“Tidak diketahui alasan Rasulullah SAW memerintahkan kerabat dekatnya untuk meladeni tantangan ‘Uthbah bin Rabi’ah. Padahal masih banyak sahabat lain seperti Abu Bakar dan Umar bin Khathab yang tak kalah sepadan dengan orang-orang tersebut.”
—Ο—
Jum’at 17 Ramadhan 2 H, dua pasukan dengan jumlah yang kontras sudah berhadap-hadapan di Lembah Badr. Pertemuan kedua pasukan ini sudah santer terdengar ke segala penjuru. Setelah bertahun-tahun sebelumnya sudah tersiar kabar tentang datangnya seorang Nabi di kalangan bangsa Arab yang diusir oleh kaumnya. Kini orang-orang Mekkah tersebut sedang melaksanakan misi penghabisan terhadap syiar Nabi Suci tersebut. 1000 orang Vs 313 orang, memang lebih terdengar seperti pengepungan daripada sebuah pertempuran.
Sebelum memulai pertempuran, Rasulullah SAW memerintahkan pasukan agar berbaris memanjang menghadapi musuh, dan agar mereka tidak memulai peperangan dan mereka juga dilarang bicara. Sebagaimana tradisi pertempuran di masa lalu, sebelum memulai pertempuran biasanya kedua belah pihak akan mengirimkan jawara-jawara dari masing-masing pihak untuk melakukan duel satu lawan satu.
Maka datanglah tiga orang dari pihak kafir Quraisy untuk menantang duel kaum Muslimin. Mereka adalah ‘Uthbah bin Rabi’ah bin Abdi Syam, yang juga mertuanya pemimpin Quraisy, Abu Sufyan bin Harb. Ia adalah ayah dari Hindun binti ‘Uthbah yang kisahnya kelak sangat terkenal dalam Perang Uhud. Dan ‘Uthbah juga tidak lain adalah kakeknya Muawiyah bin Abu Sufyan, yang kelak melakukan pemberontakan kepada Khulafah Rasyidin keempat, Ali bin Abi Thalib, dan berhasil mendirikan Dinasti pertama dalam sejarah Islam, yaitu Dinasti Umayyah.
Orang keduanya adalah Syaibah bin Rabi’ah bin Abdi Syam, yang tidak lain adalah saudara ‘Uthbah. Sedang yang ketiga adalah Walid bin Uthbah, yang tidak lain adalah putra dari ‘Uthbah bin Rabi’ah, yang juga saudara laki-laki Hindun binti ‘Uthbah. Walid bin Uthbah memiliki putra bernama Khalid bin Walid, yang kelak menyatakan diri masuk Islam dan menjadi salah satu jenderal yang sangat terkenal dalam sejarah Islam.
Adapun dari pihak kaum Muslimin, pada awalnya maju tiga orang sahabat Anshar untuk menghadapi mereka. Tapi ‘Uthbah menolak bertarung dengan mereka, dengan alasan ketiga Anshar tersebut tidak sepadan di matanya. Lalu Rasulullah SAW mengganti ketiganya dengan orang-orang terdekat Beliau SAW yang juga merupakan para kerabatnya, yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib, dan ‘Ubaidah bin Harits. Melihat ketiga orang ini, ‘Uthbah merasa puas. Ketiga orang Quraisy tersebut berkata, ‘Betul, kalian orang-orang mulia yang sepadan dengan kami.” [1] Dalam duel ini Hamzah bin Abdul Muthalib melawan ‘Uthbah bin Rabi’ah bin Abdi Syam; Ali bin Abi Thalib melawan Walid bin Uthbah; dan ‘Ubaidah bin Harits melawan Syaibah bin Rabi’ah bin Abdi Syam.
Tidak diketahui alasan Rasulullah SAW memerintahkan kerabat dekatnya untuk meladeni tantangan ‘Uthbah bin Rabi’ah. Padahal masih banyak sahabat lain seperti Abu Bakar dan Umar bin Khathab yang tak kalah sepadan dengan orang-orang tersebut. Sebagai catatan pada masa awal ini, tercatat hanya 4 orang laki-laki kerabat dekat Rasulullah SAW yang masuk Islam dan ikut ke Badr. Mereka adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib, Mush’ab bin Umair bin Hasyim dan ‘Ubaidah bin Harits, yang keempatnya adalah orang-orang yang sangat dikasihi Nabi SAW.
