“Sebagaimana “konsep” selalu memiliki “ekstensi”. Maka kitab suci pun demikian, tentu ada sosok yang paling memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya, dan paling otoritatif menjelaskan isinya. Sosok inilah yang dicari oleh Salman.”
—Ο—
Kerendahan hati adalah kendaraan utama para pencari kebenaran. Tapi tidak sedikit orang merasa puas dengan pendapatnya, sehingga tak ingin lagi bertanya, belajar dan mendengar pendapat orang lain. Padahal, kunci pengetahuan adalah bertanya. Maka dibutuhkan kerendahan hati untuk menyadari tentang betapa bodohnya diri di satu sisi, serta optimisme yang tinggi atas betapa masih luasnya potensi pengetahuan yang bisa eksplorasi. Dan untuk semua itu, setiap orang tentunya membutuhkan pembimbing atau sosok yang tepat untuk menemaninya mencari jawaban. Sosok ini, biasa disebut sebagai guru. Pada dasarnya, guru bukanlah tempat semua jawaban. Mereka hanyalah teman yang membimbing kita menemukan pertanyaan yang tepat untuk menggapai kebenaran. Bukankah, benarnya sebuah pertanyaan adalah setengah dari jawaban?
Demikianlah langkah yang ambil oleh Salman Al Farisi. Begitu tiba di Syam, hal yang pertama yang dilakukannya bukan mencari perkerjaan atau sumber-sumber harta, tetapi mencari orang paling berilmu di antara mereka. Salman melanjutkan kisahnya:[1]
“Pada saat kedatanganku, saya bertanya, “Siapakah yang paling alim di antara semua orang dari agamamu ini?”
“Mereka berkata, ‘Pendeta, (dia ada) di dalam gereja.’ Saya datang kepadanya dan berkata, ‘Saya menyukai agama ini, dan saya ingin menyertaimu dan berkhikmad di gereja, agar saya dapat belajar darimu dan shalat bersamamu.”
Bila kita perhatikan, metode Salman dalam mencari kebenaran sangat tepat. Ia mencari sosok, bukan kitab. Padahal kitab suci adalah sesuatu yang Haq. Tapi Salman menyadari sepenuhnya, bahwa kitab suci selalu berpasangan. Sebagaimana “konsep” selalu memiliki “ekstensi”. Maka kitab suci pun demikian, tentu ada sosok yang paling memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya, dan paling otoritatif menjelaskan isinya. Sosok inilah yang dicari oleh Salman.
Bila dia hanya ingin mengetahui ajaran Nasrani, dengan mudah dia bisa mendapatkan kitab suci agama Nasrani di mana saja. Dengan demikian, dia bisa pelajari sendiri, menafsirkan sendiri, dan “merasa” bisa sendiri. Tapi Salman terlalu arif untuk tertipu dan melakukan hal sebodoh itu. Sangat mungkin, sebenarnya Salman sudah juga membaca lembar-lembar kitab suci tersebut. Semakin dalam dia memahami, semakin dia mengagumi Kebenaran. Sehingga dia bisa membayangkan sosok macam apa yang menjadi duplikat dari kitab tersebut. Maka bila dia mampu bertemu dengan sosok tersebut, tak ada yang layak dia lakukan padanya selain berhikmad, seraya berharap mendapat bimbingan dalam mengenali jati dirinya, dan Al Haq itu sendiri.
Salman lalu melanjutkan kisahnya:
“Dia (pendeta itu) berkata, ‘Engkau boleh masuk dan tinggal bersamaku,’ maka saya pun bergabung bersamanya.” Setelah beberapa waktu, Salman menemukan sesuatu pada pendeta tersebut. Dia adalah seorang laki-laki yang buruk yang memerintahkan dan menganjurkan kaumnya untuk membayar sedekah, hanya untuk menyimpannya bagi dirinya sendiri. Dia tidak memberikannya kepada orang-orang miskin. Dia telah menimbun tujuh guci emas dan perak! “Saya membencinya karena perbuatannya.”
“Dia (pendeta itu) meninggal. Orang-orang Nasrani berkumpul untuk menguburkannya. Saya memberitahu mereka bahwa dia adalah seorang yang jahat, yang memerintahkan dan mendorong orang-orang untuk memberikan kepadanya sedekah hanya untuk disimpannya sendiri, dan dia tidak memberikannya kepada orang-orang miskin. Mereka berkata, ‘Bagaimana engkau mengetahuinya?’ Saya menjawab, ‘Saya dapat menunjukkan kepada kalian harta simpanannya.’ Mereka berkata, ‘Tunjukkanlah kepada kami!’ Maka saya menunjukkan kepada mereka tempat (dimana dia menyimpan hartanya) dan mereka menemukan darinya tujuh buah guci yang dipenuhi tumpukan emas dan perak. Ketika mereka melihatnya mereka berkata, ‘Demi Allah kami tidak akan menguburkannya.’ Mereka mencaci-maki dan melemparnya dengan batu.”
Salman menemukan, bahwa ternyata sosok yang diakui masyarakat sebagai alim termasyur tersebut, bukanlah sebagaimana yang dilihat. Dia adalah orang yang menjual agamanya dengan harga yang murah. Orang-orang telah tertipu, agama tersebut sudah dibajak oleh orang fasik, yang duduk di puncak otoritasnya.
Tapi Salman memiliki adab yang sangat tinggi. Ia tidak menyebarkan langsung apa yang disaksikannya. Sangat mungkin dia menunggu, bila saja terjadi perubahan pada diri orang tersebut. Bukankah manusia tidak bisa mengetahui ujung dari hidup seseorang? Atau bahkan, kita belum mengetahui sepenuhnya tujuan dari suatu perbuatan.
Terkait hal ini, Al Quran bahkan mendemostrasikan pada surat Al Kahfi, ketika Nabi Musa AS bertemua dengan Khidir atau Allah SWT menyebutnya sebagai: “…seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (QS. al-Kahf [18]: 65). Dimana secara langsung terlihat bagaimana anggapan orang bisa tertipu oleh suatu perbuatan lahiriah. Kisah pertemuan Khidir dengan Nabi Musa AS, menyiratkan pesan bagi kita untuk tidak mudah menuduh tindakan seseorang hingga tetap kenyataan yang terlihat tersebut. Karena boleh jadi, perbuatan tersebut memang harus ditempuh untuk satu tujuan yang sama sekali berbeda dengan persangkaan kita. Oleh sebab itu, di samping kerendahan hati, setiap penuntut ilmu juga penting memiliki persangkaan baik, terlebih pada Al Haq.
Kembali pada kisah Salman, akhirnya sosok yang dikagumi masyarakat tersebut meninggal dunia, dan menyegel perbuatan tercelanya. Maka setelah semuanya terang benderang, barulah Salman mengabarkan kondisi orang tersebut pada masyarakat. Hal ini harus dilakukan, karena kedudukan orang tersebut amatlah tinggi. Agar dari kisah sosok tersebut, masyarakat bisa mengambil pelajaran. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Secara lengkap kisah Salman Al Farisi dapat merujuk pada Hadits Ahmad No.22620.