Meskipun Bukhari dikatakan terlambat dalam penyusunan sahihnya, yakni dua abad setelah masa Nabi, namun dia berhasil menciptakan standar baru dalam ilmu hadis.
Meskipun dikatakan bahwa tradisi menulis atau sekadar mencatat hadis telah berlangsung sejak awal (awa’il dan isnad—lihat penjelasannya pada artikel sebelum ini), namun Bukhari lah (wafat 256 H/870 M) orang pertama yang dianggap telah menyusun kumpulan hadis yang sahih.
Jika hal ini dapat diterima oleh semua Muslim—yaitu Bukhari yang pertama—maka hadis yang disebut sahih baru ada setelah lebih dari satu setengah abad sejak sistem isnad (rantai transmisi periwayat) muncul.
Apa yang dilakukan oleh Bukhari sebenarnya relatif terlambat jika dibandingkan dengan orang pertama yang mencontohkan sistem isnad—yaitu lbnu Jurayj (wafat 150 H/767 M). Meskipun, tentu saja, yang dilakukan oleh lbnu Jurayj dan ahli hadis segenerasinya tidak mendetail seperti Bukhari, sebab mereka hanya secara sukarela menunjukkan apa yang telah ditulisnya kepada pendengar untuk membuktikan bahwa mereka telah membuat catatan yang dapat diandalkan.[1]
Tetapi, meskipun dikatakan terlambat, sesungguhnya Bukhari telah menciptakan standar baru dalam pengumpulan hadis.
Sebuah hadis mengandung dua unsur utama, yakni matan, atau narasi (isi) hadis, dan jalur periwayatan (sanad)-nya. Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi keduanya, agar bisa dianggap valid. Jika tidak, maka hadis itu akan ditolak.
Pengujian terhadap sanaddilakukan dengan dasar bahwa, hadis adalah salah satu sumber agama, di mana redaksi (matan)-nya akan diterima jika diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya (thiqat).
Di antara ketelitian Bukhari dalam menulis hadis dari sisi periwayatnya, ialah menjadikan karakter thiqah (sangat dipercaya) – yang merupakan akumulasi dari akurat (dhabit), adil (‘adalah), dan jujur (saduq atau sidiq) – seorang periwayat sebagai syarat utama diterima atau ditolaknya narasi yang disampaikan.
Dhabit berkaitan dengan tingkat intelektualitas, sedangkan ‘adalah berhubungan dengan moralitas sang periwayat. Selain syarat-syarat di atas, Bukhari juga menambahkan adanya syarat pertemuan (liqa’) antara periwayat dengan gurunya, sebagai sebuah acuan diterimanya sebuah narasi.[2]
Dengan dasar pemikiran seperti di atas, maka sebagai pendahuluan sebelum penulisan sahihnya, Bukhari menulis al-Tarikh al-Kabir (Sejarah Besar), yang berisi biografi orang-orang yang membentuk rantai hidup transmisi dan ingatan lisan hadis-hadis yang jika ditelusuri akan kembali kepada Nabi Muhammad saw.[3]
Kembali kepada isu mengenai keterlambatan pengumpulan hadis sahih, sejarawan Eamonn Gearon mencoba menjawabnya. Menurut dia, adalah hal yang menarik—dan mungkin secara signifikan—bahwa sebagian besar penyusun hadis ternama berasal dari wilayah pinggiran kekhalifahan Islam.
Tidak diketahui secara pasti apa penyebabnya, ada kemungkinan mereka merasa jauh dari pusat agama Islam di Makkah dan juga jauh dari ibukota kekhalifahan di Baghdad, sehingga mereka merasa terdorong untuk menegaskan posisi mereka di dalam agama.
Bukhara, tempat kelahiran Bukhari, bagaimanapun pada masa kekhalifahan Islam terhitung masih termasuk wilayah pinggiran bagi dunia Muslim. Dan perlu diketahui, secara etnisitas Bukhari bukanlah orang Arab, melainkan Persia.
Tetapi apapun sebabnya, pada kenyataannya para ahli hadis ini berhasil mencapai prestasi keilmuan Islam yang sebelumnya belum pernah dilakukan oleh sarjana Arab mana pun.[4] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] G.H.A. Juynboll, Muslim tradition Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadith (Cambridge University Press: Cambridge, 1983), hlm 22.
[2] Syafiq Basri, “Keterbukaan Imam Bukhari terhadap Para Periwayat Syiah (2): Asal-Usul Syiah dan Metode Pemilihan Hadis Sahih”, dari laman https://ganaislamika.com/keterbukaan-imam-bukhari-terhadap-para-periwayat-syiah-2-asal-usul-syiah-dan-metode-pemilihan-hadis-sahih/, diakses 22 Agustus 2021.
[3] Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite, “Bukhārī, al-.” (Chicago: Encyclopædia Britannica, 2014)
[4] Eamonn Gearon, The History and Achievements of the Islamic Golden Age (The Great Courses: Virginia, 2017), hlm 56.