“Penggunaan bulan sabit dan bintang sebagai simbol keagamaan sudah jauh lebih dahulu digunakan sebelum masa Islam. Simbol ini telah digunakan beberapa ribu tahun sebelumnya.”
–O–
Saat ini telah diakui secara luas bahwa bulan sabit dan bintang merupakan simbol agama Islam. Bagaimanapun, simbol ini ditampilkan pada bendera beberapa negara Muslim dan bahkan menjadi bagian dari lambang resmi untuk Federasi Palang Merah Internasional dan Bulan Sabit Merah (International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies), organisasi internasional untuk bantuan kemanusiaan. Bukan hanya Islam, tiga agama samawi dunia juga diketahui memiliki simbolnya masing-masing: Yahudi memiliki bintang Daud, Kristen memiliki salib, dan Islam memiliki bulan sabit dan bintang – setidaknya seperti yang diduga. Namun, apabila dilihat dari asal-usulnya, khusus untuk Islam, kenyataannya sedikit lebih rumit.[1]
Jika tidak dikatakan mayoritas, paling tidak, untuk kasus Indonesia, sangat banyak masjid yang menempelkan hiasan bulan sabit dan bintang di atas kubahnya. Tidak hanya itu, beberapa organisasi atau partai politik di Indonesia yang mengasosiasikan dirinya dengan Islam juga menggunakan bulan sabit dan bintang sebagai lambang organisasinya. Organisasi yang menggunakannya di antaranya Sarekat Dagang Islam atau Sarekat Islam (SI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), dan lain-lain. Sementara itu partai politik yang menggunakannya adalah Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Ummat Islam (PUI), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Sira Aceh, dan lain-lain. Belum lagi apabila kita menyebutkan organisasi-organisasi lain yang skalanya lebih kecil, sangat banyak jumlahnya.
Meskipun pada saat ini, secara luas telah diakui bahwa simbol bulan sabit dan bintang merupakan simbol Islam, namun keberadaannya sebenarnya sudah terlacak jauh hari sebelum agama Islam itu sendiri dilahirkan. Apabila mengacu kepada kandungan Alquran, bahkan sejak masa Nabi Adam pun dapat dikatakan bahwa beliau adalah Nabinya Islam. Namun untuk memudahkan pengkajian, yang dimaksud masa Islam di sini adalah ketika Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi.
Masa Pra-Islam
Penggunaan bulan sabit dan bintang sebagai simbol sebenarnya sudah jauh lebih dahulu digunakan sebelum masa Islam. Simbol ini telah digunakan beberapa ribu tahun sebelumnya. Namun informasi tentang asal-usul simbol ini sulit untuk dikonfirmasi, tetapi sebagian besar sumber setuju bahwa simbol astronomi kuno ini pernah digunakan oleh masyarakat Asia Tengah dan Siberia dalam pemujaan mereka terhadap dewa-dewa matahari, bulan, dan langit. Ada juga laporan yang mengatakan bahwa bulan sabit dan bintang digunakan untuk mewakili dewi Carthaginian, Tanit, atau dewi Yunani, Diana.[2]
Sementara itu, dari segi artefak sejarah, telah ditemukan bukti nyata yang menyatakan bahwa simbol bulan sabit atau bintang memang pernah digunakan untuk pemujaan atau religiusitas. Sebagai contoh, Raja Ur-Nammu (berkuasa 2047-2030 SM), pendiri Dinasti ke-3 Ur di Sumeria, yang dikenal sebagai raja pertama di dunia yang menciptakan kode hukum untuk negaranya yang dituangkan ke dalam bentuk inkripsi atau batu tulis.[3] Salah satu peninggalan Ur-Nammu adalah batu tulis yang menggambarkan Ur-Nammu yang sedang melakukan pemujaan terhadap Sin atau Enzu (Dewa Bulan).[4]
