Sarung (3); Kaum Santri dan Identitas Kebangsaan

in Lifestyle

Ketika sarung dianggap sebagai simbol keterbelakangan, HOS. Tjokroaminoto justru melakukan hal sebaliknya. Ia justru berpoto dengan menggunakan setelan lengkap; sarung, jas tutup, peci, dan sandal. Beliau berpose dengan sorot mata yang menantang, dengan kaki kanan diletakkan di lutut kiri – satu pose yang umum dijumpai dalam poto-poto kaum elit bangsa Eropa. Seorang Jawa tradisional tidak duduk dengan cara semacam itu.”

 —Ο—

 

Selain sebagai busana tradisional, sarung juga adalah identitas kebudayaan di hampir semua daerah di Indonesia. Bahkan dalam beberapa fase zaman di nusantara, sarung menjadi simbol perjuangan melawan budaya barat yang dibawa oleh penjajah. Busana ini melekat sebagai identitas kaum santri yang pada masa itu merupakan simpul gerakan rakyat di akar rumput. Kaum santri sendiri, meskipun identik dengan nuansa keIslaman, merupakan produk orisinil kebudayaan nusantara. Mereka adalah perpaduan antara religusitas Islam, dengan kebudayaan khas nusantara. Busana yang identik dengan mereka adalah sarung (dari Yaman) dengan kombinasi baju koko, yang tidak lain adalah saduran dari busana khas bangsa China. Dengan bahasa sederhana bisa dikatakan, santri dengan segenap atributnya merupakan ekspresi orisinal dari kejeniusan nusantara.

Sarung dan kaum santri sudah seperti pasangan, lalu terjalin kelindan dengan nusantara dan Islam, maka jadilah sarung satu simbol multi guna yang definisikan identitas kolektif, sosial-kebudayaan, dan politik masyarakat nusantara. Ekspresi ini pernah muncul secara otentik ketika maka penjajahan kolonial Belanda. Bagi para santri, sarung adalah identitas diri yang membedakan mereka dari kaum abangan yang komitmennya terhadap kemerdekaan cenderung labil. Tidak sedikit dari kaum abangan ini yang begitu mengagumi dan meniru budaya kolonial, sehingga diragukan nasionalismenya.

Munculnya konsep perlawnan budaya kaum santri tersebut tidak terlepas dari kondisi yang terjadi di paruh pertama abad 20, atau ketika Snouck Hurgronye berhasil menerapkan strategi assosiasinya melalui program pemberian bantuan pendidikan yang bercorak barat kepada kelas priyayi. Atas nama “politik balas budi” dan “politik asosiasi”, putra-putra pribumi dapat mengenyam pendidikan hingga ke tingkat perguruan tinggi di Eropa. Tidak hanya sampai di sana, sepulangnya dari pengenyam pendidikan tersebut, mereka mendapat akses pekerjaan dan jabatan di pemerintahan. Mereka akan menjadi pemimpin di negaranya sendiri, namun dengan konstruksi berpikir ala kolonial. Secara prinsip, program ini memang bertujuan untuk menarik alam pikir kaum priyayi ke dalam nalar dan metodologi berpikir ala Eropa. Sehingga kelas priyayi akan secara langsung menjadi agen-agen kebudayaan dan politik barat di tanah jajahannya. Pada titik tertentu, disinilah tikungan awal terjadinya politik pecah belah (devide et empera). Elit indonesia akan berhadap-hadapan langsung dengan rakyatnya. Konflik antar kelas akan terjadi di dalam internal bangsa Indonesia.[1]  

Dengan cara ini, Snouck bermaksud untuk menjadikan kalangan priyayi (abangan) ini sebagai kelas yang meredam pengaruh kalompok agama (santri) di masyarakat. Empowering terhadap kelas priyayi ini menjadikan mereka sebagai counter balance ide-ide agama Islam di tengah masyarakat. Seiring dengan semakin berkembangnya peradaban Eropa, semakin mengukuhkan kebudayaan barat sebagai superior daripada kebudayaan pribumi. Ditambah lagi, tidak sedikit para elit pribumi yang bersekolah ke Eropa dalam hal agama tetap setia memeluk agama Islam. Maka tak urung, syiar Islam mengelami tekanan yang luar biasa pada awal abad ke-20 ini.[2]

Dalam kerangka ini, sarung menjadi pembeda yang khas. Meski pada oleh para peneliti barat “kaum saruangan” dilekatkan dengan stereotype kampungan, tradisional dan jumud, namun kaum santri tetap konsisten menjadikan sarung sebagai simbol kebangsaannya. Stereotype ini tidak hanya dibuat oleh para peneliti barat, tapi dipakai juga sebagian masyarakat di Indonesia untuk mendefinisikan kaum santri. Bahkan hal ini masih terus berlangsung hingga masa pasca kemerdekaan. Tapi di masa penjajahan, stereotype pernah dijungkirbalikkan oleh HOS Tjokroaminoto yang dikenal sebagai “guru semua guru bangsa”.

