“Setelah datang berita bahwa pasukan kafir Mekkah sedang berderap menuju Badr, tiba-tiba situasi berbalik 180 derajat. Misi yang semula tampak sederhana, seketika berubah menjadi misi yang nyaris tidak mungkin (mission imposible). Terbayang di benak setiap orang, 313 orang dengan persiapan seadanya, akan menghadapi 900-1000 pasukan dengan persiapan tempur lengkap.”
—Ο—
Ibnu Ishaq berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menempuh perjalanannya dari Madinah ke Makkah dengan melewati gunung Madinah, kemudian melewati AI-Aqiq, kemudian melewati Dzi Al-Hulaifah, kemudian melewati Aulatul Jaisy. (Ibnu Hisyam berkata, “Ada yang mengatakan Dzatul Jaisy.”), kemudian berjalan melewati Turban, kemudian melewati Malal, kemudian melewati Ghamis Al-Hamam dari Marayain, kemudian melewati Shukhairatul Yamam, kemudian melewati As-Sayalah, kemudian melewati Fajji Ar-Rauha’, kemudian melewati Syanukah. Itu adalah rute perjalanan yang biasa dijalani manusia.”[1]
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa jalur yang ditempuh oleh Rasulullah SAW adalah jalur umum yang dilalui siapa saja, sehingga tidak sulit bagi siapapun untuk deteksi pergerakannya. Ibn Hisyam dalam Sirah Nabawiyah yang ditulisnya mengisahkan bahwa dalam perjalanan ini, Rasulullah SAW dan rombongan bertemu dengan orang tua yang mampu memprediksi pergerakan kaum Muslimin dari Madinah maupun pergerakan kaum kafir Quraisy dari Mekkah.[2] Artinya masing-masing pihak sebenarnya saling mengerti dan sama-sama mempersiapkan segala kemungkinan yang terjadi selama masa perjalanan mereka.
Di tempat lain, Abu Sufyan sudah mendapatkan firasat akan adanya bahaya yang mengancamnya ketika ia hendak pulang dari Syam ke Mekkah. Menurut Ibnu Ishaq, “Ketika mendekati Hijaz, Abu Sufyan mencari-cari informasi dan bertanya kepada musafir yang ia temui, karena ia takut mendapat serangan tidak terduga dari manusia. la mendapatkan informasi dari salah seorang musafir yang berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya Muhammad telah memobilisasi sahabat-sahabatnya untuk menyerangmu dan menyerang kafilah dagangmu.’ Karena informasi tersebut, Abu Sufyan bersikap hati-hati. la sewa Dhamdham bin Amr Al-Ghifari untuk pergi ke Makkah. la perintahkan Dhamdham bin Amr Al-Ghifari mendatangi orang-orang Quraisy, memobilisasi mereka untuk menyelamatkan harta kekayaan mereka, dan memberi tahu mereka bahwa Muhammad menghadang kami bersama sahabat-sahabatnya. Dhamdham bin Amr Al-Ghifari pun segera pergi ke Makkah.[3]
Dhamdham bin Amr Al-Ghifari, adalah orang yang pintar berakting. Sebagaimana dikisahkan Ibn Hisyam, sesampainya di Mekkah, ia berteriak di tengah lembah dengan berdiri di atas untanya yang hidungnya telah ia potong sendiri. Ia letakkan pelananya terbalik, dan merobek-robek bajunya. Sesampainya di tengah-tengah masyarakat Quraisy, Dhamdham bin Amr Al-Ghifari berkata, ‘Hai orang-orang Quraisy, unta, dan harta kekayaan kalian yang sedang dibawa Abu Sufyan sedang dihadang Muhammad bersama sahabat- sahabatnya. Aku berpendapat, bahwa kalian tidak dapat menyelamatkannya. Bala bantuan.., Bala bantuan!‘[4]
Menyaksikan keadaan Dhamdham bin Amr Al-Ghifari, tiba-tiba seisi kota Mekkah hari itu riuh. Mereka semua mengkhawatirkan harta benda mereka yang sekarang sedang terancam nun jauh di sana. Dalam waktu singkat mereka berhasil mencapai kesepakatan untuk menyongsong Muhammad SAW dan sahabatnya. Setiap rumah mengutus perwakilannya, dan setiap klan menampilkan jawara-jawaranya. Menurut Ibn Hisyam, Tidak ada seorang pun dari tokoh-tokoh mereka yang tidak ikut berperang, kecuali Abu Lahab bin Abdul Muththalib. Tapi sebagai ganti dirinya ia mengutus Al-Ashi bin Hisyam bin Al-Mughirah.[5]
Di tempat yang berbeda, Rasulullah SAW dan rombongan mulai mendekati lembah Badr. Tapi sebelum melanjutkan perjalanan, Beliau SAW mengutus terlebih dahulu beberapa sahabat, Basbas bin Amr Al-Juhani sekutu Bani Sa’idah, dan Adi bin Abu Az-Zaghba’ Al-Juhani sekutu Bani An-Najjar untuk menggali informasi tentang kaflah dagang Abu Sufyan.[6] Tak lama berselang, Rasulullah SAW dan rombongan juga mendengar kabar datangnya bala bantuan dari Mekkah untuk menyelamatkan barang-barang mereka.
