Orang-orang Indonesia yang belajar di tanah Arab seringkali mencari ulama Kurdi sebagai guru-guru mereka. Seolah-olah ada persaudaraan atau ikatan batin antara orang Indonesia dan orang Kurdi.
Segera setelah orang-orang Indonesia masuk Islam, peranan penting dalam proses Islamisasi yang berlangsung terus menerus itu dilakukan oleh orang-orang Indonesia itu sendiri. Mereka mengadakan perjalanan ke Makkah dan kota-kota suci lainnya untuk mencari pemahaman yang lebih mendalam mengenai Islam.
Walaupun jaraknya sangat jauh dan perjalanannya sulit, banyak orang Indonesia yang menunaikan ibadah Haji, dan mereka seringkali menetap beberapa tahun di tanah Arab untuk belajar.
Jika kita menengok abad ke-17, Islam di Indonesia sangat kental dengan corak India, yaitu dengan adanya Tarekat Syattariyah yang begitu populer. Syattariyah adalah tarekat asal India, dan teks-teks tasawuf pada masa itu yang dipelari di Indonesia, adalah teks-teks yang juga populer di India.
Namun apakah teks-teks tersebut didapat orang Indonesia dari para Muslim India? Ternyata tidak, mereka justru mendapatkannya dari guru-guru mereka di Makkah dan Madinah. Merekalah yang membaiat orang-orang Indonesia untuk menjadi pengikut Tarekat Syattariyah.
Dan yang paling berpengaruh di antara guru-guru ini adalah seorang guru yang berasal dari Kurdi, dia adalah Ibrahim al-Kurani.
Dan di samping Ibrahim, orang-orang Indonesia yang belajar di tanah Arab seringkali mencari ulama Kurdi sebagai guru-guru mereka. Seolah-olah ada persaudaraan atau ikatan batin antara orang Indonesia dan orang Kurdi.
Sebagian, hal ini mungkin disebabkan karena orang Indonesia, paling tidak menjelang abad ke-17, adalah penganut mazhab fiqih Imam Syafii, sebagaimana juga orang-orang Kurdi. Tetapi hal ini hampir tidak dapat dijadikan sebagai alasan tunggal, karena fiqih bukanlah mata pelajaran utama yang mereka pelajari dari para guru Kurdi tersebut. Di bidang tasawuf dan ibadahlah terletak tali persaudaraan yang dekat antara orang Islam Indonesia dan Kurdi.
Di antara ulama-ulama Indonesia yang diketahui menjadi murid Ibrahim al-Kurani adalah Abdul Rauf Singkel (al-Sinkili, atau juga dikenal dengan al-Fansuri), yang hidup pada tahun 1620-1695. Ulama Indonesia lainnya adalah Yusuf Makassar, yang hidup sezaman dengan Abdul Rauf Singkel dan sangat terkenal.
Di luar kedua orang itu tampaknya Ibrahim al-Kurani masih mempunyai banyak lagi murid Indonesia walaupun nama mereka satu pun tidak diketahui. Jumlah mereka banyak, dan Ibrahim menghabiskan banyak waktu dan tenaganya untuk mereka. Tetapi bukti tentang hal ini hanya bersifat tidak langsung. Demikian Martin Van Bruinessen memaparkan.
Dalam buku otobiografi intelektualnya yang berjudul Al-Amam li-Iqazh Al-Hi-mam, Ibrahim al-Kurani menuliskan nama berbagai gurunya dan bidang studi yang telah dia pelajari. Meskipun di awal tadi telah disebutkan bahwa Ibrahim al-Kurani mengajarkan Tarekat Syattariyah kepada orang-orang Indonesia, tapi sebenarnya tarekat utamanya adalah Naqsyabandiyah.
Bukan hanya itu, Ibrahim juga adalah pemegang ijazah dari Tarekat Qadiriyah dan Cisytiyah. Kedua tarekat yang disebutkan terakhir ini adalah tarekat yang juga populer di India.
Pada tahun 1661, al-Qusyasyi, yaitu guru Tarekat Syattariyah Ibrahim, meninggal dunia. Ibrahim kemudian menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi Tarekat Syattariyah (dengan kombinasi Tarekat Naqsyabandiyah dan Qadiriyah), dan menjadi anggota kelompok kecil ulama Madinah yang tidak tertandingi.
Ibrahim kemudian meninggal dunia pada tahun 1690, putranya yang bernama Muhammad Abu Tahir (yang pada saat itu baru berumur 20 tahun) menggantikannya sebagai syaikh tarekat. Van Bruinessen menemukan catatan sejarah yang menyebutkan bahwa nama Muhammad Abu Tahir adalah guru dari beberapa orang Indonesia.[1]
Jika kita melihat fakta-fakta di atas, orang Kurdi, yang direpresentasikan oleh Ibrahim al-Kurani, adalah para tokoh kunci yang menjadi penyebar awal dari tarekat-tarekat yang populer di Indonesia (dan juga India), yaitu Tarekat Syattariyah, Naqsyabandiyah, dan Qadiriyah.
Di Indonesia, misalnya, ada sebuah tradisi Islam yang disebut dengan Manaqiban, terambil dari bahasa Arab manaqib, yang merupakan jamak dari kata manqobah yang berarti beberapa kebaikan atau keindahan. Kegiatan manaqiban diisi dengan pembacaan riwayat hidup atau biografi seorang tokoh teladan seperti para nabi, tabiin, tabiittabiin, waliyyullah, dan ulama.
Tradisi manaqiban ini ternyata dipopulerkan oleh para ulama Indonesia yang menjadi pengikut – atau paling tidak terpengaruh – Tarekat Naqsyabandiyah dan Qadiriyah. Pusat-pusat manaqiban di antaranya ada di Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak, dengan perintisnya Rama KH. Muslih Abdurrahman; Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus, Jawa Tengah dengan tokoh sentralnya Rama KH. M. Arwani Amin; dan Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat di bawah bimbingan Abah Anom.[2]
Ke depan, kita masih akan melihat, setelah wafatnya Ibrahim al-Kurani, apakah tersebarnya tarekat-tarekat yang populer di Indonesia tersebut masih karena peranan orang Kurdi lainnya atau bukan. (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Mizan: Bandung, 1995), hlm 78-82.
[2] Nur Said, Manaqiban, dalam Suwendi, Mahrus, Muh. Aziz Hakim, dan Zulfakhri Sofyan Pono (tim editor), Ensiklopedi Islam Nusantara: Edisi Budaya (Kementrian Agama RI: Jakarta, 2018), hlm 260, 264.