Mozaik Peradaban Islam

Syair Cinta Rumi untuk Ali bin Abi Thalib (4): Jawaban Ali (2)

in Tokoh

Last updated on November 18th, 2020 02:27 pm

Ali berkata, “Aku memberikan hadiah seperti itu kepada mereka yang menyiksaku dan menundukkan kepalaku dalam kerendahan hati, bayangkan apa yang kuberikan kepada orang-orang yang setia.”

Foto ilustrasi: Special-Hussein/Deviant Art

Kesaksian seorang budak tidak ada artinya menurut hukum yang ditegakkan di pengadilan.[1] Meskipun ribuan budak menjadi saksimu, pengadilan tetap tidak akan memberimu kelonggaran; Para budak nafsu jauh lebih buruk dalam pandangan Allah ketimbang orang yang mereka tangkap, ikat, dan juga lelang.

Jenis yang terakhir dapat dibebaskan kembali. Sementara budak nafsu hidup dengan sukacita tetapi mati dalam kesakitan – seorang budak nafsu tidak memiliki jalan untuk meloloskan diri kecuali rahmat Allah yang tak terputus.

Dia jatuh ke dalam lubang neraka sekarang, sudah terlambat, dan itu adalah kesalahannya sendiri – ini bukanlah karena takdir: Dia melemparkan dirinya ke dalam lubang yang begitu dalam sehingga aku tidak dapat mengukur kedalamannya sepenuhnya.

Aku akan berhenti di sini, karena jika ujaran ini mesti dilanjutkan, bukan hanya hati tetapi batu juga akan berdarah, sahabatku; Bukan karena kekerasan hati mereka menjadi tidak berdarah, tetapi karena gangguan dan tidak memperhatikan – mereka hanya akan berdarah hari itu ketika darah tidak ada artinya, tetapi engkau mesti berdarah ketika darah sangat berharga.

Kesaksian para budak akan tertolak karena aturan – temukanlah saksi yang bukan budak setan; “Kami mengutusmu untuk menjadi saksi,”[2] Allah telah berfirman. Karena dia bebas, dari cengkeraman dia terbang.

“Kemarahan tidak dapat memperbudakku,” kata Ali, “Aku bebas, tiada apa pun di sini selain kehendak Allah – lihatlah! Masuklah! Karunia Allah telah membebaskanmu! Belas kasihnya juga mendahului murka-Nya! Masuklah!

“Sekarang engkau telah lolos dari bahaya yang engkau ketahui. Engkau seperti permata yang pernah menjadi batu; Engkau telah lolos dari duri kekafiran dan malapetaka. Maka di hamparan mawar ‘Huwa’[3] engkau akan mekar!”

Musuh itu kemudian berkata, “Yang agung, aku adalah engkau dan engkau adalah aku, Ali. Bagaimana aku bisa menyebabkan Ali mati! Dosa-dosamu bahkan lebih baik ketimbang perbuatan baik orang yang taat, dan engkau telah menjelajahi surga dalam sekejap.”

Dosa orang-orang seperti itu melampaui kesalehan mereka, kelopak mawar dapat tumbuh dari duri untuk dilihat semua orang: Sang Nabi ketika Umar (bin Khattab) mendekati untuk membunuhnya – ini malah membawanya masuk Islam,[4] dan Firaun memerintahkan sihir kepada orang-orangnya tetapi keberuntungan membantu mereka menyelamatkan diri lagi; Jika sihir dan penangkalan tidak diajarkan, kepada Firaun yang keras kepala akankah mereka dibawa?[5]

Mengapa mereka menyaksikan tongkat Musa yang termashyur? Dosa mereka menjadi ketaatan kepada Allah. Allah telah memotong leher keputusasaan yang tebal karena dosa telah berubah menjadi ketaatan di mana-mana.

Karena Dia dapat mengubah perbuatan jahat dengan cara ini menjadi perbuatan yang benar, terlepas dari apa yang para pembisik katakan. Setan yang terkutut kini dirajam batu melalui serangan yang kuat dan karena cemburu dia akhirnya pecah.

Bagi kita, tindakan berdosa yang akan dia coba jual adalah untuk membawa kita ke neraka. Tetapi ketika dia melihat bahwa dosa kini menjadi kesalehan, semua yang tersisa yang dimilikinya hanyalah kecemasan belaka!

Ali kemudian berkata, “Masuklah! Pintu kini terbuka untukmu – engkau telah meludahiku, tapi bagaimanapun aku memberimu kemurahan hati.

“Aku memberikan hadiah seperti itu kepada mereka yang menyiksaku dan menundukkan kepalaku dalam kerendahan hati, bayangkan apa yang kuberikan kepada orang-orang yang setia – harta dan kerajaan yang kekal!”[6] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Mengenai kalimat “Kesaksian seorang budak…. di pengadilan,” Jawid Mojadeddi menjelaskan: Menurut Hukum Islam, keterangan seorang saksi hanya berlaku jika dia merdeka dan bukan sebagai budak.

[2] “Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.” (QS al-Ahzab [33]: 45). Ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, yang digambarkan sebagai “saksi” dalam arti sebagai pemberi peringatan kepada umat-Nya, mengenai kewajiban mereka kepada Tuhan dan Hari Kebangkitan.

[3] Huwa secara harfiah berarti “Dia”, sebuah term dalam sufisme yang mengacu kepada Allah. Lalu ada juga kata La Huwa yang artinya adalah “Selain Dia”, mengacu kepada segala sesuatu yang bukan Allah. Lebih lengkap penjelasan mengenai hal ini simak: Abdul Aziz, “Mengenal Konsep Sufistik Huwa dan La Huwa Ibnu Arabi”, dari laman https://bincangsyariah.com/kalam/mengenal-konsep-sufistik-huwa-dan-la-huwa-ibnu-arabi/, diakses 16 November 2020.

[4] Maksudnya adalah Umar bin Khattab. Dalam banyak sirah, dikisahkan Umar pernah mendekati Nabi Muhammad saw untuk membunuhnya, namun usaha ini malah berujung membuatnya masuk Islam.

[5] Kalimat ini diambil dari kisah di dalam Alquran yang menceritakan tentang adu kesaktian antara para penyihir Firaun dengan mukjizat Nabi Musa as. Ayat-ayat yang menceritakannya di antara lain: QS al-Araf (7): 116 dan Thaha (20): 66-73.

[6] Disadur dari Jalal al-Din Rumi, Masnavi: Vol 1, diterjemahkan oleh Jawid Mojadeddi  (Oxford University Press: New York, 2004), hlm 232-234.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*