Mozaik Peradaban Islam

Simbol Bulan Sabit dan Bintang dalam Islam (2): Masa Nabi Muhammad SAW

in Budaya Islam

Last updated on November 14th, 2018 12:27 pm

“Pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, tidak ditemukan satupun riwayat yang menceritakan penggunaan simbol bulan sabit dan bintang sebagai identitas bagi masyarakat Muslim.”

–O–

Pada masa politeisme, simbol bulan sabit dan bintang – atau berbagai macam simbol lainnya – dikaitkan dengan penyembahan terhadap sesuatu yang mereka anggap agung dan transendental. Lalu bagaimana dengan Islam? Apakah ketika seorang Muslim shalat artinya mereka sedang menyembah Ka’bah? Dalam artian Ka’bah itulah “Tuhan”-nya umat Islam. Jawabannya tidak. Simak riwayat berikut ini sebagaimana disampaikan oleh Ata’ bin Abi Rabah yang dikutip oleh al-Tabari:

“Kemudian Allah SWT memberi tahu Adam: ‘Aku memiliki wilayah suci di sekitar tahta-Ku. Pergi dan bangun rumah untukku di sana! Kemudian tawaflah di sekitarnya, seperti yang telah engkau lihat malaikat-Ku bertawaf di sekeliling tahta-Ku. Di sana Aku akan menjawabmu dan semua anakmu yang taat kepada-Ku’.”[1]

Riwayat di atas menggambarkan kisah ketika Adam awal-awal diturunkan ke bumi, oleh Allah SWT Adam diperintahkan untuk membangun Rumah Allah (Baitullah), yang mana lokasinya sama dengan posisi Ka’bah berada pada hari ini. Kemudian, di dalam Alquran juga dikatakan bahwa Ka’bah merupakan sebuah kiblat yang diperintahkan oleh Allah SWT (Q.S Al-Baqarah ayat 142-145). Jadi, subjek penyembahan umat Islam jelas bukan Ka’bah, melainkan Allah SWT itu sendiri. Dalam konteks ini Ka’bah hanya tempat yang diperintahkan Tuhan umat Islam sebagai arah untuk penyembahan. Dengan demikian, Ka’bah bukan merupakan simbol dari Allah SWT. Terhadap Tuhan-nya, umat Islam tidak mengenakan simbol apapun sebagaimana yang dilakukan oleh para penganut politeisme.

Artikel ini dari sejak awal bertujuan untuk membahas asal-usul penggunaan bulan sabit dan bintang dalam Islam. Namun apabila mengacu kepada ajaran Islam itu sendiri – yang mengusung ke-Tauhidan – maka penggunaan simbol dalam Islam tidak identik dengan seperti yang dilakukan oleh orang-orang penganut politeisme. Ada banyak simbol yang digunakan oleh umat Muslim pada hari ini, namun penggunaannya tidak dimaksudkan untuk melekatkannya kepada Tuhan dalam konteks untuk penyembahan.

 

Simbol Islam pada masa Nabi Muhammad

Pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, tidak ditemukan satupun riwayat yang menceritakan penggunaan simbol bulan sabit dan bintang sebagai identitas bagi masyarakat Muslim – sebagaimana diakui secara luas pada hari ini. Pun demikian, jika dilihat dari sudut pandang orang-orang non-Muslim, ajaran Islam itu sendiri sudah menjadi pembeda yang cukup kontras dengan kepercayaan, kebudayaan, tata berperilaku, sistem ekonomi, dan sistem kemasyarakatan penduduk lama di tanah Arab. Jadi, penggunaan simbol identitas tertentu bagi masyarakat Islam bukan merupakan sesuatu yang fundamental pada saat itu.

Terlebih, secara tegas Rasulullah juga melarang penggunaan simbol-simbol lama dari kaum pengikut politeisme. Sebagaimana digambarkan dalam peristiwa Futuh Mekkah, ketika Nabi Muhammad SAW bersama kaum Muhajirin dan Anshar masuk ke dalam masjid, beliau menghampiri Hajar Aswad, menciumnya, berthawaf di sekeliling Ka’bah, sambil memegang busur. Pada waktu itu di sekitar Ka’bah terdapat 360 berhala. Kemudian beliau menunjuk busurnya ke arah berhala-berhala tersebut sambil mengucapkan ayat:

“Dan katakanlah: ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap’. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Surat Al-Isra’ Ayat 81)

“Katakanlah: ‘Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi.’” (Surat Saba’ Ayat 49)

