Setiap kali melewati lembah Bani Najjar di Yatsrib, Rasulullah memandangi rumah itu dengan mata yang berkaca-kaca sambil berkata, “Aku tinggal di rumah ini bersama ibuku dan ini adalah makam ayahku.”
Kota Makkah kala itu demikian panas. Terik matahari seakan membakar batu dan melelehkan pasir ketika Sayidah Aminah, anaknya, dan pelayan setia Barakah Ummu Aiman bersiap untuk sebuah perjalanan sepanjang 400 km yang melelahkan.[1]
Aminah lalu pergi ke Haram untuk bertawaf mengelilingi Kabah. Suara ringkihan unta telah bercampur dengan kebisingan para pedagang, yang menandakan rombongan akan mulai berjalan.
Ketika penyeru mengumumkan keberangkatan, Aminah menggendong anaknya kemudian menaiki untanya. Bersama Barakah, mereka mengendarai dua ekor unta, siap untuk berangkat menuju Yatsrib bersama rombongan kafilah dagang ke arah utara menuju ke Syam (Suriah) pada 577 M.[2]
Aminah menyampaikan salam perpisahan kepada Makkah, ketika bayang-bayang Ummul Qura itu perlahan-lahan menghilang di balik gunung dan lembah padang pasir.
Kota Yastrib terletak di sebelah timur Makkah. Kota ini juga dikenal sebagai pusat pertanian dan perdagangan di jazirah Arab. Asal mula penamaan Yatsrib, menurut sebagian sejarawan merujuk pada salah seorang anak keturunan Nabi Nuh as, yakni Yatsrib bin Qaniyah bin Mahlail bin Iram bin Abil bin Aush bin Iram bin Sam bin Nuh.[3] Dengan bermukimnya Yastrib dan anak keturunannya di sana, maka kemudian daerah tersebut dinamakan Yatsrib.
Kendati demikian, ada pula sejarawan yang menyebut daerah itu sudah lama dikenal sebagai “Medinta” atau “Medinto” dalam bahasa Aramik, yang pengertiannya sama dengan “Madinah” dalam bahasa Arab.[4] Belakangan, Nabi menamainya sebagai “al-Madinah” atau “Madinat al-Nabiy”.
Seperti halnya Makkah, maka Yatsrib juga terdiri dari berbagai distrik wilayah yang ditempati koloni dari suku Aus, Khazraj, dan Yahudi.[5]
Berbeda dengan Makkah yang terik, cuaca di Yatsrib lebih nyaman dan tenang. Di sini debit air juga banyak, sehingga wajar menjadi daerah pertanian. Oleh kerena itu, penduduk Yatsrib dapat menanam kurma lebih mudah dan umumnya setiap rumah bisa memiliki sumur dengan hanya menggali beberapa meter saja.[6]
Yatsrib juga merupakan tempat peristirahatan terakhir suami Aminah, Abdullah bin Abdul Muthalib, setelah berpamitan dalam sebuah ekspedisi dagang ke Syam sekira tujuh tahun yang silam.
Aminah tahu bahwa perjalanan di tengah padang pasir yang panas ini penuh resiko. Namun, kerinduannya untuk berziarah ke kuburan suaminya di Yastrib mengalahkan sejumlah bayangan rintangan tersebut.[7]
Akhirnya, rombongan itu tiba di Yatsrib. Mereka berpisah dengan kafilah dagang untuk menuju distrik klan Bani Adi an-Najjar, saudara-saudara dari pihak suaminya.[8] Seperti diketahui, Syaibah alias Abdul Muthalib merupakan putra Salmah dari Bani Adi an-Najjar, istri Hasyim, datuk kedua Nabi.[9]
Aminah disambut dengan hangat oleh keluarga Bani Najjar. Klan ini merupakan pecahan keturunan Khazraj yang bersama klan Aus tergabung dalam Bani Qailah.[10]
Bani Najjar memang dikenal memiliki kedudukan dan kemuliaan di Yatsrib. Di antaranya yang terkenal adalah Abu Wahab bin Amr, paman Abdul Muthalib. Abu Wahab namanya masyhur di Makkah, suatu ketika dia pernah menghalang-halangi orang Quraisy ketika mereka sedang merenovasi bangunan Kabah.
