (kembali) ke Kisra, Kisra bertanya padanya, “Apakah engkau tahu apa yang ingin aku tanyakan padamu?”

Dia menjawab, “Biarlah Sang Raja menyampaikan kepadaku tentang hal itu; dan jika aku mengetahuinya (dengan seutuhnya maka aku akan menjawab), tetapi jika tidak, aku dapat memberi tahu dia tentang seseorang yang akan mengetahuinya untuk dia.”

Kisra kemudian menceritakan tentang mimpinya. Abdul-Masih berkata, “Seorang paman dari pihak ibuku yang tinggal di daerah ketinggian di Suriah, yang disebut Satih, akan memiliki pengetahuan tentang itu.”

Kisra berkata, “Temuilah dia, dan tanyakan apa yang baru saja kutanyakan padamu, dan bawakan aku kembali jawabannya.”

Abdul-Masih mengendarai tunggangannya sampai dia menemui Satih, yang sedang di ambang kematian. Dia menyampaikan salam dan berharap umurnya panjang, tetapi Satih tidak menjawab. Oleh karena itu Abdul-Masih mulai membacakan:

Apakah penguasa Yaman yang sombong itu tuli, atau apakah dia mendengar? Ataukah dia sudah

pergi, dan jalan kematian sebelum waktunya telah dilenyapkan

dengannya?

Wahai engkau yang mampu memberikan penafsiran tentang urusan yang

terlalu sulit bagi pria ini dan itu, syekh

suku, dari keluarga Sanan, telah datang kepadamu,

Yang ibunya berasal dari keluarga Dhib bin Hajan, yang bermata biru,

dengan taring tajam, yang telinganya berdenging,

Seorang yang putih bersinar, dengan jubah dan korset yang cukup banyak,

utusan pangeran (qayl) dari Persia, yang terus melakukan perjalanan

dalam waktu untuk tidur.

Seekor yang kuat, unta betina yang tegap berjalan melintasi negeri,

yang membawaku mendaki lereng berbatu pada satu waktu dan menuruni kelanjutannya,

Tak takut pada petir atau kemalangan waktu, sampai

menjadi ramping dan kurus di bagian payudara dan bagian

antara pahanya (yaitu, karena perjalanan terus menerus).

Debu halus dari jejak perkemahan yang sepi berputar-putar

tertiup angin, seolah-olah sedang berlari kencang dari

dua lereng Thakan.

Ketika Satih mendengar bait-bait tersebut, dia mengangkat kepalanya dan berkata, “Abdul-Masih – bepergian dengan unta – menemui Satih – yang sudah di ambang kuburan – Raja dari anak-anak Sasan telah mengutusmu karena Aywan terguncang – dan padamnya api (suci) –

“Dan mimpi Kepala Mobadh – unta-unta yang begitu kuat yang berlari di depan kuda-kuda Arab yang mulia – yang telah menyeberangi sungai Tigris dan menyebar melalui distrik-distrik itu –

“Wahai Abdul-Masih, padahal sudah banyak diceritakan kisah-kisah – dan laki-laki dengan pengikutnya telah dikirim (yaitu Umar bin Khattab) – dan lembah al-Samawah telah dibanjiri (yaitu, dengan pasukan penyerang) –

“Dan air danau Sawah telah tenggelam ke dalam bumi – dan api (suci) Fars telah padam – kemudian Suriah bukan lagi untuk Satih Suriah —

“Raja dan ratu di antara mereka (yaitu, para raja atau ratu Sasaniyah terakhir) akan memerintah – sesuai dengan jumlah puncak (yaitu, yang rubuh dari Aywan, artinya sebanyak empat belas orang lagi) – dan segala yang datang telah diputuskan kemudian.” Kemudian Satih meninggal di tempat.[7] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai tanggal pasti kelahiran Nabi Muhammad SAW, namun menurut ahli astronomi, Mahmud Basya, tanggal lahir yang tepat adalah sebagaimana disebutkan di atas. Di Indonesia sendiri, Maulid Nabi diselenggarakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal.

[2] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 75.

[3] Ibid.

[4] Sawah adalah sebuah kota kuno di barat laut Persia.

[5] Semacam menteri, tugasnya adalah sebagai kepala hierarki sosial di Kekaisaran Sasaniyah, posisi kekuasaannya tepat setelah seorang raja.

[6] Marzban artinya “pelindung perbatasan”, dalam bahasa Arab disebut marz(u)ban. Istilah ini digunakan dalam administrasi dan terminologi militer Kekaisaran Sasaniyah dari sejak abad ke-4, merujuk kepada para gubernur militer yang bertugas di provinsi-provinsi perbatasan.

[7] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 5, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh C. E. Bosworth (State University of New York Press: New York, 1999), hlm 285-288.

2 Comments

  1. Apakah satih disini adalah orang Yang Sama saat menakwilkan mimpi Dari Rabi’ah bin Nashr, raja Dari Yaman, Tentang Akan datangnya Nabi Muhammad?

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*