Seketika itu pula seluruh berhala di hadapan beliau roboh. Kemudian beliau melakukan thawaf sambil menunggang unta dan tidak berpakaian ihram. Setelah sempurna, beliau memanggil Ustman bin Thalhah dan memerintahkannya untuk mengambil kunci Ka’bah.[2]

Rasulullah memasuki Ka’bah dengan ditemani Bilal. Baru saja masuk beliau melihat berbagai gambar, di antaranya ada gambar Ibrahim dan Ismail yang sedang berjudi menggunakan anak panah. Rasulullah marah, dan bersabda, “Semoga mereka dihancurkan Allah. Tak pernah nenek moyang kita melakukan perjudian demikian. Dan Ibrahim itu bukanlah seorang Yahudi, bukan pula seorang Nasrani, tetapi seorang yang beragama suci dan seorang Muslim, dan sekali-kali bukan dari golongan orang musyrik.”[3]

Jadi adakah simbol identitas – di luar persoalan ajaran agama Islam yang memang berbeda dengan ajaran lama, dan itu bisa dikatakan sebagai identitas juga – bagi masyarakat Muslim di masa Rasulullah hidup? Beberapa kelompok mengaitkannya dengan bendera Tauhid yang digunakan Rasulullah dan umat Islam ketika berperang. Namun hal ini masih menjadi bahan perdebatan mengenai kesahihan hadistnya.

Secara umum hadist-hadist yang menjelaskan tentang warna bendera Rasul dan isi tulisannya itu tidak berkualitas sahih. Riwayatnya pun berbeda-beda, ada yang mengatakan hitam saja, putih saja, hitam dan putih, dan malah ada yang mengatakan merah dan juga kuning. Riwayat lain mengatakan bendera itu tidak bertuliskan apapun. Riwayat lain mengatakan ada tulisan tauhidnya. Riwayat seputar ini banyak sekali, dan para ulama sudah memberikan penilaian, secara umum tidak berkualitas sahih. Konteks pemakaian bendera yang digunakan sewaktu perang hanyalah untuk membedakan pasukan Islam dengan musuh. Bukan dipakai sebagai bendera/simbol negara/masyarakat.[4] Pada generasi selanjutnya setelah Rasulullah wafat, para pemimpin Muslim terus menggunakan bendera hitam, putih atau hijau sederhana tanpa tanda, tulisan, atau simbolisme apa pun.[5] (PH)

Bersambung ke:

Simbol Bulan Sabit dan Bintang dalam Islam (3): Masa Dinasti Ustmaniyah

Sebelumnya:

Simbol Bulan Sabit dan Bintang dalam Islam (1): Masa Pra-Islam

Catatan Kaki:

[1] Al-Ṭabari, Taʾrīkh al-Rusūl wa al-Mulūk: Volume 1, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Franz Rosenthal (State University of New York Press: New York, 1989), hlm 292-295.

[2] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 530-531.

[3] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 113.

[4] Nadirsyah Hosen, “Penjelasan Soal Hadits Nabi dan Bendera Khilafah HTI – ISIS”, dari laman http://nadirhosen.net/kehidupan/negara/penjelasan-soal-hadits-nabi-dan-bendera-khilafah-hti-isis, diakses 11 November 2018.

[5] Huda, “A History of the Crescent Moon in Islam”, dari laman https://www.thoughtco.com/the-crescent-moon-a-symbol-of-islam-2004351, diakses 11 November 2018.

4 Comments

  1. Salam
    Sangat bermanfaat media ini dan mihon selalu dikirim ke email saya tulisan selanjutnya..
    Wassalam

    M. Ayip Syueb

    • Salam, artikel ini sudah ada sambungannya. Untuk update setiap artikel yang kami publish bisa dipantau dari akun Twitter kami: @ganaislamika, atau Facebook: @ganaislamica. Untuk sementara web kami masih belum memiliki fitur subscribe via email. Terimakasih sudah berkunjung. -Admin

  2. Salam
    Sangat bermanfaat media ini dan mihon selalu dikirim ke email saya tulisan selanjutnya..
    Wassalam

    M. Ayip Syueb

    • Salam, artikel ini sudah ada sambungannya. Untuk update setiap artikel yang kami publish bisa dipantau dari akun Twitter kami: @ganaislamika, atau Facebook: @ganaislamica. Untuk sementara web kami masih belum memiliki fitur subscribe via email. Terimakasih sudah berkunjung. -Admin

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*