Untuk menggali lebih jauh informasi seputur lembah Badr berikut situasi yang berkembang di sana, Rasulullah SAW kemudian mengutus Ali bin Abu Thalib, Az-Zubair bin Al-Awwam, dan Sa’ad bin Abu Waqqash.[7] Di Badr, ketiga sahabat tersebut berhasil menawan dua budak orang Quraisy dan membawanya ke hadapan Rasulullah SAW untuk diinterogasi lebih jauh.
Kepada kedua orang tersebut, Rasulullah SAW bersabda, “Coba jelaskan kepada kami informasi tentang orang-orang Quraisy.” Kedua orang tersebut menjawab, “Demi Allah, mereka berada di balik bukit pasir yang engkau lihat ini, tepatnya di tepi lembah yang jauh (dari Madinah).” Rasulullah SAW bertanya kepada kedua orang tersebut, “Berapa jumlah mereka?” Kedua orang tersebut menjawab, “Mereka banyak sekali.” Rasulullah SAW bertanya kepada keduanya, “Apa saja persenjataan mereka?” Kedua orang tersebut menjawab, “Kami tidak tahu.” Rasulullah SAW bertanya kepada keduanya, “Berapa hewan yang mereka sembelih dalam setiap hari?” Kedua orang tersebut menjawab, “Dalam sehari kadang-kadang mereka menyembelih sembilan atau sepuluh.” Rasulullah SAW bersabda, “Kalau begitu jumlah mereka berkisar antara sembilan ratus hingga seribu.” Rasulullah SAW bertanya kepada kedua orang tersebut, “Siapa saja tokoh-tokoh Quraisy yang ikut?” Kedua orang tersebut menjawab, “Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Abu Al-Bakhtari bin Hisyam, Hakim bin Hizam, Naufal bin Khuwailid, Al-Harits bin Amir bin Naufal, Thuaimah bin Adi bin Naufal, An-Nadhr bin Al-Harits, Zam’ah bin Al-Aswad, Abu Jahal bin Hisyam, Umaiyyah bin Khalaf, Nubaih bin Al-Hajjaj, Munabbih bin Al-Hajjaj, Suhail bin Amr, dan Amr bin Abdu Wudd.”[8]
Setelah cukup menggali informasi dari kedua budak tersebut, kemudian Rasulullah SAW menemui para sahabat dan bersabda, “Inilah Makkah. la telah melemparkan semua buah hatinya kepada kalian.”
Tiba-tiba situasi berbalik 180 derajat. Misi yang semula tampak sederhana, seketika berubah menjadi misi yang nyaris tidak mungkin (mission impossible). Terbayang di benak setiap orang, 313 orang dengan persiapan seadanya, akan menghadapi 900-1000 pasukan dengan persiapan tempur lengkap. Sebagaian ada yang baru menyadari, bahwa langkah mereka keluar dari Madinah beberapa hari yang lalu, ternyata bukan sekedar untuk mengambil kembali harta benda mereka. Tapi lebih dari itu, mereka akan melakoni salah satu etape paling penting dalam sejarah Islam dan umat manusia. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Sirah Nabawiah Ibn Hisyam (jilid 1), Fadhli Bahri, Lc (Penj), Jakarta, Batavia Adv, 2000, hal. 465
[2] Orang tua Arab tersebut berkata, “Aku mendapat informasi, bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya berangkat pada hari ini dan itu. Jika informasi yang disampaikan kepadaku benar, maka pada hari ini mereka berada di tempat ini dan itu -yang ia maksudkan ialah tempat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berada. Aku juga mendapatkan informasi, bahwa orang-orang Quraisy berangkat pada hari ini dan itu. Jika orang yang memberiku informasi tidak berbohong, maka pada hari ini mereka berada di tempat ini dan itu -yang ia maksudkan ialah tempat orang-orang Quraisy.” Lihat, Ibid, hal. 468
[3] Ibid, hal. 461
[4] Ibid, hal 462
[5] Tadinya Al-Ashi bin Hisyam bin Al-Mughirah tidak ikut perang, karena ia mempunyai hutang sebesar empat ribu dirham kepada Abu Lahab. Al-Ashi bin Hisyam bin Al-Mughirah pinjam uang sebesar itu untuk dagang, tapi ia bangkrut. Kemudian ia dikontrak Abu Lahab dengan nilai sebesar hutangnya. Akhirnya, ia ikut perang mewakili Abu Lahab yang tidak ikut perang.” Lihat, Ibid, hal 463
[6] Lihat, The History of al-Tabari, Volume VII, The Foundation of the Community, Translated by M. V. McDonald, Annotated by W. Montgomery Watt, State University of New York Press, 1990, hal. 40
[7] Ibid, hal. 43
[8] Lihat, Sirah Nabawiah Ibn Hisyam (jilid 1), Op Cit, hal. 469