Terkena Badai, Aminah terbaring dan nafasnya mulai tersengal-sengal. Dalam kondisi lemah itu dia berbisik, “Setiap yang hidup akan mati, setiap yang baru akan usang, dan setiap yang besar akan lenyap.”
Muhammad kecil menikmati kehidupan barunya dengan anak-anak pamannya. Hari-hari di Kota Yastrib dipenuhi keriangan dengan bermain panahan, layang-layang, dan berenang di kolam. Suasana gembira di tengah keluarga Bani Najjar itu tiba-tiba terusik oleh rencana jahat segelintir Yahudi Yatsrib.
Barakah Ummu Aiman, pelayan setia Nabi, pernah mengisahkan sebuah peristiwa di Yastrib bagaimana sekelompok orang Yahudi berselisih paham lalu mereka meminta pendapat kepada bocah Muhammad. Ummu Aiman berkata, “Aku mendengar salah seorang dari mereka berkata, ‘Dialah Nabi umat ini, dan inilah tempat hijrahnya.’.”[1]
Lalu, diantara mereka ada yang merencanakan penculikan setelah melihat tanda-tanda khusus pada anak kecil istimewa tersebut, yang mengisyaratkan masa depan cemerlang sang anak.
Sambil memandangi Muhammad, seorang Rabi diantara mereka mengatakan, “Tidakkah sifat-sifat si kecil ini persis sama dengan apa yang tertulis di Kitab Taurat yang diturunkan kepada kita? Sifat-sifat seorang nabi yang akan diutus dari bangsa Arab dengan membawa agama baru?”[2]
Sebagian yang lain juga mengatakan, “Kita menculiknya dan menyembunyikannya di sebuah benteng yang kuat. Hingga dia tumbuh besar dan tidak tahu apa-apa selain orang Yahudi, agama Yahudi, dan tradisi orang-orang Yahudi.”[3] Namun, rencana ini kemudian tercium keluarga besar Bani Najjar, sehingga mereka mempercepat rencana kepulangan Aminah kembali ke Makkah.
Seperti diketahui, keberadaan orang-orang Yahudi di Kawasan Yastrib bisa dilacak sejak perpindahan Bani Israil ke Semenanjung Arab sekitar enam abad sebelum Masehi.[4] Bahkan, ada yang menyebut permulaan hijrah orang Yahudi ke Yatsrib sejak Nabi Musa as menunaikan ibadah haji ke Makkah. Setelah mengunjungi Makkah, Nabi Musa kembali pulang melalui jalur Yatsrib.[5]
Begitu singgah di Yastrib, Nabi Musa memberitahu pengikutnya bahwa di situlah tempat hijrah nabi akhir zaman. Sehingga, beliau mengisyaratkan kepada kaum Bani Israil untuk menetap di sana. Berharap orang-orang Yahudi akan sampai pada zaman nabi akhir zaman itu. Makanya, pada era Yusya, washi Nabi Musa, sekelompok orang Yahudi telah mulai berhijrah ke Kawasan Yastrib.[6]
Dengan demikian, orang-orang Yahudi telah berdiam lama di Kawasan Yatsrib. Berdasarkan catatan sejarah hingga permulan abad ketujuh, terdapat tiga suku besar yang mendiami Yatsrib, yakni Qainuqo, Nazhir, dan Quraizah. Bani Qainuqo mengklaim sebagai keturunan Nabi Yusuf as, sedangkan Bani Nazhir dan Quraizhah dari keturunan Nabi Harun as.[7]
Ketiga suku ini diketahui kaya raya dan sangat berkuasa di Yatsrib. Bahkan, mereka berhasil menundukkan dua suku Arab penting di Yastrib, Aus dan Khazraj, dengan jerat utang. Dikabarkan dua suku ini memiliki banyak utang kepada konglomerat Yahudi yang agaknya mustahil terlunasi.[8] Sehingga, di kawasan ini mereka mempunyai kekuasaan otonom; bebas menjalankan ibadah dan budaya, memilih pemimpin sendiri dan mengadakan perjanjian dengan kekuasaan manapun.[9]
Selain berprofesi sebagai petani, orang-orang Yahudi ini juga pengelola industri, bisnis, dan perdagangan sehingga menjadi pengendali ekonomi Yastrib.[10] Mereka juga memonopoli industri alat-alat perang dan mengontrol jalur perdagangan Makkah menuju Syam yang singgah di Yatrsib. Sehingga, kota ini menjadi pusat urban terpenting kedua di Semenanjung Arabia setelah Makkah.