Dia berujar, “Wahai orang-orang Quraisy, dalam membangunnya kalian jangan menggunakan harta kalian kecuali yang baik, jangan sampai masuk ke Kabah upah pelacuran, riba, dan hasil kezaliman seseorang dari orang lain.”[11]
Klan Najjar ini juga pernah menggemparkan Makkah, yaitu ketika Abdul Muthalib tiba di Makkah, namun diperlakukan secara tidak adil dalam sengketa warisan mendiang ayahnya, Hasyim. Sebagai bentuk respon atas perlakuan tidak adil itu, Bani Najjar mengirim delapan puluh pemuda ke Makkah dan menuntut perlakuan yang adil bagi putra Salmah itu.[12]
Dalam tradisi Arab, jikaa seorang lelaki menikah ke dalam suatu kaum atau suku lain, maka semua orang dalam kaum atau suku itu akan dianggap sebagai paman dari anak-anak dan cucu-cucunya selama beberapa waktu.
Karena itulah keluarga al-Najjar disebut pula sebagai paman-paman Nabi. Untuk itulah, kunjungan ke Bani Najjar ini menjadi penting kelak ketika hijrah Nabi, saat klan Quraisy memburunya, maka Bani Najjar mengulurkan tangan sebagai penolong (Anshar).[13]
Muhammad kecil dan ibunya tinggal selama satu bulan di rumah An-Nabighah.[14] Di sana Muhammad yang kini telah berusia enam tahun itu bermain bersama teman sebayanya. Mulai belajar berenang dengan menyeburkan diri ke dalam pemandian Bani Najjar hingga bermain layang-layang.[15]
Demikianlah hingga 47 tahun kemudian, Rasulullah saw mengenang kembali kisah indah sewaktu tinggal di rumah Bani Adi bin Najjar, beliau berkata, “Aku pernah bermain dengan seorang gadis sahaya yang ramah dari golongan Anshar di atap bangunan-bangunan ini. Aku juga ditemani oleh anak-anak pamanku. Kami menerbangkan seekor burung yang jatuh di atap itu.”[16]
Bahkan, setiap kali melewati lembah Bani Najjar, Muhammad memandangi rumah itu dengan mata yang berkaca-kaca sambil berkata, “Aku tinggal di rumah ini bersama ibuku dan ini adalah makam ayahku.”[17]
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Lihat Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad, Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih, (Lentera Hati, 2018), hal 231.
[2] Lihat Martin Lings, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, (Serambi, 2016), hal 37.
[3] Lihat Jawwad Ali, Sejarah Arab Sebelum Islam–Buku 4: Kondisi Sosial – Budaya, (Alvabet, 2019), hal 91.
[4] Ibid, hal 93.
[5] Ibid.
[6] Ibid, hal 95.
[7] Lihat Aisyah Abdurrahman binti Syathi’, Sayidah Aminah, Ibunda Nabi Muhammad SAW, (Lentera, 2004), hal 228.
[8] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Tintamas, 1984), hal 61.
[9] Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah, Kurun Mekah, (Tama Publisher, 2005), hal 96.
[10] Ibid, hal 97.
[11] Aisyah Abdurrahman binti Syathi’, Op.Cit, hal 227.
[12] Fuad Hashem, Op.Cit, hal 97.
[13] Ibid.
[14] Berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas. Lihat Ibnul Jauzi, Al-Wafa Kesempurnaan Pribadi Nabi, (Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal 95.
[15] Martin Lings, Op.Cit. hal 37.
[16] Ibnul Jauzi, Op.Cit, hal 95.
[17] Lihat Javad Behesty, My Simbol, Muhammad Jati Diriku, (Al-Huda, tanpa tahun), hal 18.