Mozaik Peradaban Islam

Syair Cinta Rumi untuk Ali bin Abi Thalib (3): Jawaban Ali (1)

in Tokoh

Last updated on November 16th, 2020 12:43 pm

Perbuatanku untuk Allah bukan didasarkan pada pendapat atau aturan belaka, melainkan melalui penglihatan, penalaran, dan perhitungan-Nya. Aku pergi untuk mengikat lengan bajuku ke ujung jubah Allah sebagai gantinya.

Foto ilustrasi: Lukisan karya Hassan Rouh al-Amin tentang Ali bin Abi Thalib.

Amirul Mukminin Menjawab, Menjelaskan Apa Alasan Dia Menjatuhkan Pedangnya dalam Situasi Seperti itu

Dia berkata, “Aku menggunakan pedangku sesuai dengan rencana Allah, bukan dengan tubuhku tetapi melalui perintah Allah; Aku adalah singa Allah, bukan seseorang yang berkehendak – tindakanku adalah saksi bagi agamaku: ‘Bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar,’[1] Allah berfirman.

“Aku hanyalah pedang yang diayunkan matahari di kepalamu; Aku telah memindahkan beban diriku, ‘Seluruhnya tiada kecuali Allah,’ sekarang aku berkata.

“(Perumpamaan) Tuhanku adalah Matahari dan aku adalah bayangan-Nya yang terlihat, karena aku adalah hamba-Nya di sisi tabir ini; Dihiasi dengan permata yang solid bagaikan pisau, saat bertarung, aku tidak membunuh tetapi memberikan kehidupan baru.

“Darah pedang berlianku yang terang tak akan pernah ternoda – bagaimana bisa angin mengusir awanku lagi? Bagi gunung kesabaran dan ketenangan yang dalam, angin yang paling kencang pun tidak dapat menerbangkan atau mengganggunya; Apa yang tersapu angin adalah sampah, tiada yang lain, dan ada banyak angin seperti ini yang tersisa!

“Angin amarah dan keserakahan dan nafsu, meniup mereka yang tidak salat pada saat mereka harus melakukannya! Aku adalah gunung, Dia adalah dasar kekokohanku, seperti jerami aku terhempas hanya dengan memikirkan wajah-Nya.

“Kerinduanku berubah begitu angin-Nya bertiup, pemimpinku adalah kasih-Nya saja, amarah mungkin menguasai raja-raja tetapi aku telah menaklukkannya; Aku telah mengikatkan amarah pada tali kekang kudaku.

“Pedang kesabaranku telah memotong amarahku, Kemarahan Tuhan adalah belas kasihan pada tingkatanku; Meskipun atapku hancur, aku tenggelam dalam cahaya: Abu Turab-nya[2] sebuah taman cerah yang bermekaran!

“Sebuah alasan telah muncul dalam serangan itu. Bagiku untuk memilih menarik pedangku kembali, maka ‘dia yang mencintai untuk Allah’ haruslah menjadi namaku, ‘dia yang membenci untuk Allah’ satu-satunya keinginan dan tujuanku, ‘dia yang memberi untuk Allah’ adalah kebebasanku, ‘dia yang melekat pada Allah’ adalah keberadaanku, seperti yang engkau lihat.

“Aku bersikap keras atau juga bermurah hati semata untuk Allah, aku adalah milik-Nya, bukan milik manusia.

“Perbuatanku untuk Allah bukan didasarkan pada pendapat atau aturan belaka, melainkan melalui penglihatan, penalaran, dan perhitungan-Nya. Aku pergi untuk mengikat lengan bajuku ke ujung jubah Allah sebagai gantinya.

“Saat terbang,[3] aku bisa melihat alam tempatku berada, sambil memutar satu-satunya titik yang aku putar; Jika aku harus menyeret beban, aku tahu mesti ke mana, karena aku adalah bulan – kepalaku adalah matahari di atas sana!

“Aku tidak dapat mengatakan apa-apa lagi tentang kemanusiaan, sungai yang sempit tidak dapat menampung lautan! Aku berbicara demikian karena akal mereka terbatas, ini tidaklah salah, itulah yang dilakukan Nabi. Jadi dengarkanlah kesaksianku, aku terbebas dari nafsu, perkataan budak lebih berharga ketimbang debu.”[4] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Kalimat ini diambil dari ayat Alquran yang berbunyi, “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Anfal [8]: 17)

[2] Abu Turab, yang secara literal berarti Ayah Tanah, adalah lakab pemberian Nabi Muhammad saw kepada Ali bin Abi Thalib ra.

[3] Baca artikel sebelumnya, selain sebagai singa Allah, Rumi juga menyebut Ali bin Abi Thalib sebagai elang pemburu surga.

[4] Disadur dari Jalal al-Din Rumi, Masnavi: Vol 1, diterjemahkan oleh Jawid Mojadeddi  (Oxford University Press: New York, 2004), hlm 231-232.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*