Alhasil, rencana jahat segelintir Yahudi itu menjadikan Aminah tersadar akan bahaya besar jika berlama-lama di Yatsrib. Setelah sebulan lamanya melepas rindu kepada kubur suami tercinta, Aminah kemudian menunjuk Barakah, mengisyaratkan untuk segera bergegas pulang ke Makkah.
Untuk terakhir kalinya, Aminah dan anak yatim itu mengunjungi kubur Abdullah sambil berpamitan dan menyampaikan salam perpisahan. Keluarga Bani Najjar melepas dengan haru kepergian kafilah yang membawa Aminah dan rombongan pulang.
Saat itu cuaca demikian panas. Angin yang membawa hawa panas Padang Sahara itu disertai sesekali badai gurun yang menerjang dengan debu dan pasir. Beberapi kali perjalanan mesti dihentikan, karena mesti menunggu redanya badai gurun tersebut.
Sementara Aminah mulai merasakan tubuhnya melemah akibat perjalanan dengan cuaca yang tak menentu itu. Hanya 38 kilometer dari jarak kuburan suaminaya, Aminah tak mampu menunggang unta lagi dan terpaksa berhenti di Desa Abwah.[11]
Rombongan kemudian berhenti dan beristirahat. Aminah terbaring dan nafasnya mulai tersengal-sengal. Dalam kondisi lemah itu dia berbisik, “Setiap yang hidup akan mati, setiap yang baru akan usang, dan setiap yang besar akan lenyap.”[12]
Lalu suara itu perlahan menghilang ditelan kebisuan dalam ketiadaan. Muhammad memeluk jasad ibunya. Memanggil-manggilnya tapi tak memperoleh jawaban dan akhirnya tangis pun pecah. Kini, sempurna sudah anak kecil itu menjadi sebatang kara.
Perjalanan ke Yastrib ternyata membawa kesedihan lain bagi Nabi dengan kehilangan ibunda tercinta. Sedemikian, sehingga pada tahun ketiga hijrah, ketika Rasulullah dalam perjalanan beliau melewati Abwah, para sahabat memperhatikan beliau terus berjalan hingga suatu titik dan berhenti.
Lalu beliau duduk dan berdoa dengan kesedihan mendalam sehingga air matanya membasahi pipinya. Ketika ditanya mengapa beliau menangis, Nabi menjawab, “Di sini ibuku dikuburkan, lima puluh tahun silam aku menguburkan ibuku di tempat ini.”[13] (SN)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Lihat Ibnul Jauzi, Al-Wafa Kesempurnaan Pribadi Nabi, (Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal 95.
[2] Lihat Abdul Salam Al-Asyri, Aminah Permata Padang Pasir, (Penerbit Republika, 2019), hal 145.
[3] Ibid, hal 146.
[4] Lihat Sayid Ja’far Arif Kashfi, Muhammad Saw dan Kaum Yahudi, (Titisan, 2016), hal 179.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid, hal 182.
[8] Lihat Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah Saw: Sejarah Lengkap Kehidupan dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur & Barat, (Zahra, 2004), hal 229.
[9] Sayid Ja’far Arif Kashfi, Op.Cit, hal 184-185.
[10] Sayed Ali Asgher Razwy, Op.Cit, hal 229.
[11] Lihat Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah, Kurun Mekah, (Tama Publisher, 2005), hal 98.
[12] Lihat Aisyah Abdurrahman binti Syathi’, Sayidah Aminah, Ibunda Nabi Muhammad SAW, (Lentera, 2004), hal 235.
[13] Lihat Murthada Muthahhari, Sirah Sang Nabi, (Al-Huda, 2006), hal 163.