Mozaik Peradaban Islam

Seumur Hidup Rasulullah Hanya Sakit Dua Kali, ini Rahasianya

in Ramadania


Mengapa Rasulullah jarang sakit? Pertanyaan ini menarik untuk dikemukakan. Secara lahiriah, Rasulullah SAW jarang sakit karena mampu mencegah hal-hal yang berpotensi mendatangkan penyakit.


Konon, selama hidupnya Rasulullah SAW hanya sakit dua kali. Yaitu setelah menerima wahyu pertama, ketika itu beliau mengalami demam hebat. Kemudian, sewaktu menjelang beliau wafat. Saat itu beliau mengalami sakit yang sangat parah, hingga akhirnya meninggal dunia.

Hal ini memperjelas gambaran bahwa beliau memiliki fisik sehat dan daya tahan luar biasa. Padahal kondisi alam Jazirah Arabia waktu itu terbilang keras, tandus, dan kurang bersahabat. Maka siapa pun yang mampu bertahan puluhan tahun dalam kondisi tersebut, plus berpuluh kali mesti menghadapi peperangan yang dijalaninya, pastilah memiliki daya tahan tubuh yang sangat luar biasa.

Mengapa Rasulullah jarang sakit? Pertanyaan ini menarik untuk dikemukakan. Secara lahiriah, Rasulullah SAW jarang sakit karena mampu mencegah hal-hal yang berpotensi mendatangkan penyakit. Dengan kata lain, beliau sangat menekankan aspek pencegahan daripada pengobatan.

Jika kita telaah Alquran dan Sunah, maka kita akan menemukan sekian banyak petunjuk yang mengarah pada upaya pencegahan.

Hal ini mengindikasikan betapa Rasulullah sangat peduli terhadap kesehatan. Dalam Shahih Bukhari saja tak kurang dari 80 hadis yang membicarakan masalah ini.

Belum lagi yang tersebar luas dalam kitab Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Tirmidzi, Baihaqi, Ahmad, dsb.

Bagaimana Cara Rasulullah Menjaga Kesehatan?

Ada beberapa kebiasaan positif yang membuat Rasulullah SAW selalu tampil fit dan jarang sakit. Di antaranya:

Pertama, selektif terhadap makanan. Tidak ada makanan yang masuk ke mulut beliau, kecuali makanan tersebut memenuhi syarat halal dan thayyib (baik).

Halal berkaitan dengan urusan akhirat, yaitu halal cara mendapatkannya dan halal barangnya. Sedangkan thayyib berkaitan dengan urusan duniawi, seperti baik tidaknya atau bergizi tidaknya makanan yang dikonsumsi.

Salah satu makanan kegemaran Rasul adalah madu. Beliau biasa meminum madu yang dicampur air untuk membersihan air liur dan pencernaan.

Rasulullah bersabda,”Hendaknya kalian menggunakan dua macam obat, yaitu madu dan Alquran.”(HR. Ibnu Majah dan Hakim)

Kedua, tidak makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Aturannya, kapasitas perut dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu sepertiga untuk makanan (zat padat), sepertiga untuk minuman (zat cair), dan sepertiga lagi untuk udara (gas).

Disabdakan,”Anak Adam tidak memenuhkan suatu tempat yang lebih jelek dari perutnya. Cukuplah bagi mereka beberapa suap yang dapat memfungsikan tubuhnya. Kalau tidak ditemukan jalan lain, maka (ia dapat mengisi perutnya) dengan sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk pernafasan.”(HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).

Ketiga, makan dengan tenang, tuma’ninah, tidak tergesa-gesa, dengan tempo sedang. Apa hikmahnya? Cara makan seperti ini akan menghindarkan tersedak, tergigit, kerja organ pencernaan pun jadi lebih ringan.

Makanan pun bisa dikunyah dengan lebih baik, sehingga kerja organ pencernaan bisa berjalan sempurna. Makanan yang tidak dikunyah dengan baik akan sulit dicerna. Dalam jangka waktu lama bisa menimbulkan kanker di usus besar.

Keempat, cepat tidur dan cepat bangun. Beliau tidur di awal malam dan bangun pada pertengahan malam kedua.

Biasanya, Rasulullah SAW bangun dan bersiwak, lalu berwudhu dan salat sampai waktu yang diizinkan Allah.

Beliau tidak pernah tidur melebihi kebutuhan, namun tidak pula menahan diri untuk tidur sekadar yang dibutuhkan. Terkait hal ini, penelitian Daniel F Kripke, ahli psikiatri dari Universitas California menarik untuk diungkapkan.

Penelitian yang dilakukan di Jepang dan AS selama 6 tahun dengan responden berusia 30-120 tahun mengatakan bahwa orang yang biasa tidur 8 jam sehari memiliki resiko kematian yang lebih cepat.

Sangat berlawanan dengan mereka yang biasa tidur 6-7 jam sehari. Nah, Rasulullah biasa tidur selepas Isya untuk kemudian bangun malam. Jadi beliau tidur tidak lebih dari 8 jam.

Cara tidurnya pun sarat makna. Ibnul Qayyim Al Jauziyyah dalam buku Metode Pengobatan Nabi mengungkapkan bahwa Rasul tidur dengan memiringkan tubuh ke arah kanan, sambil berzikir kepada Allah hingga matanya terasa berat.

Terkadang beliau memiringkan badannya ke sebelah kiri sebentar, untuk kemudian kembali ke sebelah kanan.

Tidur seperti ini merupakan tidur paling efisien. Pada saat itu makanan bisa berada dalam posisi yang pas dengan lambung sehingga dapat mengendap secara proporsional.

Lalu beralih ke sebelah kiri sebentar agar proses pencernaan makanan lebih cepat karena lambung mengarah ke lever, baru kemudian berbalik lagi ke sebelah kanan hingga akhir tidur agar makanan lebih cepat tersuplai dari lambung.

Hikmah lainnya, tidur dengan miring ke kanan menyebabkan beliau lebih mudah bangun untuk salat malam.

Kelima, istiqamah melakukan puasa Sunah di luar puasa Ramadan. Karena itu, kita mengenal beberapa puasa Sunah yang beliau anjurkan, seperti Senin-Kamis, Ayyamul Bidh, puasa Daud, puasa enam hari di bulan Syawal, dsb.

Puasa adalah perisai terhadap berbagai macam penyakit jasmani maupun ruhani. Pengaruhnya dalam menjaga kesehatan, melebur berbagai ampas makanan, menahan diri dari makanan berbahaya sangat luar biasa.  Selain itu, puasa menjadi obat penenang bagi stamina dan organ tubuh sehingga energinya tetap terjaga. Puasa juga sangat ampuh untuk detoksifikasi (pembersihan racun) yang sifatnya total dan menyeluruh.

Selain lima cara hidup sehat ini, masih banyak kebiasaan Rasulullah SAW yang layak kita teladani. Di antaranya adalah cara bersuci, cara memanjakan mata, keutamaan berkhitan, keutamaan senyum, dsb.

Yang tak kalah penting dari ikhtiar lahir, Rasulullah sangat mantap dalam ibadah ritualnya, khususnya dalam salat. Beliau pun memiliki keterampilan paripurna dalam mengelola emosi, pikiran dan hati.

Penelitian-penelitian terkini dalam bidang kesehatan membuktikan bahwa kemampuan dalam mengelola hati, pikiran, dan perasaan, serta ketersambungan yang intens dengan Dzat Yang Mahatinggi akan menentukan kualitas kesehatan seseorang, jasmani maupun ruhani. (EH)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*