Beberapa anggota keluarga Bani Hasyim yang masuk Islam pertama ini sebenarnya adalah orang-orang terkemuka di kaumnya, baik dalam hal kecerdasan, ketangkasan, dan ketangguhan. Meski mereka yang masuk islam ini sempat lama berada dalam tekanan dan penghinaan kaum kafir Mekkah, hingga kedudukan mereka sempat diremehkan oleh para pemimpin Quraisy. Tapi kaum kafir Mekkah tidak bisa mengingari bahwa sosok seperti Hamzah bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib, dan Ubaidah bin Harits, memang orang-orang yang berkedudukan tinggi.
Dan sebagaimana sejarah mencatat, duel ini berlangsung sangat cepat. Ali bin Abi Thalib, pemuda yang ketika perang ini berlangsung masih berusia sekitar 26 tahun, dengan tangkas menghabisi nyawa ayah dari Khalid bin Walid di hadapan semua orang. Demikian juga dengan Hamzah bin Abdul Muthalib yang memang sudah terkenal ketangguhannya sejak masa sebelum Islam, dengan sangat ringkas menghabisi nyawa ‘Uthbah. Atas kejadian inilah kelak, putri Uthbah bernama Hindun, yang juga istri dari Abu Sufyan menaruh dendam kesumat kepada Hamzah. Kelak di Perang Uhud, Hindun secara ekslusif menyewa pembunuh bayaran yang ditugaskannya khusus untuk membunuh Hamzah. Setelah Hamzah terbunuh, Hindun membelah dada Hamzah lalu memakan jantungnya dengan sepenuh kebencian.
Adapun ‘Ubaidah bin Harits yang memang berusia lebih tua dari yang lain, sempat bersusah payah meladeni perlawanan dari Syaibah bin Rabi’ah bin Abdi Syam.[2] Setelah menuntaskan pertarunganya masing-masing, Ali dan Hamzah segera membantu ‘Ubaidah dan membunuh Syaibah bin Rabi’ah. Tapi ‘Ubaidah sudah terluka dan kakinya putus. Ia sempat dibawa ke hadapan Rasulullah SAW lalu menjadi syahid. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Sebagaimana dikisahkan oleh Ibn Hisyam dari riwayat Ibnu Ishaq berkata, “Kemudian Utbah bin Rabi’ah bersama saudaranya yang bemama Syaibah bin Rabi’ah, dan anak Utbah sendiri yang bernama Al-Walid bin Utbah keluar dari barisan kaumnya dan menantang duel. Tiga pemuda Anshar, yaitu Auf bin Al-Harts, Muawwidz bin Al-Harts, dan Abdullah bin Rawahah keluar untuk menghadapi mereka bertiga. Ketiga orang Quraisy tersebut bertanya, ‘Siapa kalian ini?’ Ketiga orang dari kaum Anshar tersebut menjawab, ‘Kami kaum Anshar.’ Ketiga orang Quraisy tersebut berkata, ‘Kami tidak punya urusan dengan kalian.’ Penyeru orang-orang Quraisy berseru, ‘Hai Muhammad, keluarkan untuk kami orang-orang dari kaum kami yang sepadan dengan kami!’ Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Berdirilah engkau hai Ubaidah bin Al-Harits! Berdirilah engkau hai Hamzah! Berdirilah engkau hai Ali!’ Ketika ketiga sahabat tersebut telah berdiri dan mendekat kepada tiga orang Quraisy tersebut, ketiga orang Quraisy tersebut bertanya, ‘Siapa kalian?’ Ubaidah menjawab, ‘Aku Ubaidah.’ Hamzah menjawab, ‘Aku Hamzah.’ Ali menjawab, ‘Aku Ali.’ Ketiga orang Quraisy tersebut berkata, ‘Betul, kalian orang-orang mulia yang sepadan dengan kami. Lihat, Sirah Nabawiah Ibn Hisyam (jilid 1), Fadhli Bahri, Lc (Penj), Jakarta, Batavia Adv, 2000, hal. 475
[2] Menurut catatan O. Hashem, ketika terjadi pertempuran Badr, usia ‘Ubaidah bin Harits sudah menginjak 65 tahun atau sepuluh tahun lebih tua dari Nabi SAW. Meskipun bila melihat dari silsilahnya, ‘Ubaidah bin Harits sebenarnya adalah sepupu Nabi SAW dan juga kemenakan Hamzah bin Abdul Muthalib. Lihat, O. Hashem, Muhammad Sang Nabi, Jakarta, Ufuk Press, 2004, hal. 138