Selain itu pada masa selanjutnya ada Raja Melishipak II (sekitar tahun 1186-1172 SM), salah satu raja Babilonia, yang memberikan hadiah batu tulis (Kudurru) untuk anaknya, Marduk-apal-iddina. Di dalam batu tulis tersebut digambarkan, sang raja mempersembahkan anaknya kepada Dewi Nanaya. Di atas mereka terdapat simbol Shamash (Dewa Matahari), Sin (Dewa Bulan), dan Inana/Ishtar (Dewi Cinta dan Perang, atau juga direpresentasikan sebagai Dewi Venus. Simbol yang digunakannya adalah bintang).[5]
Pada masa selanjutnya, yaitu pada masa Kota Yunani Bizantium (sekitar tahun 340 SM, sebelum masa Romawi), juga ditemukan simbol bulan sabit dan bintang yang berkaitan dengan pemujaan dan religiusitas. Menurut legenda, ketika Philip dari Macedonia (ayah dari Alexander Agung) mengepung Byzantium, tiba-tiba di langit muncul cahaya yang memperingatkan penduduk agar bersiap untuk mempertahankan dinding kota dari serangan mendadak di malam hari. Sebagai bentuk terimakasih terhadap Dewi Bulan, Hecate, penduduk kota mengabadikan momen tersebut ke dalam bentuk koin yang bergambar bintang dan bulan sabit pada mata uang lokalnya. Kebiasaan ini kemudian terus berlanjut sampai masa Kekaisaran Romawi (27 SM-1453 M).[6]
Masuk ke masa Kekaisaran Sasania Persia (224-651 M) yang masa hidupnya bersamaan dengan Kekaisaran Romawi awal. Selama lebih dari 400 tahun mereka bertempur dengan Romawi dan Konstantinopel, menahan gelombang serangan dari orang-orang stepa Asia Tengah, dan membuat Jalur Sutra China terbuka. Ia mempertahankan mata uang yang stabil di negara multi-etnis yang sering dilanda konflik agama dan politik, dan sepanjang waktu itu sekitar 30 raja Sasania dan dua ratu yang masa kekuasaannya pendek menerbitkan sejumlah koin.[7]
Di antara koin-koin itu, terdapat sebuah koin dengan ornamen bulan sabit dan bintang. Koin tersebut diterbitkan pada tahun 610 M, pada sisi muka terdapat gambar Raja Khosrau II (590-628 M) yang menggunakan mahkota bersayap, pada bagian puncak mahkota itu terdapat simbol bulan sabit dan bintang. Di sekeliling wajah Khosrau II terdapat tulisan yang artinya, “Khosrau, raja dari para raja, semoga dia selalu berjaya.” Di baliknya terdapat wajah Dewi Anahita yang dilingkari rantai api, dan terdapat tulisan, “Iran telah berjaya.”[8]
Artefak-artefak sejarah pra-Islam yang menggunakan simbol bulan sabit dan bintang umumnya selalu dihubungkan dengan sesuatu yang bersifat pemujaan atau religius, meskipun konsep ketuhanan mereka masih bersifat politeisme (lebih dari satu Tuhan). Terkait penggunaan simbol bulan sabit dan bintang di masa Islam, akan dibahas kemudian dalam sambungan artikel ini. (PH)
Bersambung ke:
Simbol Bulan Sabit dan Bintang dalam Islam (2): Masa Nabi Muhammad SAW
Catatan Kaki:
[1] Huda, “A History of the Crescent Moon in Islam”, dari laman https://www.thoughtco.com/the-crescent-moon-a-symbol-of-islam-2004351, diakses 9 November 2018.
[2] Ibid.
[3] Joshua J. Mark, “Ur-Nammu”, dari laman https://www.ancient.eu/Ur-Nammu/, diakses 9 November 2018.
[4] Leonard William King, “Babylonian Religion and Mythology”, dari laman https://www.wisdomlib.org/mesopotamian/book/babylonian-religion-and-mythology/d/doc7089.html, diakses 9 November 2018.
[5] Jennie Myers, “Kudurru of King Melishipak II”, dari laman http://teachmiddleeast.lib.uchicago.edu/historical-perspectives/the-question-of-identity/before-islam-mesopotamia/image-resource-bank/image-13.html, diakses 9 November 2018.
[6] Mike Markowitz, “The Star and Crescent on Ancient Coins”, dari laman https://coinweek.com/ancient-coins/star-crescent-ancient-coins/, diakses 9 November 2018.
[7] Mike Markowitz, “Ancient Coins – Those Sassy Sasanians: Persian Coinage of Late Antiquity”, dari laman https://coinweek.com/featured-news/ancient-coins-those-sassy-sasanians-persian-coinage-of-late-antiquity/, diakses 9 November 2018.
[8] Ibid.