Ketika sarung dianggap sebagai simbol keterbelakangan – busana kampung yang membedakannya dengan elit, sehingga sarung dilarang penggunaan di sekolah-sekolah negeri, karena merupakan pakaian rakyat jelata dan oleh sebab itu tidak memiliki hak mengenyam pendidikan ala Eropa – seorang ningrat bernama Tjokroaminoto justru melakukan hal sebaliknya. Ia justru berpoto dengan menggunakan setelan lengkap; sarung, jas tutup, peci, dan sandal. Beliau berpose dengan sorot mata yang menantang, dengan kaki kanan diletakkan di lutut kiri – satu pose yang umum dijumpai dalam poto-poto kaum elit bangsa Eropa. Seorang Jawa tradisional tidak duduk dengan cara semacam itu.

Poto HOS Tjokroaminoto mengenakan Sarung, Sandal dan Peci, dengan pose. Sumber gambar: nuun.id

Poto ini menjadi satu ekspresi yang frontal dari kaum santri terhadap dominasi kebudayaan kaum penjajah. Terang saja poto ini langsung menyebar dan memompa semangat perlawanan masyarakat terhadap kaum penjajah. Menurut tuturan sejarah, sejak Tjokroaminoto memakai sarung; akibatnya bukan ia yang turun kedudukannya, tapi sarung yang naik pangkat. Sarung menjadi pakaian orang yang terhormat dan hilanglah perbedaan dalam masyarakat yang ditentukan dengan memakai celana dan sarung. Tentang potret Pak Tjokro itu, Haji Agus Salim pernah berkata, “Pada saatnya, potret itu berarti revolusi.” Benarlah apa yang dikatakan Haji Agus Salim itu.[3]

Setelah masa penjajahan berlalu, sarung masih tetap konsisten dikenakan oleh kaum santri dan menjadi symbol kebudayaan bangsa yang otentik. Salah satu kisah tentang seorang tokoh sentral di Nahdlatul Ulama (NU), KH Abdul Wahab Chasbullah, ketika bertemu dengan Sukarno cukup menjelaskan bahwa sarung dan identitas keIndonesiaan memang tidak bisa dipisahkan.

Suatu ketika, KH. Abdul Wahab pernah diundang Presiden Sukarno. Protokol kepresidenan memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacara kenegaraan, ia datang dengan mengenakan sarung. Padahal orang biasanya memakai jas dilengkapi dengan celana. Sebagai pejuang yang telah berulang kali terjun berperang lurus melawan penjajah Belanda dan Jepang, KH. Abdul Wahab tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol oposisi terhadap budaya Barat. Dia ingin menunjukkan martabat bangsanya di hadapan siapa saja, termasuk dihadapan penguasa negerinya, dan generasi penerus selanjutnya.[4] Sekarang, setelah jauh berlalu, sarung sudah menjadi busana nasional yang marak dikenakan hampir semua kalangan, mulai dari Presiden hingga rakyat jelata.

Beberapa foto Presiden Joko Widodo mengenakan sarung dalam berbagai kesempatan resmi maupun santai. Sumber gambar: brilio.net

 

Selesai

Sebelumnya:

Sarung (2): Model, Motif dan Makna Filosofisnya

Catatan kaki:

[1] Lihat, Ruslan Abdulgani, Islam Datang Ke Nusantara Membawa Tamadun/Kemajuan/Kecerdasan, Dalam Prof. A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Medan, PT. Alma’arif, 1993, Hal. 125-126

[2] Terkait politik pecah belah yang dilancarkan oleh Snouck Hurgronye, dapat disimak lebih jauh pada artikel berikut: https://ganaislamika.com/snouck-hurgronye-dan-islam-nusantara-3/

[3] Menurut keterangan Anwar Tjokroaminoto, ayahnya bukanlah seseorang yang terbiasa memakai sarung. Akan tetapi potret Pak Tjokro yang terkenal ialah potret Pak Tjokro yang memakai sarung, jas tutup, peci, dan sandal. Potret itu (menurut Pak Roem) dibuat pada 1915 dan kemudian seorang pelukis potret yang terkenal, Haji Zainal, membuat lukisan berwarna berdasarkan potret asli.Lihat, https://nuun.id/pak-tjokro-memakai-sarung, diakses 12 Januari 2018

[4] Lihat, http://www.muslimoderat.net/2017/10/kh-wahab-chasbullah-kiai-yang-selalu.html, diakses 13 Januari 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*